Beda Pandangan Mencuat Terkait Perang Rusia-Ukraina
Perang di Eropa, Asia Tenggara turut menderita. Pendekatan multilateralisme tidak bisa lagi menjadi sampingan. Harus menjadi metode utama.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdapat beberapa pandangan mengenai konflik Rusia-Ukraina yang dibahas di seminar bertajuk ”Dampak Perang Rusia-Ukraina di Indo-Pasifik” yang diselenggarakan Centre for International and Strategic Studies bersama Sekretariat ASEAN di Jakarta, Jumat (9/12/2022).
”Kita harus melihat gambaran besar yang terjadi sejak jauh-jauh hari. Terjadi pelemahan internal di tubuh Uni Soviet yang mengakibatkan keruntuhan mereka di tahun 1989,” kata Penasihat Senior Bidang Asia Institut Montaigne, Perancis, Francois Godement.
Pascabubarnya Soviet, masih terjadi konflik antarmantan anggota yang antara lain mengenai batas geografis negara-negara baru itu. Godement mengingatkan publik kembali mengenai konflik di Chechnya pada 1994 yang terjadi dalam dua tahap dan berakhir pada 2009. Contoh lainnya ialah ketika Jerman Timur dan Barat bergabung, Polandia menentang penarikan segera pasukan Soviet dari perbatasan sampai ada komitmen tegas dan nyata bahwa Jerman tidak akan invasif.
”Menarik ke situasi sekarang, NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) memang mengembangkan sayap ke Eropa Timur. Akan tetapi, patut kita lihat bahwa negara-negara Balkan secara sukarela bergabung dengan NATO. Bukan atas ajakan NATO,” tutur Godement.
Ia menjelaskan, keputusan negara-negara Balkan itu berdasarkan perilaku Rusia selama 30 tahun terakhir terhadap para mantan anggota Soviet yang membuat mereka cemas. Bergabungnya tetangga-tetangga ke NATO membuat Rusia marah dan merasa terkepung. Ada efek timbal balik yang negatif sehingga berujung kepada konflik terbuka. Sekarang, Swedia dan Finlandia yang awalnya teguh berposisi netral pun ikut bergabung.
”Bergabung dengan NATO ini soal keamanan yang diartikan sebagai kelanjutan kehidupan suatu bangsa. Berbeda dengan permintaan bergabung dengan Uni Eropa yang fokus kepada perekonomian dan persyaratannya lebih rumit,” ujar Godement.
Mantan Penasihat Khusus Sekretariat Keamanan Nasional Jepang, Makio Miyagawa, menerangkan, Jepang benar-benar waswas dengan perkembangan konflik Rusia-Ukraina. Alasannya, situasi ini memengaruhi perilaku China dan Korea Utara di kawasan Asia Timur. China memperbesar ukuran Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dan sering melakukan latihan militer di Selat Taiwan. Bahkan, pada bulan Agustus, lima rudal China jatuh di perairan Jepang.
Adapun Korut setidaknya sudah tujuh kali melakukan uji coba rudal balistik pada 2022. Melihat perkembangan tetangga-tetangga yang semakin koersif, Jepang berencana menaikkan anggaran pertahanan mereka dari 1 persen pendapatan domestik bruto menjadi 2 persen.
Di luar sektor keamanan, Jepang berusaha mengambil kembali teknologi mereka dari China. Selama ini, mayoritas produksi komoditas Jepang justru dilakukan di China yang merupakan salah satu titik penting rantai pasok global.
”Teknologi ini idealnya diinvestasikan di Asia Tenggara karena pasarnya relatif aman. Membangun kapasitas Asia Tenggara berarti menurunkan ketergantungan kepada China dan juga membawa lebih banyak pemain ke kancah perekonomian global,” kata Miyagawa yang pernah menjabat sebagai Duta Besar Jepang untuk Malaysia.
Multilateralisme
Mengatasi persoalan global ini disepakati tidak bisa lagi dengan pendekatan unipolar khas negara adidaya. Suara-suara dari luar kelompok adidaya itu yang kini harus didengar. Negara-negara kecil sangat terdampak konflik, mulai dari krisis pangan dan energi hingga kekhawatiran bahwa mereka berisiko diinvasi oleh tetangga yang lebih besar.
”Bagi negara-negara kecil, sentralitas ASEAN dan keteguhan ASEAN meminta perundingan damai disegerakan sangat penting,” kata Joel Ng, Wakil Kepala Pusat Kajian Multilateralisme di Sekolah Kajian Internasional Rajaratnam, Universitas Teknologi Nanyang Singapura.
Multilateralisme ini menolak dua persepsi besar terkait konflik Rusia-Ukraina. Persepsi pertama ialah negara-negara Barat menganggap konflik ini merupakan demokrasi melawan otokrasi. Seluruh negara demokratis harus bersatu mengeroyok segala jenis pemerintahan otoriter.
Persepsi kedua datang dari negara-negara berkembang berukuran besar yang menganggap penjatuhan sanksi kepada Rusia berbahaya. Alasannya, negara-negara maju bisa melakukan hal serupa kepada negara berkembang jika terjadi ketidakcocokan pendapat. Mereka pun akhirnya meningkatkan pertahanan.
”ASEAN bukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, melainkan simbol yang kuat bagi negara-negara berkembang dan kecil mengenai keinginan kuat akan perdamaian,” kata Joel Ng.