Hidup Presiden Korea Selatan periode 2017-2022 Moon Jae-in malah semakin memusingkan pascapensiun.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
Malang nasib Moon Jae-in, Presiden Korea Selatan (Korsel) periode 2017-2022. Pada Mei 2022, setelah kalah dalam pemilihan umum presiden melawan Yoon Suk-yeol, Moon pindah sebuah desa di Pyeongsan di sebelah selatan dan jauh dari Seoul.
Bayangan kebanyakan orang, masa pensiun di perdesaan adalah suasanan tenang, menikmati minuman hangat di teras sambil melihat pepohonan hijau, dan mengasuh cucu. Namun, alih-alih menikmati suasana damai di desa yang dihuni oleh 100 kepala keluarga itu. Moon justru menghadapi unjuk rasa di depan rumahnya setiap hari. Disiarkan langsung lagi di berbagai kanal di media sosial.
“Moon mata-mata Korea Utara!” seru Choi Jin-bae (58), seorang buruh bangunan paruh waktu yang menjadi peserta unjuk-rasa. Setiap hari, ia meneriakkan protes kepada mantan presidennya dengan menggunakan pelantang suara.
Selama menjabat sebagai presiden, Moon dikenal berusaha membangun kembali hubungan Korsel dan Korut. Sejatinya, status Korsel dengan Korut masih berperang. Kedua negara berada dalam posisi gencatan senjata sejak 1954. Belum ada perundingan damai sejak Semenanjung Korea terpecah menjadi dua negara pada 1948.
Moon percaya, meskipun tidak bisa bersatu, setidaknya kedua bisa hidup damai berdampingan. Ia beberapa kali bertemu dengan Pemimpin Korut Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat 2016-2021 Donald Trump untuk membahas masalah itu. Akan tetapi, tidak semua rakyat Korsel sependapat dengan Moon.
“Moon menggiring Korsel supaya menjadi negara komunis,” kata Choi. Choi mengaku rajin mengikuti isu politik dan juga aktif di media sosial memberi komentar-komentar terkait kebijakan pemerintah. Choi menuduh Moon sebagai antek Korut dan tidak mengutamakan kepentingan rakyat Korsel.
Prinsip Moon bertolak belakang dengan Yoon Suk-yeol yang bersikap lebih keras terhadap Korut. Yoon juga meningkatkan frekuensi latihan militer Korsel bersama AS dan Jepang. Kegiatan ini semakin membuat Korut serta China panas. Korut pun semakin sering melakukan uji coba rudal hipersonik yang bisa membawa hulu ledak nuklir. Meskipun demikian, sikap Yoon ini disukai kalangan rakyat nasionalis.
Media sosial, sama seperti di negara-negara lain, menjadi lahan tempur warganet. Pandangan ultranasionalis maupun radikal kiri tumbuh subur dan didukung berbagai teori konspirasi. Antara kenyataan, data akurat, dan hoaks menjadi kabur. Media sosial pula yang memberi kekuatan kepada pengunjuk rasa seperti Choi dan kawan-kawan.
“Saya menyiarkan unjuk rasa harian ini di media sosial. Ternyata, ada banyak pendukung kami dan mereka mengirimi kami uang untuk mendanai berbagai kegiatan protes,” tutur Choi.
Setiap bulan, Choi bisa mengumpulkan sumbangan rata-rata 200.000 won atau Rp 2,3 juta. Selain uang, warganet juga mengirimi para pengunjuk rasa dengan makanan dan minuman agar mereka tetap bertenaga ketika menyuarakan aspirasi. Beberapa pengunjuk rasa mengaku pengangguran, tetapi hidup mereka terjamin berkat dukungan warganet.
Guru Besar Universitas Ewha, Cho Ki-suk menerangkan, unjuk rasa di depan kediaman mantan presiden sudah biasa. Bedanya, keberadaan media sosial dan warganet yang setia mengikuti isu ini membuat demonstrasi di depan rumah Moon berkepanjangan.
Mengunggah unjuk rasa ke media sosial ini menjadi semacam model bisnis baru yang bisa mendatangkan nafkah bagi pelaku demonstrasi. Posisi mereka kini menjadi seperti pembuat konten dan pemengaruh (influencer) lainnya di media sosial.
Tidak hanya kelompok sayap kanan yang sibuk berkoar-koar, kelompok sayap kiri juga demikian. Ibu Negara Korsel saat ini, Kim Keon-hee dan menteri kehakiman menjadi bulan-bulanan bagi golongan radikal kiri. “Semestinya pemerintah bisa membuat aturan yang memastikan hak demokrasi warga terpenuhi dan di saat yang sama tidak melanggar ranah pribadi obyek unjuk rasa,” ujarnya. (AFP)