Populasi Menua, Jepang Utamakan Anak dan Pengasuhan Anak
Jepang menghadapi persoalan demografi yang genting. Tingkat kelahiran menurun sementara populasi menua terus bertambah. Berbagai program diberikan tetapi tak mempan.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Tokyo, Senin - Jepang sudah berada di pinggir jurang demografi. Tingkat kelahiran yang rendah dan populasi yang menua menjadi dua persoalan genting bagi Jepang. Untuk mencegah disfungsi masyarakat, pemerintah Jepang akan memusatkan perhatian pada kebijakan mengenai anak dan pengasuhan anak dengan membentuk lembaga pemerintahan baru yang menangani isu itu. Persoalan ini kian mendesak karena, menurut perkiraan, jumlah kelahiran pada tahun lalu di bawah 800.000 kelahiran. Tingkat kelahiran yang menurun tidak hanya terjadi di Jepang tetapi juga di banyak negara maju, termasuk China dan Korea Selatan. Namun, bagi Jepang ini masalah akut karena memiliki proporsi penduduk berusia 65 tahun ke atas terbanyak kedua di dunia, setelah Monako.
Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, Senin (23/1/2023), mengatakan pemerintah akan membentuk lembaga baru bernama Badan Anak dan Keluarga pada April mendatang. Lembaga ini sepenuhnya akan mendukung orang tua dan memastikan keberlanjutan masa depan Jepang yang kini usia rata-rata penduduknya adalah 49 tahun. Dengan adanya lembaga baru itu otomatis akan ada anggaran baru dan Kishida berjanji akan menggandakan pengeluarannya untuk program-program terkait anak. “Saat ini Jepang berada di ambang apakah kita dapat terus mempertahankan fungsi sosial masyarakat. Masalah anak ini tidak bisa menunggu lagi, tidak bisa ditunda,” kata Kishida dalam pidato kebijakan pada pembukaan sesi parlemen tahun ini.
Selama 14 tahun terakhir, populasi Jepang yang kini berjumlah 125 juta kian turun dan diproyeksikan akan turun menjadi 86,7 juta jiwa pada 2060. Populasi yang menyusut dan menua memiliki implikasi besar bagi ekonomi dan keamanan nasional. Kishida berjanji akan meningkatkan dukungan keuangan bagi keluarga dengan anak-anak, termasuk lebih banyak beasiswa. Jepang merupakan negara dengan perekonomian terkuat ketiga di dunia tetapi biaya hidup tinggi dan kenaikan upah lambat.
Pemerintahan konservatif dinilai kurang cepat membuat masyarakat lebih inklusif untuk anak, perempuan, dan minoritas. Sejauh ini, upaya mendorong masyarakat untuk memiliki lebih banyak anak tak cukup berhasil meski sudah diberikan subsidi untuk kehamilan, persalinan, dan perawatan anak. Kalangan ahli menilai subsidi pemerintah masih cenderung menyasar orang tua yang sudah memiliki anak dan bukan menangani persoalan mendasar kenapa anak muda enggan berkeluarga.
Selama beberapa tahun terakhir, Jepang juga mencoba mendorong rakyatnya untuk memiliki lebih banyak anak. Bahkan pemerintah menjanjikan akan memberikan bonus uang tunai bagi pasangan yang memiliki anak. Tetapi, iming-iming itu tidak mempan juga karena, menurut survei dari lembaga Penelitian Penduduk YuWa, Jepang tetap menjadi salah satu negara termahal di dunia untuk membesarkan anak, setelah China dan Korea Selatan. Negara lain juga menghadapi persoalan yang serupa. Kenaikan biaya hidup, lebih banyak perempuan memasuki dunia kerja, dan orang cenderung menunda untuk memiliki anak menjadi alasan-alasan orang tak mau memiliki anak.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perkiraan populasi dunia, November lalu, menyebutkan populasi dunia sudah mencapai 8 miliar jiwa dan jumlahnya akan menjadi sekitar 8,5 miliar pada 2030. Pada 2050 menjadi 9,7 miliar dan pada tahun 2100 menjadi 10,4 miliar. Berdasarkan wilayah, populasi Asia Timur dan Tenggara, termasuk Jepang dan Cina, akan menurun pada tahun 2050, sedangkan pertumbuhan akan terus berlanjut di Afrika dan Asia Tengah dan Selatan, termasuk India. Namun, gambaran yang berbeda akan muncul jika melihat angka fertilitas total yang menunjukkan perkiraan jumlah anak yang akan dimiliki perempuan selama hidupnya. Tingkat kesuburan total sekitar 2,1 dianggap perlu untuk mempertahankan ukuran populasi, tetapi rata-rata global, yaitu 2,3 pada tahun 2021, akan turun menjadi 2,1 pada 2050.
Sekitar dua pertiga populasi dunia diperkirakan sudah tinggal di negara dan daerah dengan tingkat kesuburan 2,1 atau lebih rendah, dan laju pertumbuhan penduduk akan melambat akibat penurunan angka kelahiran. Tingkat kesuburan cenderung menurun seiring dengan perkembangan ekonomi karena biaya perumahan melambung tinggi dan biaya pendidikan meningkat karena semakin banyak orang yang mengenyam pendidikan tinggi. Tingkat kesuburan total Jepang turun di bawah 2,1 pada 1970-an dan turun menjadi 1,3 pada 2021.
Pekerja lansia
Harian the Japan Times, 8 January 2023, menyebutkan karena tingkat kelahiran menurun, angkatan kerja di Jepang pun berkurang sehingga banyak pekerja yang seharusnya sudah pensiun tetap dipekerjakan. Tidak ada pilihan lain selain mempekerjakan lansia. Lansia pun terpaksa tetap bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup. Jepang bukan satu-satunya negara di Asia Timur dimana orang tua merasa tidak punya pilihan lain selain tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Di Korea Selatan, dengan tingkat kemiskinan di kalangan lansia mendekati 40 persen, proporsi yang sama dari mereka yang berusia 65 tahun ke atas masih bekerja. Di Hong Kong, 1 dari 8 penduduk lansia masih bekerja. Rasionya lebih dari seperempat di Jepang. Di AS pun jumlahnya mencapai 18 persen.
Di Jepang dan Korsel, agen tenaga kerja sementara dan serikat pekerja telah dibentuk untuk mendukung dan membantu hak-hak pekerja yang berusia lebih tua. Meskipun banyak lansia yang masih harus bekerja karena kebutuhan ekonomi, majikan juga menjadi lebih bergantung pada mereka. Untuk mengatasi apa yang oleh para ahli demografi disebut sebagai “masyarakat super tua”, para pembuat kebijakan di Asia Timur pada awalnya berfokus pada upaya memacu kelahiran dan mengotak-atik undang-undang imigrasi untuk menopang angkatan kerja.
Langkah-langkah seperti itu tidak banyak mengubah tren penuaan karena tingkat kesuburan turun dan banyak negara menolak rencana imigrasi skala besar. Banyak perusahaan yang kini bergantung sepenuhnya pada angkatan kerja yang tua karena hanya mereka yang tersedia. "Kita mempunyai begitu banyak kapasitas tenaga kerja yang tidak digunakan dan belum dimanfaatkan," kata peneliti di Institut Bank Pembangunan Asia, Naohiro Ogawa. (REUTERS/AP)