Jerman Kembalikan Harta Karun Jarahan dari Afrika
Asia dan Afrika sudah puluhan tahun mengupayakan pemulangan artefak yang dijarah bangsa Eropa. Berlian 70 karat yang dijarah Belanda dari istana Kesultanan Banjarmasin termasuk yang belum dikembalikan.
ABUJA, RABU — Jerman mengembalikan sebagian jarahannya pada masa silam kepada Afrika. Beberapa di antaranya adalah 20 artefak. Langkah ini melanjutkan gelombang pengakuan Eropa atas penjajahan, penindasan, dan penjarahan bangsa-bangsa benua itu terhadap bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika.
Menteri Kebudayaan Jerman Claudia Roth menyebut, 20 artefak yang dikembalikan itu tidak pernah menjadi milik Jerman. ”Kami ingin mengembalikan benda yang tidak pernah menjadi milik kami,” ujarnya, Selasa (20/12/2022), di Abuja, Nigeria.
Ia tiba di Nigeria bersama Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock. Mereka mengembalikan sebagian dari 1.130 artefak hasil jarahan dari Kerajaan Benin pada 1897. Penjarahan dilakukan oleh pasukan Inggris kala menyerbu kerajaan yang wilayahnya kini termasuk bagian dari Nigeria tersebut.
Pasukan Inggris menjarah ribuan benda dari perunggu, gading, emas, dan tembaga dari Benin lalu menjualnya ke berbagai pihak. Belakangan, hasil jarahan itu tersebar di Eropa, Amerika, dan sebagian negara Asia.
Baca Juga: Belanda Minta Maaf atas Perbudakan VOC
Baerbock menyebut keputusan itu sebagai pemulangan bersejarah. ”Kami di sini untuk memperbaiki kesalahan,” ujarnya.
Baerbock dan Roth menyebut, Jerman perlu mengakui perannya dalam penjajahan di masa lalu. Menurut Roth, pemulangan artefak itu bagian dari pengakuan atas penjajahan oleh Jerman di masa lalu. Pemulangan itu dinyatakan sebagai upaya mengembalikan identitas bangsa yang dicuri di masa lalu.
”Pejabat di negara kami dulu membeli perunggu ini, padahal tahu ini hasil jarahan. Setelah itu, dalam waktu lama, kami mengabaikan permintaan Nigeria untuk mengembalikannya. Salah (kalau) mengambil artefak ini dan menyimpannya. Ini adalah cerita penjajahan Eropa. Ini adalah cerita negara kami berperan dalam kekelaman, menyebabkan penderitaan dahsyat di berbagai penjuru Afrika,” tutur Baerbock sebagaimana dikutip Deutsche Welle.
Menteri Kebudayaan Nigeria Alhaji Lai Mohammed mengatakan, Nigeria menghargai keputusan Jerman. ”Dulu, tidak ada yang membayangkan pengembalian ini. Sebab, terlalu banyak rintangan untuk memulangkan kekayaan bangsa ini. Hari ini, dengan isyarat persahabatan dari Jerman, cerita mulai berubah,” katanya.
Pengembalian oleh Jerman terjadi sehari setelah Belanda mengaku bersalah dan memohon maaf atas perbudakan di masa lalu. Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mengakui keterlibatan Belanda atas perdagangan budak di Asia, Afrika, dan Amerika berabad lalu.
Meski tidak secara langsung, Rutte mengakui Belanda memperdagangkan dan menggunakan budak di Hindia Belanda yang kini menjadi Indonesia. Hingga sejuta orang diperdagangkan perusahan Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Baca Juga: PM Belanda Meminta Maaf kepada Indonesia
Dengan pernyataan pada Senin malam, sudah beberapa kali Rutte memohon maaf atas kekejaman Belanda di masa lalu. Selain terhadap Indonesia, Belanda juga meminta maaf atas penjajahan di negara lain. Seperti Nigeria kepada Jerman, Indonesia juga meminta Belanda mengembalikan berbagai artefak yang dijarah selama masa penjajahan.
Pada Oktober 2020, sejumlah pakar Belanda menyimpulkan seluruh artefak hasil jarahan era penjajahan harus dikembalikan tanpa syarat. Hal itu berlaku pada berlian 70 karat yang dijarah Belanda dari Istana Kesultanan Banjarmasin. Berlian itu disimpan di Rijksmuseum.
