Isu pengungsi di Asia Tenggara harus ditangani secara serius dan tidak bisa mendadak. Harus ada badan dari ASEAN yang mengelolanya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Krisis pengungsi Rohingya tidak kunjung berakhir. Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN hingga kini belum memiliki badan yang bisa menangani persoalan pengungsi secara khusus sehingga permasalahan ini tidak bisa dikelola secara maksimal.
Peristiwa terakhir ialah terdamparnya 174 pengungsi Rohingya di Desa Ujung Pie, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, pada Senin (26/12/2022). Kapal mereka merapat ke pantai dan orang-orang berhamburan dari dalamnya. Warga segera membantu, terutama ketika mereka menemukan ada beberapa pengungsi yang sakit keras. (Kompas, Rabu 28 Desember 2022)
Kepala Humas Pemerintah Kabupaten Pidie Teuku Iqbal mengatakan, pihaknya telah menghubungi Kementerian Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Pasalnya, walaupun mereka tidak keberatan menampung para pengungsi, harus ada pengelolaan yang jelas. Saat ini, para pengungsi ditampung di gedung-gedung sekolah. Pekan depan, tahun ajaran baru sudah dimulai sehingga harus dicari tempat lain untuk menampung mereka.
“Masalah pengungsi di ASEAN tidak hanya etnis Rohingya, sekarang. Sejak kudeta Februari 2021, banyak warga Myanmar yang hendak melarikan diri karena negaranya tidak aman, tetapi perbatasan negara-negara tetangga ditutup,” kata Yuyun Wahyuningrum, Perwakilan Indonesia untuk Komisi Hak Asasi Manusia Antarpemerintah ASEAN (AICHR).
Ia menjelaskan, ASEAN tidak memiliki lembaga yang menangani pengungsi. Selama ini, tugas itu dilimpahkan kepada Pusat Koordinasi Pertolongan Bencana Alam ASEAN (AHA Centre). Akan tetapi, kewenangan dan kompetensi AHA Centre adalah mengelola bencana alam. Ketika harus menangani pengungsi, mereka hanya bisa memberi bantuan kemanusiaan.
Pembahasan isu pengungsi bukan cuma memberi mereka penampungan dan makanan, melainkan memastikan terpenuhinya hak-hak asasi mereka, termasuk hak atas kewarganegaraan. Apabila ASEAN memiliki badan pengungsi tersendiri, selain bisa mengoordinasi penanganan situasi pengungsi di sepuluh negara anggota ASEAN, juga bisa bermitra dengan Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) sehingga ada standar pertolongan dan pengelolaan pengungsi yang diakui secara global.
“Apabila setiap negara anggota ASEAN tidak bisa menangani isu pengungsi sendirian, delegasikanlah kepada badan tersebut. Pengelolaannya menjadi manusiawi dan pengungsi tidak dioper-oper ketika suatu pihak sudah kewalahan menangani mereka,” tutur Yuyun.
Khusus di Indonesia, Yuyun menjelaskan pentingnya ada gerakan dari pemerintah pusat untuk mendukung pemerintah-pemerintah daerah yang menangani pengungsi. Sering kali, kendala di lapangan ialah pemerintah daerah tidak memiliki anggaran ataupun lembaga yang bisa menangani pengungsi. Umumnya pengelolaan dilakukan oleh panitia yang bersifat ad hoc atau baru dibentuk ketika masalah terjadi.
Di Aceh ada sistem nelayan tradisional yang disebut Panglima laut. Mereka memercayai aturan kemanusiaan bahwa siapapun yang mengalami masalah di laut harus ditolong, terlepas suku bangsa maupun kewarganegaraan. Ini membuat mereka senantiasa menolong kapal-kapal pengungsi yang terombang-ambing.
“Sayangnya, aturan Panglima Laut ini kerap berseberangan dengan hukum positif Indonesia karena kita belum meratifikasi Konvensi Internasional tentang Pengungsi,” kata Yuyun. Jika belum meratifikasi, badan ASEAN untuk urusan pengungsi ini bisa menjadi salah satu jalan keluar.
Identitas
Persoalan Rohingya menyeruak ke perhatian global pada tahun 2015 ketika terjadi persekusi besar-besaran di Myanmar. Akan tetapi, Yuyun menerangkan bahwa permasalahan ini setidaknya sudah bercokol sejak tahun 2011 ketika pemerintah melakukan sensus nasional menjelang pemilihan umum. Di dalam sensus itu, tidak ada balong yang mengakui bahwa Rohingya merupakan bagian dari kelompok etnis di Myanmar.
Ada balong yang bertuliskan “kelompok lain-lain”. Pendapat warga Rohingya terpecah menyangkut hal ini. Ada yang bersikukuh bahwa Pemerintah Myanmar harus mengakui keberadaan mereka, tetapi ada pula kelompok yang dengan sukarela mencentang balong “lain-lain” tersebut.
“Masalahnya, setelah mencentang pun mereka tetap tidak dipenuhi hak-hak kewarganengaraannya, termasuk hak dasar atas pendidikan dan layanan kesehatan,” kata Yuyun.
Pada November 2018, ASEAN mengeluarkan aturan repatriasi warga Rohingya yang mengungsi di Cox’s Bazaar, Bangladesh untuk kembali ke Myanmar. Akan tetapi, dalam repatriasi itu, tidak ada komitmen Myanmar untuk menerima orang-orang Rohingya sebagai warga negara. Artinya, kembali ke Myanmar pun mereka berstatus sebagai pengungsi atau tamu. Ini membuat aturan tersebut sukar diterapkan.
Di Bangladesh, situasi mereka juga semakin tidak manusiawi sehingga banyak yang memutuskan angkat kaki. Pemerintah Bangladesh telah beberapa kali mengutarakan keberatan mengurusi pengungsi Rohingya lebih lama. Para pengungsi kemudian memilih mengambil risiko berminggu-minggu terkatung-katung di lautan sebelum akhirnya mencapai pesisir Malaysia dan Indonesia.
“Kami di Bangladesh tidak diizinkan keluar dari penampungan. Tidak ada sekolah pula untuk anak-anak kami,” kata Muhammad Taher, salah satu pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh. Perjalanan di atas kapal kayu itu memakan waktu satu bulan dan sepuluh hari. Ada 26 orang yang meninggal di atas kapal dan jenazah mereka dilarung ke laut. (AFP)