Sebagai entitas agama dan negara, Vatikan menghidupi peran yang ”tampak” berbeda. Di satu sisi Vatikan menjadi simbol moral, di sisi lain Vatikan memiliki peran politik.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·5 menit baca
Di pengujung tahun, pada hari terakhir 2022, Paus Emeritus Benediktus XVI wafat. Perhatian dunia pun untuk sementara waktu tersita ke arah Vatikan. Selain tentang pribadi Paus Benediktus XVI, peran dan posisinya dalam Gereja Katolik, isu seputar pemakaman, serta penerusnya, Paus Fransiskus, juga turut memantik minat publik.
Dikenal sebagai teolog yang konservatif, keras menjaga dogma gereja, Paus Benediktus kerap diposisikan berbeda dengan Paus Fransiskus yang lebih terbuka. Kantor Berita Reuters pada Jumat (6/1/2023) mengabarkan, sebuah penerbit Italia mengirimkan salinan muka dari sebuah buku setebal 330 tulisan Uskup Agung Georg Ganswein berjudul ”Nothing but The Truth-My Life Beside Benedict XVI”. Mgr Ganswein adalah sekretaris pribadi Paus Benediktus XVI. Buku yang dirilis pada 12 Januari mendatang, antara lain, berisi tentang pandangan orang dalam tentang pemilihan Benediktus pada 2005, keputusannya pada 2013 untuk mundur, tahun-tahun pasca-kepausannya, penyakitnya, dan jam terakhirnya.
Dalam buku tersebut, Ganswein mengungkapkan bagaimana Paus Benediktus terkejut bahwa Paus Fransiskus tidak segera menanggapi surat empat kardinal yang dikenal konservatif tentang suatu isu moral. Benediktus disebutkan tidak setuju dengan sejumlah pendirian Fransiskus, termasuk sikap Paus Fransiskus membatasi penggunaan misa Latin tradisional. Sejauh ini, juru bicara Vatikan, Matteo Bruni, tidak mengomentari buku tersebut.
Terlepas dari ”perbedaan” tersebut, kedua Paus teguh menjaga misi moral, baik sebagai pemimpin Gereja Katolik sedunia maupun sebagai pemimpin negara. Dalam banyak kesempatan, kedua Paus konsisten menyuarakan pesan kemanusiaan, perdamaian, dukungan untuk para pengungsi dan kaum telantar, serta keadilan.
”Dalam peta besar dunia, Vatikan, sebagai entitas, seakan tidak punya suara, tidak memiliki peran. Namun, isu yang dibawa Vatikan memang bukan isu-isu seksi. Isu pelucutan senjata, isu pengungsi, perdamaian, kan, bukan isu seksi, maka menjadi kurang didengarkan,” kata Krispurwana Cahyadi SJ, teolog dogmatik, saat dihubungi Kompas.
Upaya nyata
Akan tetapi, di balik semua seruan moral itu, Vatikan diam-diam juga terlibat dalam berbagai isu yang kini menjadi perhatian utama dunia, salah satunya perang Rusia-Ukraina. Merujuk nconline.org dan catholicreview.org, Vatikan turut berperan dalam pertukaran tawaran Rusia-Ukraina.
Duta Besar Rusia untuk Vatikan Aleksandr Avdeyev mengonfirmasi bahwa Paus Fransiskus membantu memfasilitasi pertukaran itu. Bahkan, Vatikan juga menyediakan diri untuk menjadi mediator antara Rusia dan Ukraina. ”Dalam hal ini, kami sangat menghargai tindakan pribadi Paus, yang menjalankan misi kemanusiaan yang sangat penting yang memungkinkan ratusan orang kembali ke keluarga mereka,” kata Avdeyev.
Lebih dari 300 orang, baik sipil maupun militer, ”dibebaskan” dalam pertukaran tahanan itu. Upaya di belakang layar itu merupakan bagian dari cara Paus ”terus-menerus memperhatikan” apa yang terjadi di Ukraina.
