Ukraina Mempertahankan Kemerdekaan dan Identitas Bangsa
Ukraina hanya menginginkan Rusia angkat kaki dari tanah air mereka.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Ukraina terus berjuang mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan bangsa merela dari invasi Rusia. Semangat ini menjadi landasan perjuangan Ukraina. Semangat itu pula yang menjadikan Ukraina bukan perpanjangan tangan Barat dalam perlawanan terhadap Rusia.
Hal itu menjadi inti dari seminar "Suara dari Ukraina: Dampak Invasi Rusia bagi Dunia dan Indonesia" di Jakarta, Senin (6/2/2023) yang diampu oleh Foreign Policy Community Indonesia (FPCI). "Kami membutuhkan dukungan untuk penegakan keadilan dan hak asasi manusia. Keberpihakan dunia hendaknya kepada prinsip kemanusiaan, bukan pada figur politik tertentu," kata Duta Besar Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin.
Ketua FPCI Dino Patti Djalal menerangkan, Indonesia melandaskan politik luar negeri kepada Undang-Undang Dasar 1945. Amanatnya jelas, yaitu melindungi hak kemerdekaan segala bangsa dan menghapus penjajahan, terlepas lokasi geografis dan kelompok etnisnya. Apalagi, dalam konflik ini, sepertiga rakyat Ukraina kehilangan tempat tinggal.
Hadir delegasi masyarakat sipil Ukraina yang terdiri dari ahli politik Universitas Nasional Kyiv Olexiy Haran, pendiri Pusat Komunikasi Strategis (CSC) Liubov Tsybulska, Direktur Departemen Kerja Sama Kamar Dagang dan Industri Ukraina (UCCI) Anna Liubyma, dan Wakil Direktur Jenderal Institut Ukraina Alim Aliev. Aliev juga merupakan perwakilan warga Ukraina dari kelompok etnis Tartar yang beragama Islam.
Haran mengatakan mengerti bahwa masyarakat Indonesia mengira perang Rusia-Ukraina merupakan perpanjangan tangan melawan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Akan tetapi, sejatinya bukan itu konteks konflik Rusia-Ukraina karena akar persoalannya sudah ratusan tahun.
"Presiden Rusia Vladimir Putin selalu mengagungkan masa Kekaisaran Rusia yang kemudian beralih menjadi Uni Soviet. Ia ingin menyatukan kembali bangsa-bangsa yang telah merdeka agar berada di bawah kekuasaan Rusia," tuturnya.
Ia menjelaskan, di bawah Kekaisaran Rusia (1721-1917) dan Uni Soviet (1922-1991), identitas kelompok-kelompok etnis tidak diakui. Bahasa daerah masing-masing dilarang diucapkan karena semua orang wajib hanya bertutur dengan memakai bahasa Rusia. Setelah Soviet pecah, bangsa-bangsa yang merdeka ini memperoleh kembali jati diri masing-masing. Mereka bisa mempraktikkan agama, adat istiadat, dan bahasa ibu tanpa ada larangan.
Ketika Soviet pecah, hubungan Ukraina-Rusia baik. Pada 1994, melalui Memorandum Budapest, Ukraina melucuti persenjataan nuklir mereka dan bergabung dengan gerakan non-blok. Bahkan, hingga tahun 2014, hanya 12 persen rakyat Ukraina yang bersimpati kepada NATO.
Situasi berubah ketika Rusia mencaplok Crimea pada Februari 2014. Memang dilakukan referendum, tetapi Ukraina menolak karena referendum dilakukan di bawah tekanan. Pertanyaannya hanya dua, yakni memilih bergabung dengan Rusia atau tidak. Ukraina ingin ada pilihan ketiga, yaitu Crimea menjadi daerah satus quo. Bahkan, berbagai laporan menyebut warga Crimea dipaksa mencoblos setuju bergabung dengan Rusia.
Sekarang, 90 persen rakyat Ukraina ingin bergabung dengan NATO. Akan tetapi, mereka tidak menginginkan ada pangkalan militer, tentara, maupun persenjataan NATO di dalam wilayah Ukraina.
"Ukraina hanya menginginkan tentara Rusia angkat kaki. Kami berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa Ukraina. Itu saja, tidak demi kepentingan pihak-pihak lain," tegas Haran.
Tsybulska mengatakan, bangsa Ukraina akan berjuang, terlepas ada persenjataan dari Barat ataupun tidak. Ia menyinggung mengenai bangsa Indonesia yang dalam perjuangan kemerdekaannya juga tidak menyerah walaupun bersenjata seadanya.
"Kembali ke ambisi Putin mengembalikan Kekaisaran Rusia, jika Ukraina jatuh, negara-negara lepasan Soviet akan menjadi sasaran berikutnya," tutur Tsybulska.
Sementara itu, Aliev menjelaskan bahwa masyarakat Ukraina sendiri majemuk. Contohnya adalah kelompok etnis Tartar. Akan tetapi, mereka semua mengaku sebagai bangsa Ukraina. Kedinamisan ini belum banyak diketahui oleh masyarakat global sehingga perjuangan Ukraina juga mempertahankan keberlanjutan etnis minoritas mereka.
Alternatif pasar
Anna Liubyma dari UCCI menjelaskan, Ukraina juga fokus melebarkan ekspor demi kemanusiaan. Konflik dengan Rusia mengakibatkan dunia jatuh ke dalam krisis pangan. Ukraina adalah penghasil 10 persen gandum dunia, 17 persen jelai, 14 persen jagung, dan 47 persen minyak biji bunga matahari.