China yang Masih "Sepi"
Sebagian orang di China menyambut "kebebasan baru" selepas pelonggaran kebijakan nihil Covid-19. Namun, sebagian lainnya merasa masih sulit menghilangkan protokol ketat yang dijalani selama pandemi.
Dua hari berselang sejak Pemerintah China melonggarkan pembatasan kebijakan terkait pandemi Covid-19. Jalanan dan suasana di ibu kota Beijing, Jumat (9/12/2022), masih relatif sepi. Banyak pertokoan dan restoran yang belum sepenuhnya mau “membuka diri”.
Sehari setelah Presiden Xi Jinping memimpin rapat Politbiro Partai Komunis China, Komisi Kesehatan Nasional mengumumkan pelonggaran kebijakan nihil Covid-19 dinamis, Rabu (7/12). Langkah ini dipicu perekonomian China yang terus tertekan, disusul protes warga yang meluas di sejumlah kota. Masyarakat frustrasi dan marah dengan terbatasnya mobilitas sosial dan ekonomi selama tiga tahun terakhir.
Namun, ternyata masih ada keengganan masyarakat untuk sepenuhnya “menikmati” pelonggaran pembatasan itu. Barangkali ini ada kaitannya dengan kekhawatiran kasus Covid-19 akan bisa melonjak lagi. Padahal pemerintah sudah melonggarkan banyak aturan yang semula ketat.
Baca juga: Pelonggaran Protokol Kesehatan di China Jadi Kabar Baik untuk Ekspor Indonesia
Di kota Wuhan, tempat kasus Covid-19 pertama kali ditemukan pada akhir 2019, suasananya pun sama saja, masih jauh dari normal. "Pemerintah memang sudah melonggarkan aturan, tetapi tetap saja tidak ada orang. Lihat jalanan ini, seharusnya ramai orang. Tapi ini tidak ada siapa-siapa. Sepi seperti kota mati," kata seorang sopir taksi bermarga Wang yang tidak mau menyebutkan nama lengkapnya.
Di pusat kota, hanya terlihat sedikit orang di pertokoan dan restoran. Stasiun kereta bawah tanah hanya sebagian terisi oleh calon penumpang. Masih banyak warga yang tetap was-was terhadap kemungkinan lonjakan penularan. “Kami tahu negara ini mulai dibuka lagi, tetapi kami sendiri belum menurunkan perlindungan. Kami waspada, menjaga diri sendiri karena (virus ini) menyebar dengan cepat,”ujar seorang pemilik toko.
Pelonggaran ini salah satunya tidak lagi mewajibkan warga menunjukkan kode kesehatan setiap kali hendak masuk ke tempat publik. Tes usap rutin kini tak diperlukan lagi. Bagi orang yang hasil tesnya positif tetapi tak bergejala, ia sudah boleh karantina di rumah saja. Selain itu, jika ada kasus positif di satu lokasi, tak perlu lagi seluruh komunitas di daerah itu dikarantina total (lockdown). Cukup satu unit, satu lantai gedung, atau satu rumah yang dikarantina total.
Meski terdengar sepele bagi negara lain, pelonggaran seperti itu saja sudah termasuk langkah besar bagi China. Dulu, segala sesuatu harus serba dicek, harus tes, dan harus dikunci. Suasananya juga selalu terasa "mencekam dan mengkhawatirkan".
Kini, tugas Komisi Kesehatan Nasional berubah. Dulu, komisi harus mengampanyekan berbagai upaya menekan dan mencegah Covid-19 dengan alasan "mengutamakan kesehatan dan keselamatan rakyat". Kini, kampanyenya berubah. Mereka harus menyebarkan informasi bahwa masyarakat tak perlu lagi merasa terlalu takut pada Covid-19.
Baca juga: Strategi Covid-19 China Melunak
Bahkan, ahli epidemiologi China, Zhong Nanshan, kepada harian People's Daily, mengatakan, 99 persen orang yang sekarang terinfeksi Covid-19 akan pulih dalam 7-10 hari. Komentar seperti itu tidak pernah muncul sebelumnya.
Yang muncul kerap kali adalah pesan bahwa semua orang harus menjaga kesehatan dan keselamatan diri dan orang lain agar tak sakit. Sebab, jika banyak orang yang sakit, fasilitas layanan kesehatan dikhawatirkan tidak akan mampu menangani dan sistem kesehatan akan lumpuh.
Jumlah kematian akibat Covid-19 di China mencapai 5.235 orang, relatif rendah jika dilihat dari standar global dan dari jumlah penduduk China yang mencapai 1,4 miliar jiwa. Namun, para ahli khawatir dan sudah memperingatkan, jumlah korban bisa naik hingga di atas 1,5 juta orang jika China terburu-buru melonggarkan segalanya.
