Perang Teknologi AS-China Akan Bikin Semikonduktor Lebih Mahal
Persaingan keras antara Amerika Serikat dan China terus berlangsung di berbagai lini. Di bidang teknologi, Amerika Serikat baru-baru ini mengajak Jepang dan Belanda untuk menghentikan ekspor semikonduktor ke China.
Kesepakatan Amerika Serikat bersama Belanda dan Jepang bisa berdampak buruk pada pasar semikonduktor global. Bagi China, kesepakatan membatasi ekspor semikonduktor ke China itu menjadi paksaan untuk mempercepat kemandirian semikonduktor.
Dilaporkan Bloomberg pada Jumat (27/1/2023), Pemerintah AS-Belanda-Jepang sepakat membatasi ekspor peralatan produksi semikonduktor ke China. Kesepakatan itu terutama menyasar ASML di Belanda serta Nikon dan Tokyo Electron di Jepang.
Baca juga : 4 Negara Bentuk Aliansi Chip 4, Bentengi Industri Semikonduktor Global
AS telah lebih dulu memberlakukan pembatasan ekspor peralatan ke China. Namun, perusahaan-perusahaan AS di sektor itu keberatan mematuhinya. Mereka khawatir perusahaan di luar AS akan menggantikan posisi mereka ke pasar China. Oleh karena itu, AS mendekati Jepang dan Belanda yang merupakan produsen utama peralatan produksi semikonduktor.
Bank investasi AS, Goldman Sach, menyebut bahwa pembatasan eskpor bukan satu-satunya manuver AS. Pada 2022, AS mengesahkan undang-undang yang dikenal sebagai CHIPS Act untuk memacu produksi semikonduktor domestik.
”Kami yakin CHIPS Act lebih pantas dipandang sebagai strategi geopolitik AS dibandingkan upaya menggantikan Asia yang posisinya penting dalam rantai pasok semikonduktor global,” demikian tercantum dalam laporan itu.
Hingga 80 persen semikonduktor global diproduksi di Asia. China menjadi produsen utama untuk semikonduktor berukuran di atas 12 nanometer (nm). Sementara Taiwan dan Korea Selatan memimpin pada pasar di bawah 5 nm.
Intel, raksasa semikonduktor AS, masih berusaha mengembangkan semikonduktor skala 7 nm. Semikonduktor paling kecil dan canggih buatan AS kini baru di skala 12 nm. Semakin kecil ukurannya, semakin kuat dan canggih semikonduktornya.
Produksi di AS selama ini tidak menarik karena biayanya lebih tinggi dibandingkan Asia. Selisih biayanya bisa mencapai 18 persen. Dampaknya, porsi AS di pasar semikonduktor global semakin terpangkas. Dari 37 persen pada 1990, pangsa pasar AS tinggal 12 persen pada 2021.
Baca juga : AS Dekati Jepang dan Belanda untuk Jegal Industri Cip China
AS sebenarnya masih memimpin pada segmen mesin pembuat semikonduktor. Perusahaan AS, LAM dan Applied Materials, mendominasi pasar alat untuk memasukkan miliaran transistor dan komponen lain dalam satu semikonduktor. Perusahaan AS lainnya, KLA-Tencor, mendominasi pasar perangkat penguji dan pemantau kualitas semikonduktor.
Tokyo Electron berbagi pasar dengan LAM dan Applied Materials. Sementara Nikon berbagi pasar dengan ASML di pasar mesin cetak ultraviolet untuk memproduksi keping semikonduktor. Duet ini menguasai hingga 80 persen pasar global.
ASML membuat mesin yang dikenal sebagai DUV dan EUV. Mesin EUV terutama dibutuhkan untuk membuat semikonduktor berukuran lebih kecil dari 7 nm, menyumbang separuh pendapatan ASML. Sejauh ini ke pasar China, ASML terutama memasok DUV yang lebih tua dari EUV. ASML meraup pendapatan 2,35 miliar dollar AS pada 2022 dan 2,17 miliar dollar AS pada 2021 dari penjualan mesin DUV ke China.
Menurut Bloomberg, AS tidak hanya meminta ASML berhenti menjual mesin EUV ke China. Washington juga meminta Denhaag melarang ASML menjual mesin DUV lama ke Beijing. Meski menghormati kesepakatan pemerintah, ASML tidak yakin kesepakatan Washington-Denhaag-Tokyo akan berlaku tahun ini.
