Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyebut catatan sejarah perbudakan sebagai hal yang menyakitkan dan memalukan.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
DEN HAAG, SELASA — Perdana Menteri Belanda Mark Rutte secara resmi meminta maaf atas perbudakan oleh leluhur bangsanya terhadap Asia dan Afrika. Perbudakan yang disebutnya direstui Pemerintah Belanda itu, antara lain, dilakukan VOC, perusahaan Belanda yang dulu menjajah Nusantara. Rutte menyebut perbudakan itu meninggalkan luka mendalam.
Rutte mengatakan, memang tidak ada seorang pun di masa kini disalahkan secara pribadi atas perbudakan tersebut. Walakin, tidak dapat disanggah bahwa Belanda dan seluruh sejarahnya bertanggung jawab atas penderitaan dahsyat yang dialami oleh para budak dan keturunan mereka.
”Hari ini, atas nama Pemerintah Belanda, saya meminta maaf atas tindakan negara Belanda di masa lalu. Secara anumerta kepada semua orang yang diperbudak di seluruh dunia yang telah menderita akibat tindakan tersebut, kepada putri dan putra mereka, dan kepada semua keturunan mereka hingga saat ini,” tutur Rutte dalam pidato di Nationaal Archief (NA) atau Pusat Arsip Nasional, Den Haag, Belanda, Senin (19/12/2022) malam waktu setempat atau Selasa dini hari WIB.
Belanda secara resmi menghapuskan perbudakan pada 1863. Penghapusan dilakukan tujuh tahun sebelum tanam paksa di Hindia Belanda berakhir. Sampai sebelum 1863, Belanda dan perusahaan negara itu memperdagangkan jutaan orang.
”Di Asia, antara 660.000 hingga lebih dari sejuta orang, kita tidak tahu jumlah pastinya, diperdagangkan di wilayah yang menjadi kewenangan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Jumlahnya sulit dipercaya. Penderitaan manusia di baliknya lebih tidak terbayangkan lagi,” tutur Rutte, sebagaimana dikutip Nederlands Dagblad.
Beroperasi pada 1602 sampai 1799 di wilayah yang belakangan menjadi Hindia Belanda, VOC menjadi perusahaan dagang terbesar pada masanya. VOC menunjuk 32 gubernur jenderal sebelum akhirnya perusahaan itu dibubarkan pada 1799 dan Hindia Belanda sepenuhnya dikendalikan Pemerintah Belanda mulai 1796. Pada masa kekuasaan kerajaan, salah satu periode terburuk Hindia Belanda terjadi pada era Tanam Paksa selama 40 tahun mulai 1830.
Selain oleh VOC dan pemerintah, perbudakan juga dilakukan oleh Geoctrooieerde Westindische Compagnie (GWC). Bahkan, perdagangan budak dari Afrika ke Amerika dan Karibia menjadi bisnis utama GWC. Keturunan budak yang diperdagangkan GWC kini tersebar terutama di Karibia.
Sejarah memalukan
Catatan perbudakan itu, menurut Rutte, sebagian dari sejarah buruk yang menyakitkan dan memalukan yang tersimpan di Pusat Arsip Nasional Belanda. ”Kita, yang hidup di masa kini, hanya bisa mengakui dan mengecam keras perbudakan dalam istilah paling keras sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujarnya.
NA menyimpan catatan kekejaman perlakuan terhadap budak. Pemotongan lengan, cap di wajah, hingga penyiksaan berujung kematian dilakukan pejabat Pemerintah Belanda, VOC, dan WGC. ”Sistem yang tidak manusiawi dan tidak adil hingga pada 1863, bukannya budak yang mendapat ganti rugi keuangan dari negara, melainkan pemilik budak,” ujar Rutte.
Rutte mengakui mencoba tidak bertanggung jawab atas kesalahan masa lalu itu. Bahkan, ia mencoba berpendapat perbudakan adalah masa lalu yang tidak berhubungan dengan masa kini.
”Ternyata, saya salah karena penindasan dan eksploitasi selama berabad-abad berdampak di masa ini. Dalam belum prasangka rasial. Dalam pola diskriminasi. Dalam ketidakadilan sosial,” kata Rutte.
Tak cukup maaf
Keturunan budak yang diperdagangkan dan dipakai Belanda tersebar di Belanda dan sejumlah wilayah di Karibia. Perdana Menteri Sint Maarten (bekas jajahan Belanda di Karibia) Silveria Jacobs menyebut bahwa perlu penyelidikan bersama oleh Belanda dan bekas jajahan.
Penyelidikan itu untuk mencari akar penjajahan dan perbudakan. Orang-orang di bekas wilayah jajahan Belanda harus memimpin penelitian itu. Berdasarkan penyelidikan itu, baru ditentukan langkah selanjutnya.
”Berabad selepas penghapusan perbudakan, rasisme dan diskriminasi tetap ada. Hari ini, tidak cukup hanya minta maaf,” kata Jacobs kepada Nederlands Dagblad.
Ia berharap Raja Belanda Willem-Alexander datang ke Sint Maarten dan meminta maaf. Di Indonesia, pada 2020, Willem-Alexander juga pernah meminta maaf atas kekejaman Belanda. Rutte juga meminta maaf atas kekejaman negaranya di Hindia Belanda dulu.
Jacobs mengatakan, Belanda tidak hanya harus meminta maaf kepada bekas jajahannya. Den Haag juga perlu meminta maaf kepada bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang menjadi sumber budak yang diperdagangkan Belanda.
Sementara keturunan budak yang kini tinggal di Belanda mengungkapkan, perasaannya campur aduk mendengar pernyataan Rutte. Hedwig Komproe, warga Amsterdam yang ayah dan ibunya keturunan budak di Curacao dan Suriname, mengaku puas dengan permohonan Rutte. Di sisi lain, ia sedih karena ayah dan ibunya tidak mendengar itu. Sebab, ayah ibunya berulang kali menceritakan kekejaman pegawai pemerintah dan perusahaan Belanda kepada orang di Curacao dan Suriname.
”Penderitaan kami tidak diakui, bahkan sering ditolak. Kini, arahnya lebih baik. Beban masa lalu diakui,” ujar Komproe.
Politisi Belanda, Arie Slob, pernah mencoba membahas permohonan maaf itu pada awal abad ke-21. Sayangnya, dulu upaya itu tidak disambut politisi Belanda. ”Pemerintah tidak mau membahasnya. DPR tidak mau membahasnya. Saya lega akhirnya kini pemerintah memohon maaf,” katanya.
Keturunan budak asal Mozambik dan dijual di Curacao, Eunice Anita-Offerman, menyebut permohonan Rutte sebagai awal bagus. Belanda dan keturunan budak yang pernah diperdagangkan Belanda perlu melakukan tahapan selanjutnya. Hal itu bisa saja termasuk pemberian kompensasi. (AFP/REUTERS)