Setelah Indonesia Bisa Melewati Masa "Kritis"
PPTM menjadi petunjuk bagaimana Kemlu RI akan mengelola kebijakan luar negeri sepanjang tahun. Substansi PPTM 2023 memperlihatkan bahwa Indonesia ingin membenahi "halaman depannya".
Tahun 2022 boleh dikatakan merupakan tantangan berat bagi Indonesia. Pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan ekononomi dunia belum selesai, tetapi masyarakat global harus berhadapan dengan invasi Rusia ke Ukraina. Meski jauh di Eropa, dampak perang terasa ke berbagai belahan dunia, hingga ke Indonesia, terutama karena menyangkut persediaan bahan pangan dan gas.
Tahun 2022 diharapkan menjadi batu pijakan bagi proses pemulihan ekonomi. Sebaliknya justru perang berikut sanksi yang dijatuhkan terhadap Rusia menjadi bumerang bagi ekonomi dunia. Dunia yang diharapkan pulih setelah program vaksinasi berjalan, malah berhadapan dengan resesi.
Selain itu, persaingan antara Rusia dan Amerika Serikat di satu sisi serta Amerika Serikat dan China di sisi lain, menimbulkan permasalahan tersendiri. Persaingan itu telah membuat situasi menghangat di halaman depan Indonesia, yakni Laut China Selatan.
Perebutan pengaruh di antara negara-negara adidaya telah membuat kapal-kapal perang negara-negara tersebut berseliweran di halaman depan Indonesia dan negara-negara ASEAN. Belum lagi kesepakatan AUKUS antara Australia, AS, dan Inggris, yang menambah “runyam” situasi, terutama dengan kesepakatan pengembangan kapal selam bertenaga nuklir Australia.
Baca juga : Para Anggota G-20 Saling Sikut dan Gagal Fokus
Semua kondisi itu terjadi saat Indonesia memegang Presidensi G20, seusai Italia menyelesaikan masa presidensinya pada November 2021. Berbekal semangat pemulihan bersama, tidak hanya dari pandemi Covid-19 tetapi juga perekonomian, Indonesia menyediakan diri menjadi jembatan dialog antara berbagai negara yang saling bersaing, sikut-menyikut di G20 akibat perang Ukraina-Rusia.
Pesimisme itu terjawab dengan Deklarasi Bali. “Deklarasi Bali yang berbobot. Tanpa mengorbankan prinsip-prinsip Piagam PBB, Deklarasi Bali mampu menghadirkan komitmen kerja sama yang kompleks,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Pernyataan Pers Tahunan Menlu (PPTM) di Jakarta, Rabu (11/1/2023).
Selain Deklarasi Bali, masa presidensi Indonesia juga menghasilkan beberapa hal lain, di antaranya pembentukan dana darurat pandemi (pandemic fund), Peta Jalan Transisi Energi Bali dan Bali Compact, Jaringan Inovasi Digital, operasionalisasi Resilience and Sustainability Trust untuk membantu ruang fiskal negara berkembang menghadapi situasi ekonomi yang sulit, serta 361 kerja sama dan proyek G20 dengan mitra-mitra globalnya.
Misi
Melihat isi PPTM 2023, substansinya tidak jauh berbeda dengan substansi yang disampaikan pada tahun sebelumnya. Jika dalam substansi PPTM 2022 diplomasi kesehatan menjadi hal utama dalam kerja-kerja diplomasi Indonesia, kini hal itu tersebar luas. Diplomasi kesehatan bahkan tidak disebut dalam PPTM 2023 setelah kebijakan baru pemerintah mencabut pembatasan kegiatan masyarakat di sejumlah kota dan jumlah kasus Covid-19 menurun.
Setidaknya ada empat prioritas kebijakan luar negeri Indonesia yang dipaparkan, yakni memperkuat diplomasi kedaulatan, memperkuat diplomasi pelindungan, memajukan kerja sama ekonomi, serta menjalankan diplomasi perdamaian dan kemanusiaan. Selain itu, Kemlu juga merencanakan pencalonan kembali Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2029-2030 dan anggota Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB.
Meski Covid-19 tidak lagi menjadi isu dominan, Kemlu sadar bahwa dunia tidak pernah kekurangan tantangan yang harus dihadapi bersama dan dicarikan jalan keluarnya. “Tantangan dunia tahun 2023 akan semakin berat. Ketidakpastian global dan situasi geopolitik akan semakin berat. Ketidakpastian global dan situasi geopolitik yang dinamis masih menjadi karakteristik dunia. Rivalitas antarkekuatan besar juga terus menajam,” kata Retno.
Baca juga : Menatap Cermin Sejarah Politik Luar Negeri Indonesia
Bagaimana posisi Indonesia? Retno menyatakan, “Sudah menjadi komitmen Indonesia untuk selalu menjadi bagian dari solusi.”
Retno juga mengatakan, kontribusi dan kepemimpinan Indonesia akan terus berlanjut. “Indonesia akan terus berkontribusi dan memainkan peran kepemimpinan di tengah dunia yang penuh tantangan,” ujar Retno.
Akan tetapi, dalam pandangan beberapa peneliti, substansi yang disampaikan Menlu adalah hal yang telah berulang kali dikerjakan para diplomat Indonesia. Itu hal yang reguler dikerjakan oleh Kemlu.
