Diaspora Korsel Tuntut Investigasi ”Ekspor” Anak 1980-an
Sekitar 200.000 anak Korsel, sebagian besar perempuan, diadopsi oleh keluarga di luar negeri selama enam dekade terakhir. Keluarga yang mengadopsi sebagian besar adalah warga kulit putih di AS dan Eropa.
Oleh
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
·4 menit baca
SEOUL, JUMAT — Sekitar 400 warga diaspora Korea Selatan yang dulu diadopsi oleh keluarga di negara Barat meminta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Korea Selatan menggelar investigasi proses adopsi yang berlangsung pada 1980-an. Saat itu, terjadi ”ekspor” anak dari Korea Selatan di tengah rezim diktator.
Mereka mendaftarkan tuntutannya pada Jumat (9/12/2022). Ribuan anak diekspor dari Korea Selatan (Korsel) pada 1980-an. Mereka diadopsi oleh keluarga-keluarga di sejumlah negara Barat. Persoalan yang belakangan ini diangkat menjadi tekanan bagi Pemerintah Korsel.
Sehari sebelumnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Korsel menyatakan telah memutuskan untuk menginvestigasi 34 kasus dari 51 diaspora pertama yang mendaftarkan laporan dan tuntutan pada Agustus 2022. Hal ini kemungkinan besar akan menjadi penyelidikan terbesar atas kasus adopsi lintas negara di Korsel.
Pada Jumat, 63 diaspora dari 400 diaspora yang mendaftarkan tuntutannya tersebut berasal dari Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Australia. Mereka mengklaim, proses adopsi penuh manipulasi. Terjadi pemalsuan dokumen tentang status anak berikut identitasnya. Hal ini terjadi karena agen-agen yang ”mengekspor” anak-anak Korsel saat itu berlomba-lomba panen keuntungan dengan mengirim ribuan anak ke luar negeri setiap tahunnya.
Para diaspora menuding agen-agen banyak memalsukan dokumen. Misalnya, anak disebut sebagai yatim piatu untuk memuluskan dan mempercepat proses adopsi. Padahal, faktanya mereka masih tinggal bersama keluarga. Ada juga yang sengaja menukar identitas di antara anak-anak. Akibatnya, diaspora kehilangan kontak keluarganya di Korsel.
Kasus serupa juga telah dilaporkan oleh 306 diaspora. Mereka telah melaporkan kasus tersebut dalam beberapa bulan terakhir. Mereka menuntut agar agen-agen membuka secara transparan dokumen-dokumen mereka. Mereka juga menuntut untuk pengembangan investigasi guna memastikan apakah pemerintah terlibat atau tidak dalam kasus tersebut.
Sebagian besar laporan disampaikan melalui Danish Korean Rights Group yang dipimpin oleh pengacara bidang anak angkat, Peter Moller. Moller pada konferensi pers, Jumat, meminta Pemerintah Korsel proaktif mencegah agen-agen menyembunyikan atau merusak dokumen atau bentuk rekaman lainnya terkait ekspor anak.
“Ini adalah persoalan besar karena waktu terus berjalan. Mereka akan melakukan investigasi, baik megambil 30 atau 50 kasus sekaligus pada saat yang sama. Dan, kami khawatir, agen-agen akan menyembunyikan dokumen-dokumen,” kata Moller.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Korsel menyatakan akan mengembangkan investigasi. Alasannya, bukti-bukti menunjukkan dengan jelas bahwa adopsi berlangsung dengan pemalsuan dokumen, termasuk di dalamnya adalah pemalsuan status dan identitas anak.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Korsel berjanji akan mengkaji lebih lanjut apakah masih akan menerima laporan serupa setelah Agustus 2022. Komisi juga akan mempertimbangan kemungkinan menggabungkan kasus-kasus serupa guna mempercepat proses penyelidikan. Jika komisi menerima laporan yang masuk sampai dengan Jumat, penyelidikan juga akan menyasar Eastern Social Welfare Society dan Korea Welfare Services.
Jasmine Healey yang mewakili sekelompok anak angkat yang dikirim ke Amerika Serikat dan Australia melalui Eastern Social Welfare Society mengatakan, anak-anak angkat jalur Eastern Social Welfare Society sudah jamak mengetahui bahwa mereka dijadikan ”anak yatim kertas” palsu oleh agen guna memfasilitasi adopsi mereka di luar negeri.
Ada juga kasus di mana Eastern Social Welfare Society diduga menipu keluarga kandung anak angkat yang tidak pernah memberikan persetujuan atas adopsi anak mereka. Proses adopsi dengan identitas salah menyebabkan beberapa orang dipersatukan kembali dengan keluarga yang salah.
”Dampak seumur hidup dari ketidakadilan ini pada anak angkat, keluarga Korea mereka, dan keluarga angkat mereka tidak bisa diremehkan. Ketidakmampuan untuk mengetahui siapa diri Anda, milik siapa Anda, dari mana asal Anda, serta situasi saat akses untuk mengetahui sejarah keluarga Anda terputus membawa konsekuensi yang bisa mengerikan atau terkadang menghancurkan bagi anak angkat,” paparnya.
Sekitar 200.000 anak Korsel, sebagian besar perempuan, diadopsi oleh keluarga di luar negeri selama enam dekade terakhir. Keluarga yang mengadopsi sebagian besar adalah warga kulit putih di AS dan Eropa.
Agen-agen eksportir dijalankan oleh orang-orang yang dekat dengan para pemimpin militer Korsel. Mereka melihat adopsi sebagai salah satu cara mengurangi kewajiban negara memberi makan rakyatnya sekaligus membuang anak dari golongan sosial yang tak diinginkan, seperti mereka yang terlahir dari keluarga miskin dan di luar pernikahan.
Adopsi juga bertujuan mempererat hubungan Pemerintah Korsel dengan pihak demokrat Barat di tengah kompetisi Korsel dengan Korea Utara. Hal ini merujuk pada dokumen militer Korsel yang diperoleh AP. (AP)