Indonesia Bukan Mitra Dagang Terbesar Korea Selatan di Asia Tenggara
Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia ternyata bukan mitra dagang kawasan terbesar bagi Korea Selatan. Volume dagang Korea Selatan dengan Malaysia, Vietnam, dan Singapura di atas Indonesia.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
Jakarta, Kompas- Indonesia berharap perdagangan dengan Korea Selatan naik hingga 60 persen pada masa mendatang. Pemberlakuan kesepakatan dagang dan status sebagai mitra strategis menjadi modal utamanya.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, hubungan Jakarta-Seoul mencatat sejarah baru dengan penerapan Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA).
”Hubungan bilateral kita terus berlanjut dan terwujud dalam kerja sama konkret yang bermanfaat bagi rakyat kita, termasuk di bidang keamanan, investasi maritim, pariwisata, budaya, pertukaran orang ke orang,” ujarnya dalam perayaan 50 tahun hubungan Indonesia-Korea Selatan (Korsel) di Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Hadir, antara lain, Duta Besar RI di Seoul Gandi Sulistiyanto dan Duta Besar Korsel di Jakarta Lee Sang-deok. Seoul memandang Jakarta sebagai salah satu mitra dengan perkembangan hubungan pesat. Dari 185 juta dollar Amerika Serikat (AS) pada 1973, volume perdagangan kedua negara meroket menjadi 30 miliar dollar AS pada 2022.
”Indonesia adalah satu-satunya negara yang memiliki kemitraan strategis khusus dengan Korea di antara negara anggota ASEAN,” katanya.
Lee menyebut, penguatan kerja sama Indonesia-Korsel merupakan keharusan. Sebab, Indonesia-Korsel punya kesamaan pandangan atas berbagai persoalan kawasan dan global. Dinamika geopolitik juga menjadi alasan Jakarta-Seoul perlu makin menguatkan kemitraan.
Pandangan Korsel soal Indo-Pasifik mendefinisikan Indonesia sebagai mitra kerja sama utama Korsel. ”Indonesia memimpin dalam memperkenalkan Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik, dan Korea sangat mengharapkan kepemimpinan Indonesia seperti itu,” ujarnya.
Gandi mengatakan, hubungan Indonesia-Korsel makin membaik dari tahun ke tahun. Bahkan, tahun lalu, Indonesia mencatat surplus dari perdagangan dengan Korsel. Biasanya, Indonesia selalu defisit.
Meski meningkat, Gandi masih menemukan sejumlah ganjalan dalam hubungan Indonesia-Korsel. Sampai sekarang, warga Indonesia belum mendapat kemudahan berkunjung ke Korsel. Saat ini, lebih banyak warga Korsel bertandang ke Indonesia ketimbang sebaliknya.
Warga Korsel bisa mendapat visa kunjungan saat tiba di Indonesia. Sebaliknya, WNI harus terlebih dulu mengurus visa di Jakarta sebelum bertandang ke Korsel.
Gandi membandingkan Jepang, tetangga Korsel, yang lebih banyak dikunjungi WNI. Sebab, pemegang paspor elektronik Indonesia mendapatkan pembebasan visa dari Jepang.
”Saya harap, dengan kolaborasi 50 tahun ini, persahabatan Indonesia dengan Korea dapat diwujudkan agar visa bagi Indonesia ke Korea bisa lebih mudah. Jadi, kita bisa menyeimbangkan 50 persen-50 persen,” ujarnya.
Di kawasan, nilai perdagangan Indonesia-Korsel masih di bawah volume perdagangan Korsel dengan Malaysia, Vietnam, dan Singapura.
Untuk itu, Gandi berharap Lee mengupayakan kemudahan visa kunjungan ke Korsel bagi WNI. Kemudahan pengurusan visa akan membuka banyak peluang peningkatan hubungan Indonesia-Korsel.
Gandi juga menyoroti fakta Korsel belum masuk lima besar mitra dagang Indonesia. Kini, Korsel masih menduduki peringkat enam dalam daftar itu.
Di kawasan, nilai perdagangan Indonesia-Korsel masih di bawah volume perdagangan Korsel dengan Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Padahal, Indonesia adalah perekonomian terbesar di kawasan.
Dengan pengesahan IK-CEPA, perdagangan kedua negara diharapkan bisa meningkat hingga 60 persen per tahun pada masa mendatang. Dalam CEPA disepakati penghapusan tarif untuk hampir semua jenis komoditas perdagangan kedua negara.
Sayangnya, produk pertanian Indonesia masih kesulitan menembus pasar Korsel. Buah-buahan tropis, seperti salak, pisang, rambutan, dan durian, di negara itu masih diimpor dari negara selain Indonesia. ”Saya kecewa kita tidak bisa masuk. Kalau negara ASEAN lain bisa, kurang apa kita?” kata Gandi.
Produk pertanian Indonesia masih kesulitan menembus pasar Korsel. Buah-buahan tropis, seperti salak, pisang, rambutan, dan durian, di negara itu masih diimpor dari negara selain Indonesia.
KBRI Seoul juga mendorong peningkatan impor barang modal dari Korsel. Meski ada peluang membuat neraca perdagangan Indonesia terhadap Korsel kembali defisit, peningkatan belanja barang modal merupakan hal positif. Sebab, barang-barang itu menjadi sumber penggerak perekonomian Indonesia. Di sisi lain, volume perdagangan Indonesia-Korsel juga bisa naik.
Hubungan Indonesia-Korsel tidak hanya meningkat karena faktor ekonomi. Indonesia memandang Korsel berperan penting dalam mewujudkan kedamaian dan keamanan kawasan.
”Kita menyadari pentingnya keamanan dan kestabilan kawasan sebagaimana tecermin pada ASEAN Outlook on Indo-Pacific dan Strategi Korsel untuk Indo-Pasifik yang bebas, damai, dan sejahtera. Kita perlu memanfaatkan kesamaan ini,” kata Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika pada Kemenlu RI Abdul Kadir Jailani.