Sambut Positif Resolusi DK PBB, Indonesia Akan Terus Rangkul Myanmar
Menjelang pergantian tahun, saat Indonesia memulai tugas keketuaan ASEAN, DK PBB mengadopsi resolusi tentang Myanmar yang memperkuat posisi ASEAN. ASEAN akan terus membantu Myanmar menemukan solusi damai.

Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhon (ketiga dari kiri) memimpin pertemuan khusus para menteri luar negeri ASEAN di Jakarta, Kamis (27/10/2022). Dalam pertemuan itu, para menlu ASEAN menyatakan kekecewaannya terhadap sikap junta militer Myanmar yang tidak melaksanakan lima poin konsensus.
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia dan Perhimpunan Bangsa- bangsa Asia Tenggara (ASEAN) akan terus merangkul dan mendampingi Myanmar. ASEAN mendapat dukungan untuk melakukan hal itu setelah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk pertama kali dalam 74 tahun membuat resolusi soal Myanmar.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah mengatakan, Indonesia menyambut adopsi resolusi Dewan Keamanan PBB terkait situasi Myanmar. Indonesia akan menjadi Ketua ASEAN pada 2023. Krisis Myanmar merupakan salah satu persoalan yang harus diselesaikan pada masa keketuaan Indonesia.
Resolusi itu mendukung upaya ASEAN menangani krisis di Myanmar. “Seperti telah dinyatakan pemimpin ASEAN, Myanmar tetap menjadi bagian tidak terpisahkan dari ASEAN,” kata dia, Kamis (22/12/2022), di Jakarta.
ASEAN akan terus membantu Myanmar menemukan solusi damai dan dapat bertahan lama di tengah masalah yang dihadapinya. ASEAN juga menegaskan, lima poin konsensus ASEAN soal Myanmar tetap menjadi acuan dan perlu diterapkan sepenuhnya.
Baca juga : Resolusi DK PBB Kesempatan Emas Bagi ASEAN
Pada Rabu (21/12) di Markas Besar PBB, New York, AS, sebanyak 12 dari 15 anggota DK PBB menyetujui resolusi terkait Myanmar. Sejak dibentuk pada Oktober 1945, DK PBB baru dua kali mengeluarkan resolusi soal Myanmar, yakni pada 1948 dan 2022. Resolusi tahun 2022 berhasil diadopsi setelah China dan Rusia--dua anggota tetap pemilik veto dan mitra dekat Myanmar--bersama India memilih abstain.

Suasana sidang Dewan Keamanan PBB dengan agenda pemungutan suara atas draf resolusi penghentian segera kekerasan di Myanmar dan pembebasan tahanan politik di Markas Besar PBB, New York, AS, Rabu (21/12/2022).
Sebelumnya, pada 2017 China dan Rusia memveto rancangan resolusi terkait krisis etnis Rohingya di Myanmar. Mereka beralasan, krisis itu adalah isu internal Myanmar.
Di dalam resolusi DK PBB 2022, tertulis keharusan junta militer di Myanmar menghentikan segala jenis kekerasan, menghormati hak asasi manusia, dan membebaskan semua tahanan politik, termasuk Ketua Liga Nasional untuk Demokrasi Myanmar (NLD) Aung San Suu Kyi.
Suu Kyi saat ini dipenjara di Naypyidaw atas berbagai tuduhan korupsi dan kecurangan pemilihan umum November 2020. Ia sudah diganjar 23 tahun penjara dan masih menghadapi tujuh persidangan lain. Junta tidak menerima NLD memenangi pemilu November 2022 sehingga mereka melakukan kudeta, 1 Februari 2021.
Resolusi DK PBB secara gamblang menyebut agar Myanmar segera melaksanakan lima poin konsensus ASEAN.
"PBB menginginkan laporan satu suara secara berkala mengenai Myanmar," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres terkait tindak lanjut dari resolusi DK PBB tersebut.
Maksud dia adalah Utusan Khusus PBB dan Utusan ASEAN soal Myanmar harus memberi laporan lisan maupun tulisan setiap 60 hari. Laporan pertama diharapkan bisa diberikan pada 15 Maret 2023.
Baca juga : Keselarasan PBB-ASEAN soal Myanmar
Resolusi DK PBB secara gamblang menyebut agar Myanmar segera melaksanakan lima poin konsensus ASEAN. Di dalam konsensus itu adalah penunjukan utusan khusus ASEAN untuk Myanmar yang membangun dialog dengan junta, oposisi, dan seluruh pihak pemangku kepentingan.
Berkat abstain
Kepala Departemen Luar Negeri Centre for International and Strategic Studies (CSIS) Lina Alexandra melihat abstainnya China dan Rusia sebagai hal positif. Semua anggota tetap DK PBB adalah mitra wicara ASEAN dan tampak mereka, dengan cara masing-masing, mendukung ASEAN sebagai ujung tombak penyelesaian persoalan di Myanmar. Anggota DK PBB yang juga abstain adalah India.
China dan India berbagi masing-masing 2.129 kilometer dan 1.700 kilometer garis perbatasan dengan Myanmar. Wakil Tetap India di PBB Ruchira Kamboj berpendapat, resolusi itu tak sepenuhnya mendukung upaya pencarian solusi politik atas masalah di Myanmar. “Dalam kondisi sekarang, kami mempertimbangkan resolusi DK PBB mungkin menguatkan ketidaklenturan sikap para pihak (di Myanmar) dibandingkan mendorong mereka pada dialog politik inklusif,” ujarnya, seperti dikutip The Hindu.
Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun mengatakan, China tidak sepenuhnya cocok dengan hal-hal yang tertuang di dalam resolusi. Akan tetapi, Beijing tidak mau menghalangi upaya perdamaian di Myanmar.

Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun menyampaikan pernyataan dalam sidang Dewan Keamanan PBB dengan agenda pemungutan suara atas draf resolusi penghentian segera kekerasan di Myanmar dan pembebasan tahanan politik di Markas Besar PBB, New York, AS, Rabu (21/12/2022).
Meski abstain, India dan China sepakat kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan. Menurut Asosiasi Bantuan Tawanan Politik (AAPP) Myanmar, junta telah membunuh 2.604 orang dan menangkap 16.500 orang sejak kudeta 2021. Baku tembak di berbagai lokasi juga masih terus terjadi.
Dubes Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun, yang dipilih sejak era NLD, memerintah menganggap resolusi kurang tegas kalimatnya. "Tetapi tidak apa-apa. Ini langkah awal berbagai upaya memastikan junta dan kekejaman mereka dihentikan," ucapnya.
Giliran ASEAN
Setelah DK PBB melontarkan dukungan dengan resolusinya, bola kini berada di tangan ASEAN. "Sekarang, prioritas ASEAN harus menunjuk utusan khusus yang profesional dan menurunkan lima poin konsensus menjadi petunjuk teknis serta tugas, pokok, dan fungsi yang jelas bagi utusan tersebut," ujar Lina dari CSIS.
Mandat utusan khusus harus dituangkan dengan saksama, mulai dari kewenangan, tenggat pekerjaan, dan patokan capaian. Lina menambahkan, Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023 harus melakukan pendekatan konstruktif kepada semua anggota. Utusan khusus profesional berarti bekerja di bawah kelembagaan ASEAN.
Sementara secara terpisah, Kamis kemarin Thailand menggelar pertemuan informal untuk membahas isu Myanmar. Bangkok berusaha mempertemukan para pihak terkait Myanmar. Thailand mengundang negara-negara di sekitar Myanmar, seperti Laos, Kamboja, dan Vietnam, hadir dalam pertemuan itu.
Perwakilan junta militer Myanmar juga diundang dalam pertemuan itu. Sumber di pemerintah Thailand, yang dikutip Reuters, menyebutkan, tak ada perwakilan dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina.

