Imlek akhirnya bisa dirayakan kembali dengan kumpul-kumpul keluarga besar setelah pandemi Covid-19. Soal isu Selat Taiwan yang panas bisa ditunda.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Angin dingin berembus di Taiwan sepanjang pekan menjelang perayaan Imlek 2023 yang jatuh pada tanggal 22 Januari. Di kantor berita nasional Taiwan, Central News Agency, muncul berita-berita bahwa intrusi pesawat militer Tentara Pembebasan Rakyat China atau PLA tetap aktif. Bahkan, di tanggal 22 Januari pagi pun ada sepuluh pesawat yang terbang di sekitar Taiwan. Walaupun begitu, Imlek tahun ini tetap berlangsung seperti biasa.
Tradisi Imlek di Taiwan berbeda dengan di Indonesia yang diwarnai kesemarakan dan keriuhan. Di Taiwan, Imlek adalah kegiatan keluarga yang ditandai dengan mudik massal dari kota-kota besar ke kampung halaman. Umumnya, warga mudik dua hari menjelang Imlek. Akan tetapi, ada pula yang memilih berangkat empat atau lima hari sebelum Imlek guna mencegah kemacetan di jalan tol atau meningkatnya harga tiket kereta api.
Setelah itu, Imlek dirayakan bersama keluarga di dalam ketenangan. Tidak ada kehebohan seperti pesta kembang api ataupun petasan. Orang-orang menghabiskan waktu menikmati hidangan makan malam yang antara lain terdiri dari fo tiao qiang tang atau Sup Buddha Melompati Tembok.
Legendanya ialah saking enaknya sup yang dimasak dengan berbagai bumbu ini, Sang Sakyamuni rela melompati tembok demi mencicipi. Aslinya, sup ini menggunakan sirip ikan hiu. Akan tetapi, karena di Taiwan hiu adalah satwa dilindungi, sup menggunakan seekor ayam utuh yang harus dimasak di dalam panci besar.
Baru satu hari setelah Imlek Taiwan kembali “hidup”. Warga mulai keluar rumah untuk beraktivitas. Tempat-tempat umum seperti mal, taman, dan obyek wisata kembali ramai. “Ini Imlek pertama setelah aturan karantina Covid-19 dicabut pertengahan tahun lalu. Kerabat dari luar negeri bisa mudik ke Taiwan lagi,” kata Wu Chung-hsian (39), seorang warga kota Taichung.
Ia mengaku lega bisa merayakan Imlek seperti sebelum pandemi, walaupun belum sepenuhnya ramai. Dibukanya berbagai obyek wisata membuat Wu bisa membawa istri dan anak jalan-jalan. Dua tahun sebelumnya, satu pekan Imlek murni dihabiskan di dalam apartemen karena aturan ketat.
Aktivitas mudik juga berkurang karena larangan keramaian, sehingga warga tetap tinggal di rantau. Berkunjung ke rumah teman juga susah karena ada kekhawatiran penularan Covid-19. Hiburan selama terkungkung ini adalah menonton televisi kabel dan memesan makanan dari layanan daring.
“Waktu itu, paling jauh ya membawa anak ke taman bermain di dekat gedung apartemen. Minimal dia bisa bermain ayunan dan perosotan. Saya dan istri bisa olahraga sedikit,” tuturnya.
Wu mengaku, berbagai berita intrusi pesawat PLA tidak menganggu perayaan Imlek. Apalagi, China sudah bertahun-tahun melakukannya. Bagi dia dan keluarga, status quo jauh lebih penting karena yang utama adalah keamanan dan kestabilan di Selat Taiwan serta ekonomi antara Taiwan, China, dan negara-negara lain. Adanya perisai teknologi, yaitu berbagai perusahaan semikonduktor, dianggap menjadi pelindung dari risiko invasi China.
