Berharap China Transparan
Untuk menepis segala kecurigaan dan kekhawatiran dari komunitas internasional, China sebaiknya terbuka dan transparan terkait data Covid-19.
Kasus Covid-19 di China meningkat. Tetapi, peningkatan kasus ini baru dugaan saja, melihat rumah sakit-rumah sakit di negara itu tampak mulai kewalahan menangani pasien yang mayoritas berusia lanjut. Antrean di rumah kremasi juga panjang. Apotik pun kebanjiran pembeli yang memborong obat-obatan pereda flu.
Jumlah sebenarnya kasus Covid-19 di Negeri Tirai Bambu sudah tidak bisa diketahui karena pemerintah China menghentikan penghitungannya, 25 Desember 2022. Dari data terakhir yang resmi dipublikasikan, 23 Desember 2023, tercatat 3.761 kasus baru.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak China agar transparan dan terbuka membagikan data kasus terbaru, riil, dan spesifik ke seluruh dunia. Tujuannya, agar negara lain bisa mempelajari pengalaman China dan bisa merespons kasus Covid-19 secara efektif.
Berita tentang peningkatan kasus Covid-19 di China memicu kekhawatiran seluruh dunia yang mempertanyakan akurasi penghitungan dan pelaporan data di negara itu. Jika China butuh bantuan, Sekretaris Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus memastikan WHO siap setiap saat. Presiden Taiwan Tsai Ing-wen pun bahkan siap membantu untuk kepentingan kemanusiaan apabila dibutuhkan.
Baca juga : Dinamika Pandemi China
Namun, Presiden China Xi Jinping dalam pidato tahun barunya menyuarakan optimisme. Ia mengatakan, secercah harapan sudah terlihat di depan mata seiring langkah China memasuki tahapan baru dalam upaya pencegahan dan pengendalian. Tahap baru ini merujuk pada pelonggaran dan pencabutan protokol kesehatan yang ketat terkait Covid-19.
Mencabut kewajiban karantina bagi siapapun yang datang dari luar negeri menjadi prokes “benteng pertahanan” terakhir yang dicabut. Begitu aturan ini dicabut, warga China berduyun-duyun memesan tiket ke luar negeri. Sebaliknya, sejumlah negara panik, lalu berusaha membatasi warga China atau warga yang datang dari negara itu saat hendak masuk ke negara mereka.
Amerika Serikat dan Inggris, misalnya, mulai 5 Januari mendatang akan mewajibkan siapapun yang datang dari China, Hong Kong, dan Makau untuk memiliki hasil tes Covid-19 negatif, dua hari sebelum keberangkatan. Selain hasil tes negatif, Perancis juga akan melakukan tes Covid-19 secara acak pada penumpang yang baru tiba dari China.
Australia, Kanada, Italia, Spanyol, Malaysia, dan Korea Selatan, juga akan memberlakukan hal serupa. Sementara India memberlakukan ketentuan yang sama bagi warga dari China, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand. Jika diketahui positif, mereka harus dikarantina.
Jepang mensyaratkan hasil tes negatif saat tiba di bandara dan, jika hasil tes positif, harus karantina tujuh hari. Taiwan juga begitu. Maroko akan melarang semua orang yang tiba dari China, apapun kewarganegaraannya, masuk Maroko mulai 3 Januari ini. Adapun Filipina akan memperketat pengawasan dan pemeriksaan perbatasan bagi orang dari China.
AS beralasan, ketentuan wajib negatif Covid-19 bagi pendatang dari China mau tak mau harus dilakukan karena minimnya data Covid-19 yang transparan dari China.
Kementerian Luar Negeri China menegaskan, prokes atau aturan terkait Covid-19 hanya boleh diberlakukan atas dasar "ilmiah". Beijing menuduh negara-negara di Barat dan media "membesar-besarkan" situasi Covid-19 di China. Apa yang terjadi sekarang di China, dalam pandangan Beijing, secara umum masih terkendali dan sudah diprediksi.
AS beralasan, ketentuan wajib negatif Covid-19 bagi pendatang dari China mau tak mau harus dilakukan karena minimnya data Covid-19 yang transparan dari China.
