Sepanjang 2022, perusahaan-perusahaan teknologi di Amerika Serikat memecat 150.000 pekerja mereka. Termasuk di dalamnya Amazon yang memutuskan hubungan kerja dengan 18.000 pegawai. Tekanan ekonomi jadi alasan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
SEATTLE, KAMIS — Salah satu raksasa digital, Amazon, mengumumkan hendak memecat setidaknya 18.000 pekerja mereka. Inflasi dan pelambatan ekonomi menjadi alasan pengambilan keputusan tersebut. Total sepanjang 2022 perusahaan-perusahaan teknologi di Amerika Serikat telah memecat 150.000 pekerja mereka.
Direktur Utama Amazon Andy Jassy menyampaikan kebijakan tersebut di markas utama Amazon di Seattle, Negara Bagian Washington, Rabu (4/1/2023) malam waktu setempat atau Kamis (5/1/2023) Waktu Indonesia Barat. ”Keputusan ini berlaku sejak 18 Januari (2023). Divisi e-dagang dan sumber daya manusia akan terdampak,” kata Jassy.
Ia menerangkan, Amazon mempekerjakan terlalu banyak orang dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, sistem kenaikan gaji di beberapa divisi juga terlalu cepat dan terlalu banyak. Dengan demikian, ketika ekonomi sedang terkontraksi sebagaimana terjadi saat ini, beban perusahaan menjadi sangat berat. Ini pula alasan yang dikemukakan pendiri Twitter Jack Dorsey ketika pada November 2022 Twitter memecat 3.700 karyawan.
”Hal yang pasti, kami melakukan pemutusan hubungan kerja ini dengan sah dan sesuai aturan pemerintah. Hak-hak pegawai yang terdampak akan kami penuhi,” tutur Jassy.
Amazon memiliki 1,5 juta pekerja secara global. Sebanyak 300.000 karyawan bekerja khusus di kantor-kantor Amazon dan sisanya merupakan karyawan di pergudangan dan transportasi. Belum ada keterangan resmi dari Jassy mengenai divisi yang terdampak. Akan tetapi, harian Wall Street Journal (WSJ) menganalisis kemungkinan besar divisi-divisi pengembangan teknologi yang dipangkas.
Salah satunya adalah divisi Reality Labs yang memiliki 10.000 karyawan. Ini adalah divisi yang mengembangkan kecerdasan buatan Alexa. Akan tetapi, Alexa ternyata tidak bisa bersaing di pasar. WSJ juga memperkirakan layanan jaringan menonton film Amazon Prime Video akan terimbas. Ini berdasarkan pola yang turut dialami oleh perusahaan-perusahaan layanan menonton film Netflix dan Disney+ yang mengurangi pegawai mereka.
Roger Lee, pakar teknologi yang mendirikan situs pengawas ketenagakerjaan di industri tersebut, Layoffs.fyi mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan teknologi yang banyak memecat karyawan adalah yang bergerak di bidang layanan konsumen dan e-dagang. Sebelumnya, selama pandemi Covid-19, e-dagang tampak berkembang karena masyarakat tidak bisa keluar rumah akibat penguncian wilayah sehingga mayoritas melakukan belanja melalui daring.
Namun, pola belanja ini ternyata hanya pada kalangan ekonomi tertentu karena mayoritas masyarakat AS justru melakukan penghematan besar-besaran. Sebab, banyak dari mereka yang dipecat dari pekerjaan akibat perusahaan tidak bisa beroperasi selama pandemi.
Layoffs.fyi memantau angka pemecatan di perusahaan teknologi pada 2022 justru meningkat menjadi 150.000 orang. Pada 2020 dan 2021, angka pemecatan masing-masing 70.000 orang dan 15.000 orang. ”Kami mengkaji, perusahaan justru mengalami lebih banyak tekanan ekonomi pascapandemi karena inflasi sekarang tertinggi dalam 40 tahun terakhir dan The Fed (bank sentral AS) gagal mengendalikan turunnya nilai dollar,” papar Lee kepada Daily Mail.
Anjloknya nilai perusahaan Amazon menjadi salah satu contoh dampak tekanan ekonomi. Pada 2021, nilai Amazon adalah 1,88 triliun dollar AS. Akan tetapi, jumlah tersebut turun drastis menjadi 879 miliar dollar AS pada 2022.
Sejumlah perusahaan teknologi yang melakukan pemutusan hubungan kerja adalah Twitter dengan melepas 3.700 pekerja dan Meta yang memecat 11.000 orang. Walaupun demikian, perusahaan pemantau penyerapan tenaga kerja Ziprecruiter mengatakan, 79 persen karyawan industri digital yang dipecat memperoleh pekerjaan baru dalam kurun tiga bulan. (REUTERS/AFP)