Meski menghormati kesepakatan pemerintah, ASML tidak yakin kesepakatan Washington-Denhaag-Tokyo akan berlaku tahun ini.
Oleh karena itu, ASML meyakini penjualan ke China akan stabil sepanjang 2023. Menurut pemimpin ASML, Peter Wennink, LAM dan Applied Materials juga tetap menjual produknya ke China sampai ada peraturan terperinci soal pembatasan ekspor alat produksi semikonduktor.
”Perusahaan semikonduktor China harus berkompetisi dengan pesaing global. Jadi, mereka membeli mesin buatan luar China. Jika tidak bisa mendapat mesin itu, mereka akan membuat sendiri. Akan butuh waktu. Namun, pada akhirnya mereka akan bisa,” tutur Wennink kepada Bloomberg, Rabu (25/1/2023).
Presiden Nationz Technologies Sun Yingtong mengakui pembatasan itu bisa merepotkan. ”Kami (China) tidak punya cukup orang. Bukan hanya orang terbaik di industri ini, melainkan yang inovatif dan mau bertahun-tahun di penelitian,” ujar pemimpin salah satu produsen semikonduktor itu kepada China Daily.
Perusahaan konsultan di Beijing, CCID, menaksir industri semikonduktor China kekurangan hingga 220.000 pekerja ahli. Lembaga konsultan lain, Gartnet Co, menyebut China akan butuh lama untuk mengatasi ketertinggalan itu. ”Butuh lebih dari sekadar uang. Tenaga dan waktu lebih berpengaruh dalam industri ini,” kata Roger Sheng, Wakil Presiden Bidang Riset Gartner.
Wennink mengatakan, pembatasan ekspor ke China tidak terlalu berdampak pada ASML. China hanya menyumbang 15 persen pendapatan ASML. Produsen utama mesin cetak papan sirkuit semikonduktor itu yakin potensi kehilangan pendapatan dari China bisa ditutup lewat penjualan ke pasar lain.
Baca juga : DPR AS Sahkan UU Subsidi Industri Semikonduktor
Meski demikian, Wennink memperingatkan dampak lain. Pembatasan juga akan membuat semikonduktor lebih mahal. Distribusinya lebih lambat dan pasokannya lebih sedikit. Sebab, pembatasan itu diberlakukan pada konsumen utama semikonduktor global.
Dari 580 miliar dollar AS pendapatan produsen semikonduktor global 2022, sebanyak 415 miliar dollar AS didapat dari pasar China. Beijing menghabiskan lebih banyak uang untuk mengimpor semikonduktor dibandingkan untuk membeli minyak.
Kekhawatiran Wennink, antara lain, dikuatkan asosiasi industri semikonduktor AS, SIA. Organisasi itu menaksir nilai penjualan semikonduktor global 2023 akan terpangkas menjadi 556 miliar dollar AS jika ekspor ke China dihentikan.
Pembatasan akses oleh AS sejak lama diantisipasi China dengan memacu kapasitas dalam negeri. China Semiconductor Industry Association (CSIA) mencatat nilai penjualan semikonduktor domestik melampaui 1 triliun yuan pada 2021. Pada 2017, nilainya masih 540 miliar yuan.
Pada 2022, seperti dilaporkan TechInsight, China diduga telah bisa membuat semikonduktor 7 nm. Produk SMIC, produsen terbesar semikonduktor China, ditemukan pada salah satu perangkat penambang uang kripto pada Agustus 2022. Padahal, China tidak pernah mengimpor mesin untuk membuat semikonduktor pada skala itu.
Pemerintah China memberikan subsidi hingga 150 miliar dollar AS.
Pada Desember 2020, pemimpin SMIC, Liang Mong Song, mengumumkan pembentukan kelompok yang terdiri atas 2.000 insinyur. Tugas tim itu membuat semikonduktor skala 7 nm. Kala itu, ia menyiratkan SMIC bisa memproduksi semikonduktor tersebut mulai pertengahan 2021.
Mitra pengelola pada Walden International, Huang Qing, menyebut ekosistem China amat mendukung percepatan pengembangan semikonduktor. Pemerintah memberikan subsidi hingga 150 miliar dollar AS.
Sementara pasar China mengucurkan lebih dari 400 miliar dollar AS untuk membeli semikonduktor. Berbagai industri China membutuhkan pasokan besar semikonduktor. Telekomunikasi seluler, kendaraan swakemudi, hingga ponsel membutuhkan perangkat elektronika itu. (AFP/REUTERS/RAZ)