Di Ukraina, Rusia tidak sebatas berperang melawan militer Kyiv. Rusia tengah melawan hegemoni dan dominasi Barat, khususnya Amerika Serikat dan NATO.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Negara-negara kecil dan menengah saat ini bergulat dalam multipolarisme tatanan global setelah pecah perang Rusia-Ukraina, 24 Februari 2022. Di sisi lain, berlarutnya perang, minimnya dorongan untuk berdamai, serta terus mengalirnya pasokan senjata untuk Ukraina dinilai justru memperlihatkan bahwa Barat, dalam hal ini Amerika Serikat dan Eropa, tidak mau kehilangan dominasinya dalam tatanan global. Demikian disampaikan Duta Besar (Dubes) Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva dalam wawancara khusus dengan Kompas, Selasa (31/1/2023), di Jakarta.
Dalam pengamatannya, Vorobieva menilai, banyak negara di dunia tengah mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan menarik banyak negara lain untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan menguntungkan. Setelah menikmati pertumbuhan ekonomi yang signifikan, ”kebangkitan” itu lantas diikuti dengan menguatnya pengaruh politik yang diakui negeri jiran dan komunitas internasional. Vorobieva lantas menyebut beberapa negara dan organisasi kawasan sebagai contoh.
Pertumbuhan dan perkembangan perekonomian Indonesia, India, China, hingga negara-negara Amerika Latin adalah sebuah wujud keberhasilan multipolarisme. Vorobieva juga menilai, ASEAN sebagai sebuah perhimpunan menjadi motor pertumbuhan di kawasan Asia Tenggara.
”Kami melihat dunia yang multipolar, di mana semua negara menjadi penting. Semua negara, baik kecil maupun besar, harus dihormati, memiliki hak dan kesempatan sama dan setara,” kata Vorobieva.
Korban
Namun, selepas pecah perang di Ukraina, Vorobieva melihat yang terjadi adalah Rusia tidak hanya ”menghadapi” Ukraina semata. Moskwa, menurut dia, juga berhadapan dengan kekuatan-kekuatan di belakang Ukraina, yaitu AS dan sekutunya di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Ia menyebut keputusan-keputusan Kyiv saat ini tidak dibuat oleh pemerintahan Presiden Volodymyr Zelenksyy, tetapi oleh ”kekuatan” di belakangnya.
”Pemerintah Ukraina hanyalah boneka yang dikendalikan oleh negara-negara Barat. Krisis ini bukan tentang Ukraina. Ukraina hanyalah korban dan itu adalah tragedi bagi rakyatnya,” tutur Vorobieva.
Lebih lanjut dia mengatakan, dari sini gambaran besarnya terlihat bahwa AS dan negara- negara Eropa (anggota NATO) bernafsu kembali mendominasi tata kelola global. Hal inilah yang ditolak oleh Rusia.
”Kami tidak setuju dengan dominasi Barat. Kami mengajukan model geopolitik lain,” ucap Vorobieva.
Ia menambahkan, Rusia tidak sepakat bahwa ada satu kelompok kecil negara yang merasa memiliki hak untuk mengendalikan dan mengatur tata kelola global. ”Semua negara, baik kecil maupun besar, harus dihormati. Dan, semua negara memiliki hak dan kesempatan yang sama,” katanya.
Vorobieva meyakini, pandangan Rusia atas tatanan global, yang mendukung multipolarisme, didukung banyak negara. Salah satu indikator yang bisa dipakai adalah minimnya negara-negara yang turut dalam rezim sanksi AS dan Uni Eropa atas Rusia.
”Mayoritas negara-negara di Asia, Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, termasuk negara-negara Muslim yang tidak ikut serta dalam rezim sanksi tersebut,” katanya.
Sementara itu, saat tentara Rusia terus meningkatkan tekanan atas kota Bakhmut, Ukraina terus berupaya mendapat dukungan militer Barat. Menteri Luar Negeri Dmytro Kuleba berujar, selain tank, Ukraina berupaya mendapat pasokan jet tempur dan rudal jarak jauh. Menurut Kuleba, senjata itu diperlukan untuk mempertahankan diri dan mencegah agresor.
Di Paris, Menteri Pertahanan Perancis Sebastien Lecornu menyambut mitranya, Menteri Pertahanan Ukraina Oleksiy Reznikov. Dalam kesempatan itu, Lecornu mengatakan, Perancis akan mengirim tambahan 12 howitzer ke Ukraina untuk memerangi penjajah Rusia.
Peran Indonesia
Dalam kesempatan terpisah, pada diskusi mengenai rencana politik luar negeri Indonesia 2023, sejumlah ahli menilai Indonesia dapat memainkan peran penting dalam dinamika global saat ini. Setelah Indonesia sukses memimpin G20, dunia mengharapkan Indonesia bisa melakukan terobosan atau setidaknya membuka jalan untuk mencari berbagai jalan keluar berkesinambungan terkait tarikan geopolitik global dan kawasan.
Menurut Ketua dan Pendiri Foreign Policy Community Indonesia Dino Patti Djalal, Indonesia melalui ASEAN maupun hubungan bilateral bisa lebih aktif sebagai suara negara nonblok ataupun negara berkekuatan menengah yang membangun jembatan untuk perdamaian dunia. Pendapat serupa dikemukakan Dewi Fortuna Anwar, Profesor Riset Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional. ”Komitmen Indonesia harus ditunjukkan kepada dunia,” ucapnya. (AFP/Reuters)