Kesetaraan jender adalah syarat demokrasi. Swedia punya cerita menarik soal itu.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Upaya pengarusutamaan jender di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Bahkan, banyak pihak yang terkesan alergi mendengar istilah kesetaraan jender, feminisme, dan inklusivitas. Swedia, salah satu negara dengan pengarusutamaan jender yang dianggap terbaik di dunia hingga membawa perekonomiannya menjadi maju, bisa menjadi salah satu rujukan.
Swedia dulu adalah negara pertanian yang miskin. Sekarang, mereka merupakan salah satu negara dengan penerapan teknologi canggih tertinggi di dunia. Semua berawal dari kesadaran pentingnya melibatkan perempuan di segala aspek pembangunan dan bahwa keluarga adalah tanggung jawab seluruh masyarakat.
”Dimulai dari tahun 1842 ketika aturan wajib belajar pendidikan dasar untuk semua anak perempuan Swedia dibuat. Kemudian di tahun 1927, ada aturan bahwa perempuan juga boleh mengikuti pendidikan tinggi,” kata Duta Besar Swedia untuk Indonesia Marina Berg pada diskusi mengenai praktik kesetaraan jender di Swedia yang digelar Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Berg menjelaskan, proses ini makan waktu panjang. Pada 1950-an, perempuan sudah banyak yang masuk ke dalam bursa tenaga kerja, tetapi belum maksimal. Baru pada 1971, Pemerintah Swedia mengeluarkan undang-undang pemisahan pajak. Artinya, pajak perempuan yang sudah menikah dihitung sendiri, tidak sebagai bagian dari pendapatan suami. Ini memicu lebih banyak lagi perempuan bekerja.
Namun, pemerintah lalu menyadari bahwa perempuan masih menjalani beban ganda. Satu sisi, mereka bekerja. Sisi lain, mereka masih dibebani berbagai tugas rumah tangga yang oleh masyarakat dianggap sebagai kewajiban perempuan. Di sini, pemerintah bertindak progresif. Tugas-tugas pengasuhan yang bisa dilakukan oleh negara diambil alih. Misalnya, dengan mengembangkan berbagai tempat penitipan dan pengasuhan anak.
”Swedia memberi cuti gabungan untuk ayah dan ibu sebanyak 480 hari. Dari jumlah itu, tiga bulan eksklusif untuk ayah sehingga ia bisa fokus mengasuh anak dan ibu bisa kembali bekerja apabila ia menginginkan,” ujar Berg.
Melihat perkembangan di masyarakat, pemerintah pada 1994 mengeluarkan aturan bahwa segala upaya pengarusutamaan jender dan inklusivitas harus diintegrasi di semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara.
”Kami menyadari kesetaraan jender ini bukan persoalan perempuan dan laki-laki. Ini adalah salah satu syarat terwujudnya negara demokrasi. Seminoritas apa pun seseorang, demokrasi harus merangkulnya,” kata Berg.
Walaupun begitu, Berg mengatakan, Swedia jauh dari sempurna. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan. Laporan pendapatan per kapita masyarakat mengungkapkan, laki-laki umumnya memperoleh nafkah 24 persen lebih banyak daripada perempuan. Solusi kesenjangan pendapatan ini harus segera dicari.
Selain itu, juga ada masalah kekerasan terhadap perempuan. Swedia membuka jalur pelaporan yang luas. Setiap tahun, jumlah kasus bertambah karena korban semakin berani melapor. Kepolisian juga terintegrasi dengan dinas sosial dan dinas kesehatan untuk bisa memberi pertolongan pertama.
"Ini tugas besar Swedia di sisi pendidikan masyarakat demi memastikan tidak ada kekerasan berbasis jender," kata Berg.
Salah satu bentuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan adalah larangan prostitusi tanpa menghukum pekerja seks. Alasannya karena para perempuan pekerja seks adalah korban tindak pidana perdagangan orang. Di ranah menjurus pribadi, hubungan seksual harus berdasarkan suka sama suka dan persetujuan kedua belah pihak. Jika tidak ada persetujuan, langsung dikategorikan sebagai kekerasan seksual.
Pegiat HAM dan mantan Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan 2003-2009 Kamala Chandrakirana menjelaskan kepada Beeg bahwa di Indonesia terdapat berbagai gerakan sipil untuk pengarusutamaan jender. Salah satu yang paling progresif adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia karena menilik kembali penafsiran agama yang ternyata mendorong partisipasi perempuan untuk pembangunan.
"Indonesia pada Oktober 1928 melakukan Sumpah Pemuda. Kemudian, pada Desember 1928 yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu, berlangsung Kongres Wanita Indonesia pertama. Pemikiran-pemikiran progresif sudah lahir jauh dari sebelum Indonesia merdeka," tutur Kamala.
Kepala Pusat Kajian Keadilan Jender dan Inklusi Sosial LP3ES Julia Suryakusuma mengatakan, masyarakat Indonesia masih defensif mendengar istilah feminisme karena menganggap itu bawaan budaya Barat. Padahal, banyak budaya tradisional Nusantara yang memercayai pembagian peran setara dan produktif antara perempuan dengan laki-laki.