Wakil Direktur Centre for Strategic and International Studies Shafiah Muhibat, Rabu (11/1/2023), menyebut, ada yang hilang dalam paparan Retno. Dia mencontohkan tidak adanya pembahasan tentang persaingan negara-negara adidaya di kawasan, isu Laut China Selatan yang tidak disinggung, juga menghangatnya tensi di Selat Taiwan. “Sebagai pemegang keketuaan ASEAN, penjelasan bagaimana Indonesia menangani persaingan dan isu di kawasan sangat dinanti,” katanya.
Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri mempertanyakan tindak lanjut berbagai kesepakatan dan perjanjian yang ditandatangani pada KTT G20. “Jangan sampai hitungan prestasi kita adalah mengoleksi berbagai perjanjian, tetapi tidak ada aksi nyata penerapannya. Sejauh ini, belum tampak pembangunan infrastruktur maupun sistem untuk mewujudkan perjanjian-perjanjian kerja sama itu,” katanya. (Kompas.id, 12 Januari 2023)
Nanto Sriyanto, peneliti pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Minggu (15/1/2023), menilai, substansi PPTM 2023 menyiratkan bahwa setelah sukses mengelola persaingan di G20, fokus Kemlu pada 2023 adalah mengurusi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). “Misi Kemlu sepertinya membawa ASEAN menjadi pemenang dalam situasi politik regional dan global yang dinamis,” katanya.
Baca juga : Kontestasi Geopolitik dan Politik Luar Negeri Bebas-Aktif RI
Nanto mengatakan, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup banyak, terutama dalam menjabarkan konsep ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP). Bila menilik penjabaran Retno soal ASEAN dan AOIP di dalam PPTM, Nanto melanjutkan, publik bisa menilai bahwa Indonesia ingin menjadi pemain global melalui kerja-kerjanya di kawasan Asia Tenggara.
“ASEAN adalah rumah tradisional bagi kebijakan luar negeri Indonesia. Indonesia sejatinya pemain regional dengan kepentingan global,” kata Nanto.
Tidak hanya soal penjabaran AOIP sebagai salah satu pekerjaan rumah yang belum tuntas, Indonesia juga memiliki PR lain yaitu menyelesaikan kode perilaku (code of conduct) negara-negara saat berada di Laut China Selatan. Dalam waktu setahun ke depan, menurut Nanto, Indonesia ingin meninggalkan jejak monumental dalam keketuaannya, terutama terkait Indo-Pasifik.
Walau demikian, Nanto berharap pada suatu hari nanti Indonesia memiliki kebijakan luar negeri yang komplet untuk berbagai persoalan eksternal yang dihadapi.
Batu sandungan
Tantangan ASEAN tidak hanya berasal dari luar (eksternal), tetapi juga dari internal. Dalam dua tahun terakhir, tantangan terbesar ASEAN adalah kudeta militer terhadap pemerintahan yang demokratis oleh junta miiter Myanmar, 1 Febaruari 2021. Ketidakmampuan ASEAN menyelesaikan masalah di Myanmar menjadi luka tersendiri yang tidak bisa disembuhkan.
Setelah Lima Poin Konsensus (5 PC) diabaikan junta, beberapa negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, memulai ancang-ancang membuka dialog dengan semua pihak. Ini mencakup Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG), yang mayoritas diisi para politisi Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) pimpinan Aung San Suu Kyi.
“Mengenai Myanmar, sebagai ketua dan sesuai amanah 5PC, Indonesia akan berupaya semaksimal mungkin membantu Myanmar keluar dari krisis politik. Kantor Utusan Khusus akan dibentuk dan dipimpin oleh Menteri Luar Negeri,” kata Retno.
Dia menambahkan, sesuai isi 5 PC dan keputusan KTT ASEAN di Pnom Penh, Kamboja, November 2022, Indonesia akan merangkul semua pemangku kepentingan.
Baca juga : Menjaga Marwah ASEAN
Langkah itulah yang dinanti banyak pihak setelah Kamboja, pemegang keketuaan ASEAN sebelumnya, tidak bisa berbuat banyak. Namun, Indonesia tidak bisa sendirian.
Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch (HRW) Asia, saat ditemui di Jakarta, Kamis pekan lalu, mengatakan, Indonesia membutuhkan bantuan dari negara-negara yang memiliki pandangan serupa. AS dan sejumlah negara Uni Eropa, dalam pandangan Robertson, memiliki kemampuan untuk mendukung Indonesia.
ASEAN harus mengakui tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Sentralitas ASEAN, yang selama ini didengung-dengungkan, tidak bisa menghalangi Jenderal Min Aung Hlaing bertindak semena-mena. “ASEAN harus mau mengakui bahwa mereka terpecah,” kata Robertson.
Dalam posisinya sebagai Ketua ASEAN, Robertson meyakini Indonesia bisa berdialog dengan mitra-mitranya, terutama Rusia dan China, untuk mau menstabilkan situasi di Myanmar dan mendesak junta melaksanakan 5 PC yang sudah disepakati pada April 2021. Khusus untuk Rusia, Peterson skeptis Kremlin akan mengubah sikap karena negara itu membutuhkan pemasukan untuk meneruskan invasinya di Ukraina, yang telah berlangsung hampir satu tahun. Sementara, dalam pandangan dia, China mungkin bisa didekati dan memberi “perhatian” lebih pada permintaan Indonesia, pemimpin tradisional ASEAN.