Saat bertemu dengan sejumlah Jesuit di Kazakhstan pada September tahun lalu, Paus Fransiskus sedikit membuka proses itu. Ia mengatakan, dirinya bertemu dengan sejumlah utusan dari Ukraina, salah satu dari mereka memberi daftar nama (lebih dari 300) tahanan sipil dan militer.
”Mereka meminta saya melakukan sesuatu untuk mewujudkan pertukaran itu. Saya segera menelepon Duta Besar Rusia untuk mencari tahu apakah ada yang bisa dilakukan, apakah mungkin mempercepat pertukaran tahanan,” kata Paus Fransiskus.
Yang terjadi selanjutnya, pada 21 September, Rusia membebaskan 215 tahanan perang sebagai ganti Viktor Medvedchuk, mantan anggota Parlemen Ukraina, dan 54 orang lainnya. Pada 17 Oktober, pertukaran tahanan melibatkan 218 orang, termasuk 108 wanita. Pada 3 November, Rusia dan Ukraina masing-masing membebaskan 107 tentara yang mereka tangkap.
Namun, pada isu lain, seperti isu pelucutan senjata, suara Vatikan kerap membentur langit-langit, demikian juga untuk isu pengungsi. Negara-negara besar cenderung mengabaikannya. ”Namun, menurut saya, sebagai kekuatan moral, mau tidak mau Vatikan harus menyuarakan itu. Entah didengarkan atau tidak. Peran agama ada di situ,” kata Krispurwana.
Meskipun isu-isu seperti pembelaan pada orang miskin tidak menjadi prioritas politik ekonomi banyak negara, Vatikan tetap mengumandangkannya. ”Itu posisi yang dipegang Vatikan,” kata lulusan Universitas Innsbruck, Austria, itu.
Dalam relasi dengan kekuatan-kekuatan besar pun, termasuk dengan Rusia, China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, Vatikan cenderung bersikap moderat. Saat didesak mengecam serangan Rusia atas Ukraina, Paus Fransiskus memilih mengecam perang itu, tetapi tidak menyebut Rusia atau Presiden Vladimir Putin.
Menurut Krispurwana, posisi itu diambil karena Vatikan ingin menempatkan diri sebagai jembatan penghubung. ”Kalau dalam istilah moral Katolik Tuhan itu membenci dosa, tetapi mencintai pendosa. Maka, perang dikecam, tetapi jangan menyerang orang. Dan, itu tidak mudah,” katanya.
Meskipun demikian, posisi Vatikan tetap teguh untuk menyuarakan isu keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Meskipun itu tidak menjadi perhatian politik para pemimpin, tetapi terus disuarakan.
Di balik layar, para diplomat Vatikan tetap bergerak melakukan lobi-lobi. Dalam isu lingkungan, misalnya, selain mengirim delegasi resmi dalam COP26 di Glasgow, Vatikan pun mengirim pelobi untuk bertemu dengan delegasi resmi dari negara mitra, lembaga dunia, dan sejum-lah lembaga swadaya masyarakat.
Sebagaimana dalam lobi-lobi terkait isu-isu lain, posisi Vatikan adalah mengupayakan agar isu-isu kemanusiaan, keadilan, perdamaian, dan kelestarian lingkungan menjadi bagian dari kebijakan yang diambil para pemimpin negara atau pemimpin bisnis. Tidak mengherankan jika kemudian sejumlah pemimpin delegasi mengatakan mereka pun akhirnya membaca Laudato Si, ensiklik kedua Paus Fransiskus tentang tugas bersama untuk menjaga kelestarian bumi, rumah bersama umat manusia.
Gereja dengan sengaja memilih membangun kesadaran secara perlahan, bekerja untuk ”proyek” jangka panjang. Repot jika agama justru terjebak atau tunduk pada lobi politik kekuasaan dan isu jangka pendek semata. (AP/Reuters)