Mendampingi Afghanistan Pulih Sepenuhnya
Perlu cara dan penanganan khusus untuk mengentaskan Afghanistan dari keterpurukan. Sekitar 35 juta dari 40 juta warga Afghanistan hidup dalam kemiskinan, sebanyak 6,6 juta jiwa di antaranya mendekati level kelaparan.
Punya jejak peradaban sejak 3.000 tahun sebelum Masehi tidak membuat Afghanistan menjadi salah satu negara maju. Bahkan, Afghanistan menjadi bangsa paling tidak bahagia. Konstruksi sosial menempatkan mayoritas perempuan di negara itu sebagai kelompok paling tidak bahagia di Bumi.
Di banyak negara, perempuan bersekolah atau bekerja adalah kelaziman. Di negara-negara Timur Tengah sekali pun, perempuan bisa bepergian sendirian. Di Afghanistan pada tahun 2022, semua itu mustahil terjadi. Perempuan Afghanistan harus didampingi kerabat pria jika mau keluar rumah. Bahkan, mereka tidak bisa belanja sendirian ke warung dekat rumah sekali pun.
“Perempuan menghadapi banyak tantangan di berbagai penjuru dunia, termasuk di Afghanistan. Karena itu, kita harus bekerja sama mengatasi hambatan ini. Kita harus terus mendorong kebijakan yang menghormati hak perempuan, termasuk akses pada pendidikan," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam Konferensi Internasional untuk Pendidikan Perempuan Afghanistan (ICAWE), Kamis (8/12/2022), di Bali.
"Rekan-rekan, kita tidak sanggup menerima generasi perempuan Afghanistan yang hilang karena (tidak mendapat) pendidikan,” lanjut Retno.
Baca juga : Pembelajaran Jarak Jauh untuk Perempuan Afghanistan
ICAWE adalah salah satu wujud kerja sama Indonesia-Qatar untuk membantu Afghanistan. Pada Maret 2022, Jakarta-Doha setuju untuk terus bergandengan tangan membantu Kabul sepenuhnya pulih. Indonesia dan banyak negara sepakat, pemulihan seutuhnya di Afghanistan sulit tercapai tanpa melibatkan perempuan.
Potensi PDB hilang
Dalam catatan UN Women, badan PBB yang menangani isu perempuan, sebanyak 11 juta perempuan dan anak perempuan Afghanistan sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan. Sementara Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) menaksir Afghanistan kehilangan potensi produk domestik bruto (PDB) hingga 1 miliar dollar AS karena membatasi keterlibatan perempuan di masyarakat. Afghanistan berada di peringkat terakhir dalam daftar ketimpangan gender 2021.
Sakina, seorang janda dengan dua anak di Kandahar, mengaku terpaksa mengandalkan tunjangan 1.000 afghani (sekitar Rp 180.000) serta tiga liter minyak goreng per bulan gara-gara Taliban melarang perempuan bekerja. Dulu, ia berdagang makanan di lapak kaki lima, dengan penghasilan cukup untuk menghidupi keluarganya. Sekarang, untuk membayar sewa rumah saja ia tidak mampu. Sakina tidak punya penghasilan setelah Taliban melarang dia— seperti juga banyak perempuan Afghanistan lainnya—bekerja.
Taliban juga melarang semua anak perempuan bersekolah sejak kelompok itu kembali berkuasa pada Agustus 2021. Larangan perempuan ke sekolah dicabut beberapa jam pada 23 Maret 2022.
”Tentu saja pendidikan untuk kaum perempuan sangat penting. Namun, ketika kami (Taliban) melakukan rapat dalam skala yang lebih besar, kami menemukan bahwa kerangka pendidikan untuk remaja perempuan ini belum solid," kata Aziz Ahmad Ryan, Direktur Komunikasi Kementerian Pendidikan Taliban, kepada kantor berita Bakhtar selepas pelarangan itu.
"Oleh sebab itu, pendidikan untuk perempuan kelas VI hingga XII ditunda dulu sampai kami menemukan pola yang sesuai dengan nilai dan norma Emirat Islam Afghanistan.”
Menurut Markus Potzel, Wakil Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Afghanistan, harapan warga Afghanistan untuk hidup damai dan membangun kehidupan baru setelah 20 tahun konflik telah menguap. ”Meski keamanan relatif membaik sejak 15 Agustus 2021 (hari Taliban kembali berkuasa), orang- orang Afghanistan, khususnya perempuan dan anak perempuan, tidak dapat sepenuhnya menikmati hak dasar mereka,” katanya.
Melawan
Perempuan Afghanistan praktis terpinggirkan. ”Jika kami tidak mendapatkan hak kami, kami akan terkurung di rumah, di antara empat tembok. Ini tidak bisa kami toleransi,” ujar Hoda Khamosh (26), aktivis yang juga terlibat dalam pertemuan dengan delegasi Taliban dan para diplomat Barat di Oslo, Swedia, Januari 2022.