Laporan pada Oktober 2020 itu menyebut National Museum van Wereldculturen, Museum Bronbeek, dan Rijksmuseum sebagai lokasi utama penyimpanan hasil jarahan pasukan Belanda di masa penjajahan. Selepas laporan dikeluarkan, manajemen Rijksmuseum mengaku mendukung penindaklanjutan rekomendasi laporan tersebut.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Belanda periode 2017-2022, Ingrid van Engelshoven, juga mendukung rekomendasi itu. Bahkan, ia mengakui, ribuan artefak dari daerah jajahan Belanda sebagai hasil pencurian. ”Tidak ada tempat dalam koleksi kenegaraan Belanda untuk benda-benda kebudayaan yang didapatkan melalui pencurian. Kalau suatu negara minta pengembalian, kami akan kembalikan,” ujarnya selepas laporan itu dikeluarkan.
Sementara Direktur National Museum of World Cultures Stijn Schoonderwoerd mengatakan, Belanda harus berkomunikasi dengan negara pemilik artefak. ”Akan menjadi bentuk penjajahan baru jika kita menganggap lebih tahu apa yang baik bagi Indonesia, Suriname, atau negara lain,” kata ketua konsorsium museum Belanda itu.
Museum-museum Eropa dan Amerika Utara sejak lama dituding terlibat mengesahkan penjajahan. ”Mereka (museum Eropa dan Amerika Utara) jelas membantu mengubah cerita para penjajah menjadi pejelajahan,” kata Direktur Open Society Initiative for West Africa (OSIWA) Ayisha Osori.
Baca Juga: Pemulangan Artefak-artefak Bersejarah dari Luar Negeri Dilanjutkan Kembali
Organisasi pimpinan Osori adalah salah satu lembaga yang mendesak pemulangan artefak jarahan dari Eropa dan Amerika Utara. Fakta sejarah menunjukkan artefak-artefak itu dijarah dan dirampas. ”Cerita Kerajaan Benin di Nigeria, Kerajaan Dahomey di Republik Benin, dan Kerajaan Ashanti di Ghana jelas menunjukkan kekerasan yang mengiringi perampasan dan penjarahan,” tuturnya.
Bangsa-bangsa Asia dan Afrika sudah puluhan tahun mengupayakan pemulangan artefak yang dijarah bangsa Eropa. Tuntutan itu mendapatkan tanggapan serius selepas kematian George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat, pada Mei 2020. Kematian pria kulit hitam selepas lehernya ditekan dengan lutut oleh polisi setempat itu memicu protes di berbagai negara.
Selain protes atas kekerasan aparat yang dipicu diskriminasi rasial, protes itu berkembang menjadi kemarahan atas penjajahan. Simbol penjajahan di berbagai negara Eropa dicopot dari ruang-ruang publik.
Protes atas penjajahan juga diwujudkan dalam bentuk desakan pengembalian artefak yang dijarah. Meski demikian, masih ada ratusan ribu artefak Asia dan Afrika disimpan di berbagai museum Eropa dan Amerika Utara. ”Pengembalian jadi dagangan baru. Intelektual di Barat menjadikannya obyek pembahasan dari seminar ke seminar, sementara artefaknya tetap disimpan di Eropa dan Amerika,” kata Direktur African Artist Foundation Azu Nwagbogu.
Direktur Jenderal Komisi Nasional Museum Nigeria Abba Isa Tijani menyebut, Barat memakai banyak alasan untuk menolak pengembalian. Sejumlah negara Eropa, misalnya, beralasan tidak bisa mengembalikan karena tidak bisa menemukan siapa pemilik asli artefak itu. Sebagian lain beralasan negara Asia dan Afrika tidak mampu merawat artefak tersebut.
Baca Juga: Pemerintah Berkomitmen Mengembalikan Artefak Indonesia dari Luar Negeri
Inggris dan Belgia termasuk negara yang paling keras menolak pengembalian. London dan Brussels sekaligus menjadi pelaku utama penjarahan berbagai artefak Asia dan Afrika berabad lalu. Aneka artefak itu masih disimpan di berbagai museum dan universitas Inggris dan Belgia. Bahkan, British Museum tidak punya rencana mengembalikan artefak hasil curian itu.
Lembaga-lembaga di Inggris beralasan, pemulangan terhalang oleh undang-undang Museum Inggris dan undang-undang Cagar Budaya. Sampai sekarang, London tidak berencana mengubah undang-undang yang menjadi dasar Inggris menguasai artefak hasil jarahan dari Asia dan Afrika. (AFP/REUTERS)