Meskipun begitu, ada pula yang mengkhawatirkan risiko konflik dengan China. Lin Dong-yu (35), warga Taipei mengatakan bahwa beberapa anggota keluarganya yang berusia 17-30 tahun mencemaskan hal tersebut karena mereka harus melakukan wajib militer selama satu tahun. Setidaknya sejak enam tahun terakhir, masa wajib militer di Taiwan dipangkas menjadi empat bulan yang terdiri dari lima pekan latihan dasar dan sebelas pekan latihan khusus. Ada wacana dari Otoritas Taiwan masa wajib militer akan dikembalikan menjadi satu tahun.
“Empat bulan itu cuma seperlima dari lama wajib militer di Korea Selatan, sementara Taiwan menghadapi risiko lebih besar dibandingkan Korsel. Kita harus membangun ketahanan mental, bukan sekadar persenjataan. Jika tidak, nanti Taiwan seperti Afghanistan yang militernya dilatih dan disuplai oleh Amerika Serikat, tetapi tidak memiliki kapasitas mental dan moral yang teguh,” kata purnawirawan Marsekal Udara Chan Yen-ting kepada surat kabar Taipei Times edisi 8 Oktober 2021.
Menurut Wu, terlepas dari kecemasan adik-adik sepupu dan kerabat mudanya itu, Generasi Milenial ke atas Taiwan berpendapat bahwa kecil kemungkinan invasi secara militer akan terjadi. Globalisasi membuat rantai pasok dan produksi berada di China maupun Taiwan. Demikian pula dengan berbagai investasi asing yang ditanam oleh China dan Taiwan di negara-negara lain.
“Kelihatannya, mungkin dilakukan melalui berbagai pemilihan umum dengan menyokong para politikus yang lunak kepada China. Tapi, warga Taiwan pasti akan memastikan walaupun kebijakan banyak yang pro investasi China, pengaruh mereka ke politik nasional dan lokal tidak ada,” kata Lin.
Terlepas dari diskusi makan malam itu, orang-orang Taiwan tetap fokus kepada keseharian mereka. Memastikan keluarga dan teman-teman dalam keadaan sehat. Lampu-lampu hias di sepanjang jalan dan berbagai pasar malam yang kini buka kembali memeriahkan Imlek yang sudah dua tahun “dipaksa” sederhana. Soal dikusi politik lintas selat bisa dilakukan nanti setelah musim liburan lewat.
Ada beberapa teori yang beredar di masyarakat Taiwan mengenai risiko invasi China ke Taiwan. Pertama ialah ini karena kedekatan PLA dengan Presiden China sekaligus Sekretaris Partai Komunis China Xi Jinping. Sejumlah mantan petinggi PLA kini masuk Komite Pusat PKC dan di Taiwan santer beredar mereka yang menyetir narasi penyatuan Taiwan dengan China. Xi juga menggaungkan hal ini demi menjaga popularitas di dalam negeri.
Teori kedua sempat dibahas di media arus utama Taiwan, terutama acara bincang-bincang di televisi. Intinya, konflik bersenjata akan terjadi, tetapi di satu area khusus di Selat Taiwan.
Adapun teori berikutnya mengatakan bahwa invasi dilakukan secara "bawah tanah" seperti di Hong Kong. Artinya, satu per satu pejabat di legislatif, eksekutif, dan yudikatif Taiwan diganti dengan orang-orang pro China. Setelah itu, muncul aturan menekan demokrasi dan kebebasan berekspresi. Teori ini pernah dikemukakan pula oleh Sekretaris Kabinet Jepang Bidang Kebijakan Publik Noriyuki Shikata dalam wawancara eksklusif dengan Kompas pada November 2022, di sela-sela kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Nusa Dua.
"Tapi, kami meyakini teori-teori ini susah terlaksana. Sejarah dan posisi Taiwan berbeda dari Hong Kong," ujar Lin.
Ia mengacu kepada prinsip Satu China yang menekankan status quo antara China dan Taiwan. Stabilitas di kawasan tersebut harus dijaga. Berbeda dengan Hong Kong yang sejak dikembalikan oleh Inggris kepada China pada tahun 1997 diberi tenggat selama 50 tahun untuk bertransisi masuk ke sistem politik Beijing.