Baca juga : Perlawanan Perempuan Afghanistan dari Salon Kecantikan
Perempuan Afghanistan melawan karena tidak ingin pengalaman buruk selama pemerintahan represif Taliban periode 1996-2001 terulang lagi. ”Jika kami tidak berjuang untuk masa depan kami hari ini, sejarah Afghanistan akan terulang kembali,” kata Khamosh.
Qatar yang menyediakan dukungan finansial dan politik pada Taliban pun mulai gerah. “Sepertinya Qatar kecewa pada pemerintahan saat ini. Mereka (Doha) prihatin reformasi yang dibutuhkan warga Afghanistan tak kunjung dilakukan. Reformasi itu bisa membuat Afghanistan diterima lagi di komunitas internasional,” kata Torek Farhadi, dosen di Afghanistan, kepada ToloNews.
Qatar mengizinkan Taliban membuka kantor di Doha sejak 2013. Kantor itu praktis menjadi pusat diplomasi Taliban untuk berkomunikasi dengan berbagai pihak di panggung internasional. Sejak Taliban kembali berkuasa, Doha terus mencoba mendorong rekonsiliasi di kalangan berbagai kekuatan internal Afghanistan. Sayangnya, upaya itu belum berhasil sampai sekarang.
Peran Indonesia
Qatar menggandeng berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk membantu Afghanistan. Retno mengatakan, Indonesia terus berkontribusi untuk Afghanistan. Selepas Taliban kembali berkuasa, Indonesia ikut menggagas pertemuan khusus Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Pakistan untuk membahas Afghanistan. Indonesia juga terus mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada Afghanistan.
Indonesia selama 40 tahun terakhir juga telah berupaya membantu Afghanistan. Pernah, misalnya, Indonesia memberikan beasiswa untuk Afghanistan. Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia membantu Afghanistan membangun kembali dialog internal. Indonesia juga tengah menyeleksi calon penerima beasiswa. Sedang dipersiapkan pula pelatihan bagi tenaga kesehatan negara itu.
Meskipun tidak ada hubungan diplomatik, Indonesia tidak serta-merta meninggalkan rakyat Afghanistan. Bahkan, Indonesia akan terus membantu dan mendampingi mereka. Para staf di kantor perwakilan Indonesia di Kabul dialihkan menjadi bagian dari Misi Kemanusiaan Indonesia di Afghanistan.
Misi Kemanusiaan Indonesia di Afghanistan merupakan lembaga yang dikoordinasikan Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI) atau dikenal sebagai Indonesian AID.
Pada 2021 Indonesia juga mengirimkan bantuan berupa hibah kepada Afghanistan melalui sejumlah lembaga internasional. Setelah hibah dan bantuan pangan, direncanakan pemberian bantuan yang lebih berkelanjutan, seperti program pemberdayaan masyarakat, terutama perempuan.
Bantu berdikari
Namun, seperti diingatkan berbagai pihak, bantuan kemanusiaan tidak akan pernah menjadi solusi berkelanjutan bagi Afghanistan. “Tidak mungkin terus memberikan bantuan gratis ke Afghanistan. Harus buat mereka berdaya, berdikari dengan kemampuan sendiri,” kata Hamid Awaluddin, anggota Kontak Masyarakat Sipil Indonesia-Afghanistan.
Afghanistan perlu cara untuk memenuhi kebutuhan 40 juta warganya. “Hampir 19 juta orang menghadapi rawan pangan, termasuk 6 juta di antara- nya rawan kelaparan,” kata Martin Griffiths, Kepala Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Koordinasi Bantuan Kemanusiaan (UN OCHA).
Baca juga : Menolong Afghanistan Dengan Berdagang
OCHA juga mencatat 24 juta orang Afghanistan membutuhkan bantuan kemanusiaan, 25 juta orang miskin, dan sebanyak 40 persen warganya pengangguran. Ada 3 juta anak kekurangan gizi. ”Tanpa perlakuan khusus, anak-anak ini bisa meninggal,” ujar Griffiths.
Koordinator Bantuan Kemanusiaan PBB di Afghanistan Ramiz Alakbarov menyebut, program kemanusiaan di negara itu kekurangan dana. Sampai Agustus 2022, hanya tersedia 1,8 miliar dollar AS dari 4,4 miliar dollar AS yang dibutuhkan untuk menyediakan bantuan kemanusiaan di sana.
Kini, sekitar 35 juta dari 40 juta warga Afghanistan hidup dalam kemiskinan. Bahkan, sebanyak 6,6 juta di antaranya sudah berada pada level darurat atau satu level sebelum kondisi kelaparan.
Seperti ditegaskan Retno, Indonesia dan berbagai negara tak mungkin diam saja. Afghanistan perlu terus didampingi agar bisa kembali pulih dari luka perang puluhan tahun. (AFP/REUTERS)