”Kami memperkirakan akan ada krisis keuangan. Ini akan muncul lewat krisis utang negara, krisis perbankan, dan krisis mata uang,” kata para penulis.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·4 menit baca
WASHINGTON, RABU — Bank Sentral Amerika Serikat kembali menaikkan suku bunga sebesar 0,25 persen. Dengan demikian, suku bunga inti berada pada rentang 4,5 persen hingga 4,75 persen dan tertinggi sejak 2007. Kenaikan suku bunga berpotensi berlanjut sebab inflasi masih tinggi. Efek kenaikan suku bunga di AS ini juga berpotensi memperluas krisis utang dan mata uang di negara-negara berkembang.
”Inflasi sudah mereda tetapi belum sesuai harapan. Maka dari itu, kita tidak boleh lengah,” kata Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell dalam jumpa pers di Washington, Rabu (1/2/2023). Penurunan inflasi adalah tujuan utama karena inflasi tidak baik bagi siapa pun, kata Powell.
AS sudah mengalami penurunan inflasi dari puncaknya sebesar 9,1 persen pada Juni 2022 menjadi 7,1 persen pada November. Pada Desember 2022, inflasi di AS diperkirakan akan menurun menjadi 6,5 persen. Penyebab utama kenaikan inflasi di AS adalah stimulus ekonomi besar-besaran di era Presiden Donald Trump hingga Presiden Joe Biden saat ini.
Ada total 9 triliun dollar AS stimulus yang dikucurkan sejak 2020 terutama karena pandemi Covid-19. Ini mirip taburan uang dari helikopter, yang sudah diperkirakan oleh ekonom AS, Nouriel Roubini, pada 2020 akan memunculkan tekanan inflasi. Uang beredar yang bertambah tanpa penambahan output dengan sendirinya akan menaikkan inflasi.
Oleh karena itu, Powell mengatakan, penurunan inflasi tetap menjadi fokus hingga inflasi bisa kembali mencapai 2 persen. Sikap Fed soal penurunan suku bunga terlihat kuat. Ini berbeda dengan sikap pada 2022 saat Powell dan Menteri Keuangan AS Janet Yellen menganggap tekanan inflasi hanya bersikap sementara.
Ekonomi menurun
Powell mengatakan, efek kenaikan suku bunga sudah terasa di pasar, termasuk melemahkan permintaan. Pertumbuhan ekonomi AS pada 2022, dia katakan, tumbuh 1 persen sebagai akibat kenaikan suku bunga sepanjang tahun tersebut. Kemungkinan ekonomi AS juga akan menurun pada 2023, tetapi Powell melihat pertumbuhan akan tetap pada angka positif.
Powell menambahkan, tidak bisa diprediksi kapan suku bunga akan diturunkan kembali. Inti tugas Fed, kata Powell, menurunkan inflasi lewat kenaikan suku bunga. Hal itu juga dilakukan dengan menarik uang beredar secara perlahan lewat penjualan obligasi pihak ketiga, yang sebelumnya dibeli Fed dari pasar.
Powell mengakui kenaikan suku bunga akan berdampak pada bisnis dan konsumen. Namun, inflasi yang rendah merupakan hal yang didambakan demi kestabilan ekonomi.
Reaksi pasar di AS sejauh ini relatif tenang setelah kenaikan suku bunga tersebut. Berdasarkan data awal, indeks S&P 500 naik 42,89 poin menjadi 4.119,49 poin. Indeks Nasdaq Composite naik 231,89 poin menjadi 11.816,44. Indeks Dow Jones Industrial Average naik 15,75 poin menjadi 34.101,79 poin.
Dampak kenaikan suku bunga tidak terasa dalam jangka pendek. Namun, secara empiris kenaikan suku bunga di AS bertahun-tahun kemudian memunculkan krisis besar di AS itu sendiri dan juga pada sejumlah negara berkembang di seluruh dunia.
Efek kenaikan suku bunga telah menimbulkan istilah ”dekade yang hilang” di Amerika Latin sepanjang dekade 1980-an. Ini akibat krisis utang luar negeri yang membebani, dipicu kenaikan suku bunga di AS. Pada 1994, Meksiko digoyang krisis yang disebut ”Tequilla fever”, juga sebagai akibat efek suku bunga di AS. Asia merasakan krisis moneter dahsyat pada 1997 juga efek tahun kemudian hari dari kenaikan suku bunga di AS.
Efek ke negara berkembang
Di situs The Brookings, 27 Januari 2023, muncul tulisan berjudul ”US interest rate increases and crisis probabilities in developing economies”. Artikel ini dituliskan bersama oleh Carlos Arteta (ekonom Bank Dunia), Steven Kamin (peneliti dari American Enterprise Institute), dan Franz Ulrich Ruch (ekonom Bank Dunia).
”Kenaikan suku bunga di AS dapat menciptakan krisis keuangan di negara dengan perekonomian yang sedang menggeliat dan di negara berkembang. Pengamatan kami mengindikasikan tipe-tipe kejutan akibat kenaikan suku bunga pada 2022, kemungkinan akan memicu krisis keuangan di negara berkembang,” demikian dikatakan trio penulis.
Ada efek berupa dorongan kenaikan suku bunga di negara berkembang. Ada efek penurunan kegiatan ekonomi di AS, akibat kenaikan suku bunga, terhadap perekonomian negara berkembang. Ada kejutan pasar karena perubahan sentimen investor, demikian juga guncangan di bursa saham.
Ada pula kejutan terhadap mata uang berupa depresiasi mata uang di sejumlah negara berkembang. ”Kami memperkirakan akan ada krisis keuangan. Ini akan muncul lewat krisis utang negara, krisis perbankan, dan krisis mata uang,” demikian dikatakan para penulis.
Ditambahkan, lanjutan kenaikan suku bunga di AS dapat menyebabkan lebih meluasnya krisis mata uang. Ini sehubungan dengan tingginya porsi utang negara dan korporasi, diperburuk dengan menurunnya cadangan devisa di banyak negara. Hal lain yang juga terancam akibat kenaikan suku bunga AS adalah kenaikan suku bunga obligasi, yang akan mengganggu pasar obligasi. (AFP/AP/REUTERS)