Berkumpul dengan keluarga dalam kehangatan Natal tentu diharapkan banyak orang. Namun, banyak diaspora Indonesia yang tak merasakannya, sehingga ragam alternatif dilakukan untuk mengobati rindu akan Tanah Air.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
Jauh dari keluarga memberi tantangan tersendiri untuk bertahan, apalagi jika tuntutan merantau ke negeri orang. Perayaan Natal dan Tahun Baru yang makin dekat tampaknya menjadi tantangan tersendiri bagi para diaspora untuk mengobati kerinduannya akan Tanah Air.
Meski hari besar itu dirayakan dengan meriah, kehangatan keluarga tentu tak tergantikan. Namun, tak sedikit warga negara Indonesia (WNI) akhirnya terdorong mencari alternatif lain untuk mencari keceriaan yang serupa.
Salah satunya terjadi pada Deonisius Pradipta Aprisa (25), mahasiswa Universiteit Gent, Belgia. Tahun ini merupakan Natal keduanya di negeri orang.
“Kalau merayakan Natal bukan di Tanah Air sih pasti ada rasa rindu dengan keluarga. Alasannya, tiap hari raya (di Indonesia) pasti pulang untuk beribadah bersama, sedangkan sekarang enggak bisa melakukan itu. Jadi beribadah bersama teman atau sendiri,” ujar Deo ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (20/12/2022).
Walau demikian, suka cita Natal di tempatnya sekarang tak terbendung. Kebahagiaan ini tampak dalam festival musim dingin Gent atau Gent Winter Feesten (GWF) 2022. Banyak orang tumpah ruah memadati jalan untuk menghadiri festival ini yang menunjukkan beragam warna keceriaan.
Ada sejumlah wahana permainan, salah satunya bianglala. Dalam acara itu terdapat pula orkestra serta acara musik lain. Festival tak lengkap tanpa keberadaan berbagai macam kios, mulai dari makanan hingga mainan. Pengunjung dapat menikmati beragam acara tersebut sesuai dengan jadwal yang tersusun.
Meski telah mengikuti kemeriahan festival, kehangatan Natal makin terasa kala berkumpul dengan saudara senasib-seperjuangan. Guna mendapatkan kehangatan serupa seperti saat bersama keluarga, Deo berencana merayakan Natal dengan WNI lain. Ia diundang untuk menghadiri makan malam sekaligus berpesta dengan umat Kristiani di daerah Ghent pada Malam Natal. Setelah itu, ada pula kegiatan tukar kado bersama mahasiswa Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) pada Minggu (25/12).
Sementara itu, mahasiswa yang baru memperingati Natal kali pertama di negeri orang justru bersemangat. Beragam kegiatan ingin dicoba, sebab merasakan banyak perbedaan antara perayaan Natal di negara-negara Barat dan Timur, khususnya Indonesia.
“Karena ini tahun pertama, jadi menurutku masih lebih excited sih, walau enggak terlalu mengobati (rindu) karena biasanya merayakan dengan keluarga. Kalau bisa menghabiskan waktu bareng keluarga di sini, pasti lebih baik,” tutur mahasiswa London School of Economics, London, Inggris ini.
Masa belajar yang hanya setahun memicu Moudy untuk lebih menikmati pengalaman baru menikmati Natal di negara monarki ini. Ia berencana untuk ke gereja, kemudian makan malam bersama teman-teman PPI tepat saat hari kelahiran Yesus Kristus.
Animo serupa terjadi pula di Geelong, Melbourne, Australia. Meski nuansa Natal tak semeriah dengan kota-kota besar lainnya, tetapi kehangatannya tetap tersirat.
Apabila sejumlah mahasiswa lain berkumpul dengan PPI, berbeda dengan Aholiab Tegar (28) yang menempuh pendidikan di Deakin University. Setelah merayakan Natal di gereja, ia akan makan bersama dengan mahasiswa setempat sekaligus warga lokal.
“Kalau warga Indonesia ramah dan murah senyum, umat di sini juga begitu. Setelah ibadah, kita enggak langsung pulang, jadi ngobrol dahulu. Mereka mau mendekati kita duluan. Ini enggak hanya terjadi pada 1-2 orang, tapi banyak umat yang bersikap sama,” tutur Aho.
Euforia yang berbeda
Perayaan Natal negara-negara Barat dan Timur, khususnya Indonesia tentu berbeda. Cara berselebrasi, bentuk pesta menunjukkan karakter yang tak sama.
Menurut Deo, perayaan Natal di Indonesia berbeda dengan di luar negeri. Saat di negeri sendiri, rasa kekeluargaan antar umat terasa, sebab warga saling mengenal satu sama lain, sehingga memang tampak “guyub”. Hal itu tak ditemukan saat ia merayakan Natal di negara-negara Eropa selama ini. Hanya saja, perayaan memang tampak ramai secara historis dan budaya, bukan dari aspek keagamaan.
Hal senada juga diutarakan Moudy. Ia menilai perayaan di Inggris menekankan pada kemeriahannya, sebab tiap orang menganggapnya bak pesta nasional. Beraneka ornamen dan kegiatan dapat ditemukan di berbagai tempat. Semua orang keluar untuk merayakan Natal, selain berlibur dan berkumpul dengan keluarganya masing-masing.
Berbeda dengan Indonesia kala dekorasi-dekorasi Natal hanya terpasang di sejumlah tempat, seperti taman dan pusat perbelanjaan. Alasannya, hanya umat Nasrani yang merayakan hari besar ini, sehingga memang keceriaannya tak sekental di Inggris.
“Menurutku, orang-orang Indonesia lebih mendalami makna kelahiran Yesus Kristus daripada di sini, karena budaya di sini melihatnya sebagai perayaan. Jadi dimanfaatkan untuk jalan-jalan, melihat ornamen bagus, termasuk Sinterklas,” ujar penerima beasiswa Chevening ini.