Erdogan: Selama Al Quran Dilecehkan, Turki Tak Akan Dukung Swedia Masuk NATO
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan belum menganggap cukup soal permintaan maaf dari Swedia terkait aksi pembakaran Al Quran oleh politikus sayap kanan Swedia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
ANKARA, KAMIS — Turki bersikeras tidak akan mendukung keinginan Swedia menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO selama tindakan pembakaran Al Quran dibiarkan terus berlangsung di Swedia. Selain itu, Turki tetap ingin Swedia dan Finlandia memenuhi perjanjian tripartit di antara mereka.
Hal itu dikemukakan oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ketika berpidato di hadapan parlemen di Ankara, Rabu (1/2/2023). ”Selama pelecehan kitab suci umat Islam dibiarkan, kami tidak akan dukung Swedia. Akan tetapi, ada kemungkinan Turki memberi perlakuan berbeda terhadap Finlandia,” ujarnya, seperti dikutip oleh kantor berita Anadolu.
Erdogan mengacu kepada ucapannya dua hari lalu bahwa walaupun Swedia tidak didukung akibat kasus pembakaran Al Quran oleh politikus sayap kanan Rasmus Paludan, Finlandia sejauh ini tidak bermasalah dengan Turki. Oleh karena itu, ada kemungkinan jalan Finlandia menuju NATO lebih lancar.
Walaupun demikian, Menteri Luar Negeri Finlandia Pekka Haavisto meminta Turki mempertimbangkan keputusan mereka. ”Bagaimanapun juga, Swedia adalah sahabat terdekat kami, baik dalam politik luar negeri maupun pertahanan. Harap pertimbangkan agar kami bisa diterima masuk NATO bersama-sama,” katanya.
Finlandia memiliki perbatasan sepanjang 1.300 kilometer dengan Rusia. Negara ini awalnya netral. Akan tetapi, ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, Finlandia beserta Swedia merasa terancam dan memutuskan melamar masuk NATO demi memberi rasa aman.
Salah satu syarat yang dibutuhkan agar kedua negara itu bisa bergabung NATO adalah persetujuan keseluruhan 30 negara anggota NATO saat ini. Hingga kini tinggal dua negara NATO, yakni Turki dan Hongaria, belum memberikan persetujuan tersebut.
Presiden Rusia Vladimir Putin menanggapi dengan mengatakan bahwa tidak masalah apabila Finlandia dan Swedia bergabung dengan NATO. Syaratnya ialah mereka tidak membangun pangkalan militer NATO di negara masing-masing. Jika hal itu terjadi, Moskwa dipastikan bertindak keras.
Pemerintah Swedia telah meminta maaf secara resmi kepada Turki. Mereka mengatakan, unjuk rasa yang disertai perobekan Al Quran dan pembakaran poster Erdogan itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Ankara tidak menerima permintaan maaf yang mereka anggap setengah hati ini.
Dalam wawancara dengan stasiun televisi Swedia, SVT, Perdana Menteri Swedia 2021-2022 Magdalena Andersson menuturkan bahwa ia mengerti jalan pikiran Turki. ”Tentu saja kami mendukung kebebasan berekspresi. Akan tetapi, ini adalah konsep yang dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Kita harus memikirkan kalimat yang kita ucapkan dan komitmen untuk tidak menyakiti pihak lain,” ujarnya.
Tentu saja kami mendukung kebebasan berekspresi. Akan tetapi, ini adalah konsep yang dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Andersson melanjutkan, para pembakar Al Quran adalah ”orang-orang bodoh” yang kegunaannya ialah memecah belah bangsa Swedia. Keberadaan mereka mempersulit jalinan hubungan Swedia dengan negara-negara lain, terutama negara-negara berpenduduk mayoritas beragama Islam.