Faizasyah menyebut, pertemuan itu inisiatif Thailand dan bentuknya informal. Pertemuan itu bukan forum ASEAN.
Sejak akhir 2021, pejabat setingkat atau lebih tinggi dari menteri untuk mewakili Myanmar tidak lagi diundang ke forum resmi ASEAN. Myanmar hanya bisa diwakili pejabat paling tinggi setara direktur jenderal.
Seperti China dan India, Thailand juga berbagi perbatasan dengan Myanmar. Sebagian pengungsi konflik di Myanmar lari ke Thailand. Karena itu, Bangkok berkepentingan membantu menyelesaikan konflik di Myanmar.
Baca juga : Pesan Penting dari Bali Democracy Forum: Pulihkan Demokrasi Myanmar
Bangkok sudah berulang kali menggelar pertemuan resmi dan tidak resmi selepas kudeta di Myanmar pada Februari 2021. Sebelum pertemuan Kamis, Bangkok mengusulkan forum dialog tidak resmi di antara perwakilan para pihak di Myanmar. Sampai sekarang, upaya Thailand dan anggota lain di ASEAN belum membuahkan hasil.
RUU Myanmar di AS
Sementara itu, Amerika Serikat memiliki landasan baru untuk berinteraksi dengan semua kelompok tidak resmi dan resmi di Myanmar. Lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Myanmar yang disetujui Kongres AS pekan lalu, AS bisa berinteraksi dengan semua pihak di Myanmar. AS bisa memberikan bantuan kemanusiaan kepada pihak oposisi di Myanmar.
Presiden Myanmar versi Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) Duwa Lashi La berharap, Presiden AS Joe Biden segera mengesahkan RUU itu. “RUU itu akan memberikan bantuan yang sangat diharapkan oleh rakyat kami,” kata dia.

Anak-anak pengungsi Rohingya mengikuti pelajaran di sebuah sekolah di sebuah sekolah di kamp pengungsi Kutupalong di Ukhia, Cox's Bazar, Bangladesh, Rabu (10/8/2022). Human Rights Watch melaporkan, setidaknya 200 desa Rohingya dihancurkan dan dibakar oleh militer Myanmar, dan diperkirakan 13.000 orang Rohingya terbunuh.
RUU itu dianggap NUG sebagai wujud nyata keberpihakan AS pada perlawanan sipil Myanmar. “Ini dukungan penting bagi warga Myanmar, organisasi kami, dan upaya perlawanan terhadap junta,” ujarnya.
RUU itu tidak hanya memungkinan AS membantu NUG dan kelompok yang terafiliasi dengannya. RUU itu memungkinkan AS berkomunikasi dengan kelompok-kelompok perlawanan yang dibuat oleh berbagai etnis di Myanmar. Beberapa dekade terakhir, militer Myanmar atau Tatmadaw memerangi kelompok bersenjata yang dibentuk berbagai suku di Myanmar.
RUU tersebut juga memberi alasan AS memperluas sanksi kepada junta dan pihak-pihak yang menyokongnya. Washington kini punya landasan baru untuk membatasi kelompok penyokong junta beroperasi di luar negeri.
Baca juga : ASEAN Ultimatum Junta Militer Myanmar Jika Masih Abaikan Konsenus
Sanksi kepada perusahaan dan pengusaha penyokong junta sejak lama dikampanyekan berbagai pihak. Junta bisa mendapatkan dana operasi antara lain karena mengendalikan ratusan perusahaan di dalam dan luar Myanmar. Perusahaan itu bergerak di sektor perdagangan, pertambangan, hingga konstruksi.

“RUU itu akan menambah dasar menetapkan sanksi terarah kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kudeta, pelanggaran HAM, dan pengelola badan usaha yang membantu junta,” kata anggota DPR AS Gregory Meeks.
RUU itu mengubah arah pendekatan AS dalam konflik Myanmar. “Selama ini, AS tidak mau berkomunikasi resmi dengan pihak-pihak seperti NUG. Sekarang, komunikasi resmi akan diizinkan oleh undang-undang. Hal itu amat penting dalam pencarian solusi masalah Myanmar,” kata peneliti kajian Myanmar pada United States Institute for Peace (USIP) Nicole Cochran.
Sebelum RUU itu disetujui Kongres AS, pemerintahan AS tidak berkewajiban menjatuhkan sanksi kepada junta. Kini, sanksi wajib dijatuhkan. “Kongres memaksa pemerintah untuk bertindak,” kata dosen National War College AS Zachary Abuza.
Selama ini, memang AS telah menjatuhkan sanksi kepada berbagai pihak di Myanmar. Walakin, sanksi itu dipandang belum benar-benar bisa memukul junta. (AFP/REUTERS)