Sulit
Aturan yang melonggar bagi sebagian orang dianggap sebagai kebebasan baru karena tak perlu lagi antre tes usap setiap hari dan diisolasi di fasilitas pemerintah setiap kali hasil tes positif. Namun, bagi sebagian orang lainnya, masih sulit untuk menghilangkan kebiasaan yang terbentuk selama berbulan-bulan dalam penguncian.
Pada jam-jam sibuk, kereta bawah tanah di Beijing juga belum padat. Ada saja kursi-kursi yang kosong. Padahal pemerintah sudah menghapuskan kewajiban untuk menunjukkan hasil tes negatif untuk bisa naik kereta atau masuk kantor. Sejumlah restoran pun masih sepi saat makan siang.
Industri manufaktur juga masih berhati-hati dan tetap menggunakan aturan pembatasan Covid-19. Mereka masih menanti hingga mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai pengaruh pelonggaran aturan ketat pada industri mereka.
Baca juga: Meski Aturan Dilonggarkan, Warga China Pilih Tunda Perjalanan ke Luar Negeri
Tak sedikit usaha bisnis yang tetap memberlakukan protokol kesehatan ketat. Restoran hotpot terkenal di China, Haidilao, masih akan terus mewajibkan tes reaksi berantai polimerase (PCR) setiap hari untuk staf di gerai makan mereka di Beijing.
Otoritas di Beijing melaporkan lebih dari 16.000 kasus nasional pada Kamis. “Hanya ada sedikit orang datang karena masih banyak kasus. Negara baru saja terbuka. Bulan pertama atau kedua pasti akan serius. Belum ada seorang pun yang terbiasa dengan (pembukaan) ini,” ujar Gang Xueping, pelayan sebuah restoran di Beijing.
Analis dan para pemimpin bisnis memperkirakan perekonomian China baru akan pulih pada akhir tahun depan jika membuka diri dan mencoba untuk hidup berdampingan dengan Covid-19. Mata uang yuan naik ke level tertinggi selama tiga bulan dan bursa saham naik karena investor melihat prospek pertumbuhan.
Noel Quinn, Kepala Eksekutif HSBC, yang menghasilkan sebagian besar pendapatannya di wilayah China Raya, mengatakan, langkah-langkah baru China ini sangat besar artinya. "Saya berharap ini bisa menjadi batu loncatan penting menuju pembukaan kembali perbatasan China daratan secepatnya," ujarnya pada KTT Bund Shanghai melalui tautan video.
Walakin, lonjakan kasus Covid-19 kemungkinan akan menekan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa bulan ke depan. Asosiasi Produsen Mobil China memperingatkan, kasus Covid-19 dalam skala besar akan berdampak buruk pada pasar mobil tahun depan.
"Akan terjadi kekacauan. China tertinggal tiga tahun. Apa yang akan terjadi di China, juga akan terjadi di seluruh dunia," kata Jeffrey Goldstein, konsultan berbasis di China yang membantu merek asing memproduksi barang di Asia.
Baca juga: Melindungi Tak Perlu Jadi Posesif
Jajak pendapat kantor berita Reuters memperkirakan pertumbuhan China melambat menjadi 3,2 persen pada 2022, jauh di bawah target resmi sekitar 5,5 persen. Ini menandai salah satu kinerja terburuk China dalam hampir setengah abad.
Sambutan hangat
Di luar China, keputusan pelonggaran kebijakan ini mendapat sambutan hangat. Pelonggaran ini menjadi kabar baik bagi warga China sekaligus perekonomian global.
Para pemimpin ekonomi global, Jumat, memuji langkah China untuk melonggarkan kebijakan nihil Covid-19 yang ketat. Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyambut keputusan China sebagai upaya untuk menciptakan kondisi kebangkitan pertumbuhan perekonomian negara itu. “Upaya menggenjot tingkat vaksinasi dan perawatan antivirus sangat bagus tidak hanya bagi warga China, tetapi juga penting bagi Asia dan seluruh dunia,” katanya.
Menurut Georgieva, kinerja perekonomian China berpengaruh tak hanya bagi negara tersebut, tetapi perekonomian global. Pelonggaran itu akan membantu mendongkrak perekonomian dunia yang didera dampak pandemi, invasi Rusia ke Ukraina, dan perubahan iklim.
Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo-Iweala menyebut, pelonggaran kebijakan nihil Covid-19 di China membantu hilangnya satu paket ketidakpastian. Hal senada disampaikan Mathias Cormann, Sekretaris Jenderal Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). “Penyesuaian ini akan mendukung kekuatan pemulihan China dan dunia,” ujarnya.