Setelah menggelar aksi pembakaran Al Quran di Stockholm pada Sabtu (21/1/2023), Paludan mengulangi lagi aksinya di dekat sebuah masjid di Copenhagen, Denmark, Jumat (27/1/2023). Kepada koran Swedia, Aftonbladet, Jumat (27/1/2023), Paludan menyatakan akan terus mengulang aksinya tiap hari Jumat di depan Kedubes Turki di Copenhagen hingga Swedia diterima jadi anggota NATO.
Tidak dapat diterima
Secara terpisah, Menteri Luar Negeri Hongaria Peter Szijjarto juga mengingatkan, Pemerintah Swedia seharusnya ”bertindak dengan cara berbeda” jika ingin memperoleh dukungan Turki untuk bergabung NATO. Ia menyebut, tindak pembakaran Al Quran di luar Kedutaan Besar Turki di Stockholm, Swedia, sebagai ”hal yang tidak dapat diterima”.
Pernyataan tersebut disampaikan Szijjarto dalam konferensi pers di Budapest, Hongaria, saat ia menerima kunjungan Menlu Turki Mevlut Cavusoglu. ”Sebagai seorang Kristen dan seorang Katolik, saya harus mengatakan bahwa pembakaran kitab suci agama lain adalah tindakan yang tidak dapat diterima,” kata Szijjarto.
Szijjarto juga mengkritik pernyataan Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson yang mengatakan bahwa sementara pembakaran Al Quran sebagai hal yang tidak pantas dan ”sangat tidak menghormati”, tindakan itu dilindungi di Swedia atas nama kebebasan berekspresi.
”Menyatakan bahwa pembakaran kitab suci menjadi bagian dari kebebasan berpendapat adalah kebodohan yang terang-benderang,” kata Szijjarto. Ia menambahkan, ”Mungkin mereka (Swedia) harus bertindak dengan cara berbeda jika ingin memperoleh dukungan Ankara”.
Dalam kesempatan itu, Cavusoglu menyatakan sepandangan dengan Hongaria mengenai perluasan keanggotaan NATO. Namun, lanjut Cavusoglu, kini menjadi “tidak mungkin kami mengonfirmasi aksesi (Swedia) ke dalam NATO. Ia menyebut aksi pembakaran Al Quran sebagai "provokasi yang membuat kita tidak bergerak ke mana-mana. (Aksi) itu hanya memicu kekacauan."
Sementara itu, dalam kunjungan ke Estonia, Cavusoglu mengunjungi Menlu Urmas Reinsalu. Cavusoglu menjelaskan, tanpa insiden pembakaran Al Quran itu pun Swedia sudah dalam posisi yang sulit. Swedia dan Finlandia memiliki warga beretnis Kurdi. Sejumlah warga etnis Kurdi ini terafiliasi dengan kelompok antipemerintah Turki ataupun kelompok yang dicap teroris oleh Ankara, seperti Partai Pekerja Kurdi (PKK) dan pendukung Fetullah Gulen.
Komunitas Kurdi di Swedia pada tahun 2022 mengungkapkan penolakan mereka atas niat Swedia bergabung dengan NATO. Mereka khawatir Turki menjadikan ini dalih untuk merepatriasi warga Kurdi agar disidang oleh Ankara.
Pada Juni 2022 Turki menandatangani nota kesepakatan dengan Finlandia dan Swedia. Isinya ialah Ankara akan terus memasok persenjataan kepada Helsinki dan Stockholm dengan syarat mereka mendeportasi orang-orang Kurdi tersebut.
”Hingga kini, isi kesepakatan itu belum dijalankan oleh Swedia,” ucap Cavusoglu.
Halil Karavelli, peneliti senior di Institut Asia Tengah dan Kaukasus, menulis di majalah Foreign Policy bahwa Turki melalui Swedia dan Finlandia ingin menggempur gerakan pemberontakan Kurdi. Tujuan akhir mereka ialah agar Amerika Serikat berhenti menyokong gerakan Kurdi di Suriah yang melawan Presiden Bashar al-Assad, kawan baik Erdogan. (AP/SAM)