Selain pemerintah, warganet di media sosial juga protes dan marah terhadap perlakuan negara-negara lain yang dianggap diskriminatif. "Saya pikir semua negara asing sudah terbuka. Bukankah ini rasisme?" sebut salah satu komentar yang viral di medsos buatan China, Weibo.
Akan tetapi, sebagian warganet merasa sikap Barat bisa dimaklumi. Selain itu, tindakan Barat tidak seberapa jika dibandingkan dengan pembatasan yang diterapkan China pada siapa saja yang datang ke China.
Baca juga : Pengenduran di China Legakan Dunia
Ahli sistem kesehatan dan epidemiolog India, Chandrakant Lahariya, menjelaskan kenaikan kasus Covid-19 di China sebenarnya tidak mengagetkan. Jika suatu negara memiliki populasi rentan yang tidak terpapar virus, kasus dipastikan akan mudah meningkat. "Pasti akan terjadi seperti itu di mana-mana, tidak hanya di China," ujarnya kepada BBC.
Langkah pembatasan terhadap warga China seakan mendapatkan "pembenaran" ketika hasil tes Covid-19 menunjukkan terdapat 52 persen penumpang di sebuah pesawat rute penerbangan China ke Milan, Italia, terinfeksi Covid-19 pada 26 Desember 2022. Kasus ini, menurut Elizabeth Freund Larus, peneliti pada Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri AS, semakin membuat komunitas internasional tak percaya dengan China. Apalagi, sejak awal munculnya Covid-19, China dianggap tidak jujur mengenai asal muasal Covid-19 dan jumlah kasus yang sebenarnya.
“Dulu jutaan warga China boleh bepergian ke dalam dan luar negeri ketika tahun baru China 2020. Padahal waktu itu, rupanya kasus Covid-19 sedang naik lagi di China dan menyebar lagi ke luar China. Belajar dari pengalaman ini, wajar kalau banyak negara khawatir,” ujar Larus.
Baca juga : Strategi ”Tembok Besar” China untuk Hadapi Pandemi Covid-19
Pakar China di Yonsei University di Seoul, Korea Selatan, John Delury, kepada harian Financial Times, 1 Januari 2023, juga mempertanyakan keputusan dan pilihan waktu pemerintahan Xi melonggarkan semua prokes justru pada musim dingin. Padahal, saat musim dingin, virus justru sangat mudah menular dan sistem kekebalan tubuh manusia dalam kondisi paling lemah.
Delury menilai pimpinan Partai Komunis China tidak bisa menjelaskan kepada rakyatnya apa yang sebenarnya terjadi sehingga ada penurunan kepercayaan publik. Jika ini terjadi, rakyat akan bisa mempertanyakan kemampuan pemerintah menangani krisis.
Diana Fu, ahli politik dalam negeri China pada lembaga kajian Brookings Institution, juga mempertanyakan: jika perubahan kebijakan dinamis Covid-19, seperti melonggarkan dan mencabut prokes yang ketat memang tidak terhindarkan, mengapa pemerintahan Xi tidak mempersiapkan konsekuensinya dengan lebih baik. Muncul kesan, perubahan yang dilakukan itu mendadak dan seperti terburu-buru.
Ini bisa jadi terlambat bagi Xi untuk menyelamatkan reputasinya. Di satu sisi, perubahan kebijakan ini bisa digunakan sebagai bukti bahwa sistem politik China di bawah kepemimpinan Xi masih adaptif dan merespons aspirasi rakyatnya. Namun, di sisi lain, hal itu juga menunjukkan adanya diskresi pada pimpinan puncak partai.
Untuk menepis segala kecurigaan dan kekhawatiran dari komunitas internasional, China sebaiknya terbuka dan transparan terkait data Covid-19. Tujuannya, semata-mata agar penyebaran Covid-19 bisa segera dicegah. Selain itu, komunitas internasional bisa segera membantu China jika China memang sudah kewalahan dan membutuhkan uluran tangan. (REUTERS/AFP/AP)