Para Mitra Wicara Memantau Penerapan Konsep Indo-Pasifik ASEAN
ASEAN tidak boleh santai-santai dan mengharapkan semua mitra wicaranya siap menerapkan secara konkret kerja sama berbasis pandangan Indo-Pasifiknya. Harus ada inisiatif dari ASEAN itu sendiri.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN telah mengumumkan pandangan organisasi kawasan itu atas wilayah Indo-Pasifik. Negara-negara dan lembaga mitra wicara ASEAN menantikan penerapan yang konkret dan berkelanjutan.
Pandangan tersebut dituangkan ke dalam konsep ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang pertama kali mengemuka pada tahun 2019. AOIP memercayai bahwa segala kerja sama di kawasan Asia Tenggara dan lebih luas di Indo-Pasifik harus berdasarkan saling menghormati, menghargai, dan menguntungkan. AOIP menentang prinsip zero-sum game, yaitu hanya ada satu pihak yang menang dan yang lain menanggung kekalahan.
”Pastinya, hal yang dikemukakan adalah sentralitas ASEAN, musyawarah, kesejahteraan bersama, dan keamanan maritim,” kata peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Rizal Sukma dalam seminar ”Prospek AOIP” di kantor Sekretariat ASEAN, Jakarta, Jumat (9/12/2022).
Ia mencontohkan Jepang sebagai negara mitra wicara ASEAN dengan penerapan yang konkret. Pada tahun 2022 saja, Jepang memilik 20 proyek berjalan di sejumlah negara anggota ASEAN. Direncanakan ada 16 proyek lagi yang segera dicanangkan.
Meskipun demikian, lanjut Rizal, ASEAN tidak boleh santai-santai dan mengharapkan semua mitra wicara bisa berbuat seperti Jepang. Harus ada inisiatif dari ASEAN itu sendiri. Misalnya, prinsip tidak berpihak dan netral ASEAN kini harus diperjelas wujudnya.
”Melihat ada berbagai ketegangan dan konflik di dunia, prinsip non-blok seperti apa yang hendak dipraktikkan oleh ASEAN?” tutur Rizal. Hal ini karena beberapa dari negara mitra wicara memiliki ketegangan antara satu sama lain.
Salah satu negara mitra wicara ASEAN lainnya adalah India. Direktur Jenderal Dewan Urusan Luar Negeri India Vijay Thakur Singh mengatakan, India lekat mengawasi perkembangan ASEAN. Perihal pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar merupakan salah satu hal yang menjadi sorotan.
Menurut Singh, India terus mengikuti perkembangan kebijakan dan langkah yang diambil oleh ASEAN. Hal ini mencerminkan karakteristik ASEAN sebagai lembaga global dan pendekatan yang mereka pakai. Itu menjadi perhitungan bagi India untuk melihat bukti sentralitas ASEAN dengan berbagai pendekatan yang pragmatis sekaligus konstruktif.
”Sentralitas ASEAN sangat penting bagi negara-negara sahabat ASEAN sekaligus kohesi ASEAN sebagai lembaga. Akan tetapi, kami ingin melihat wujud penerapannya,” tutur Singh.
Cara ASEAN menangani isu keamanan, terorisme, serta berbagai ancaman langsung mau tidak langsung juga diperhatikan oleh para mitra wicara. Terkait India, Singh menjelaskan, permasalahan yang mereka rasakan langsung ialah keamanan di laut.
Hal ini karena laut di kawasan Asia Tenggara belum sepenuhnya bebas dari marabahaya. Contohnya adalah bajak laut dan pelayaran-pelayaran liar lainnya. Para mitra wicara penasaran pada kohesivitas ASEAN di masa depan. Sejauh mana kohesivitas ASEAN bisa digunakanuntuk menangani sejumlah persoalan kemaritiman. Kerja sama dengan Asosiasi Negara-negara Pesisir Samudra Hindia (IORA) dan Forum Negara Kepulauan Pasifik (PIF) ditunggu.
Sementara itu, Wakil Presiden Forum Pasifik Crystal Pryor menekankan komitmen ASEAN dalam pemenuhan target pembangunan berkelanjutan (SDGs). Forum Pasifik adalah lembaga kajian kebijakan publik yang berbasis di Hawaii, Amerika Serikat. Mereka fokus dalam memasukkan sudut pandang Asia untuk isu-isu global.
Pryor memuji cita-cita ASEAN untuk mewujudkan kedamaian dan kestabilan di kawasan tidak dari pendekatan militer dan unjuk kekuatan. Sebaliknya, ASEAN menekankan kepada kerja sama dan pembangunan yang menghasilkan keuntungan serta kesejahteraan bagi semua pihak di kawasan.
”Namun, ada beberapa hal yang masih menjadi catatan, yaitu faktor inklusivitas,” ujar Pryor.
Ia menjelaskan, banyak program ASEAN yang belum maksimal dan optimal dalam melibatkan keterlibatan perempuan dan kelompok minoritas, baik dari segi suku bangsa maupun agama serta kepercayaan di dalam rembuk dan pengambilan keputusan. Perkembangan ekonomi dan akses politik idealnya juga dibuka untuk perempuan dan kelompok minoritas, setara dengan akses untuk laki-laki ataupun kelompok mayoritas.
”Selama masih ada anggota masyarakat yang tersisihkan, cita-cita mulia ASEAN tidak akan tercapai. Aspek inklusif ini sangat penting bagi negara-negara Indo-Pasifik dan mengingat besarnya ukuran ASEAN yang dicapai oleh kawasan Asia Tenggara bisa menjadi inspirasi,” ucap Pryor.
Wakil Ketua Dewan Pembina CSIS Jusuf Wanandi dalam pidato penutupan seminar mengatakan, krisis global berupa pandemi Covid-19 ternyata membuktikan ketergantungan dan keterikatan antarnegara akibat globalisasi lemah. Bukannya saling membantu, bangsa-bangsa yang kuat malah berebut menumpuk obat-obatan dan alat pertolongan untuk diri sendiri. Bangsa yang tidak memiliki akses pada obat-obatan dan perlengkapan medis pun terkatung-katung.
Walaupun demikian, Jusuf masih melihat secercah harapan yang bisa menjadi landasan kerja sama. ”Kita dipaksa menyadari ada krisis global yang tidak akan bisa ditangani sendiri-sendiri. Krisis pangan, krisis energi, krisis iklim, dan pencegahan risiko pandemi baru. Kita semua harus mengambil kesempatan untuk terlibat aktif,” katanya.