Omzet Penjualan Senjata Global Naik Hampir Rp 1.000 Triliun
Omzet 100 produsen utama persenjataan global hampir setara APBN Indonesia tiga tahun. Perusahaan AS mendapat omzet paling banyak. Adapun China dan Rusia memasok bahan mentah penting untuk produsen senjata global.

Tentara Ukraina mengangkut FGM-148 Javelin ke dalam truk di Bandara Boryspil, Kyiv, Ukraina, 11 Februari 2022. Javelin adalah misil antitank portabel buatan Amerika Serikat.
STOCKHOLM, SENIN — Omzet penjualan 100 produsen utama persenjataan global sepanjang 2021 naik setara Rp 915 triliun. Indonesia berkontribusi pada kenaikan omzet itu. Sementara perang di Ukraina menghadirkan peluang sekaligus tantangan serius pada produksi senjata global.
Temuan tersebut diungkap lembaga Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pada Senin (5/12/2022). SIPRI mencatat, 100 produsen utama meraih 592 miliar dollar AS sepanjang 2021. Pada 2020, mereka mengumpulkan 531 miliar dollar AS.
Dengan demikian, omzet 100 perusahaan utama itu naik 61 miliar dollar AS atau sekitar Rp 915 triliun. Sebagai pembanding, APBN Indonesia 2022 setara 206 miliar dollar AS. Dengan kata lain, omzet 100 produsen utama persenjataan global itu hampir setara dengan APBN Indonesia selama tiga tahun.
Baca juga : Pertarungan dan Adu Pengaruh di Balik Penjualan Senjata Global
Seperti tahun-tahun sebelumnya, perusahaan-perusahaan Amerika Serikat mendominasi daftar 100 produsen terbesar senjata. Pada 2021, sebanyak 40 perusahaan AS mengumpulkan total 299 miliar dollar AS. Pada 2020, produsen persenjataan AS meraih 285 miliar dollar AS. Sejak 2018, lima besar produsen senjata global bermarkas di AS.
Dari 100 perusahaan utama itu, 27 perusahaan bermarkas di Eropa Barat dan Eropa Tengah. Mereka mengumpulkan total 123 miliar dollar AS sepanjang 2021.
Di antara perusahaan Eropa, ada Dassault Aviation Group yang mencatat lonjakan omzet. Penjualan jet tempur Rafale jadi penyebab utama omzet Dassault melonjak menjadi 6,3 miliar dollar AS pada 2021.
Jet sejenis akan dibeli Indonesia. Karena itu, Indonesia ditaksir akan berkontribusi pada kenaikan omzet penjualan persenjataan global di tahun-tahun mendatang.

Pengunjung menyaksikan pesawat tempur Rafale milik Angkatan Udara dan Antariksa Perancis di Terminal Selatan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat (4/11/2022). Pameran kedirgantaraan tersebut adalah bagian dari pameran Indo Defence Expo & Forum 2022.
SIPRI juga mencatat, 33 perusahaan lain dalam daftar 100 produsen utama berada di luar AS-Eropa Barat. Perusahaan-perusahaan di luar AS-Eropa Barat itu mengumpulkan total 177 miliar dollar AS. ”China menjadi produsen kapal perang (dengan omzet) terbesar di dunia, yakni 11,1 miliar dollar AS, sepanjang 2021,” kata Xiao Liang, peneliti SIPRI.
Selain dibukukan China, kenaikan penjualan juga dicatat Korea Selatan. Adapun perusahaan Taiwan, NCSIST, untuk pertama kalinya tercatat dalam daftar 100 produsen utama senjata global. Lembaga tersebut secara khusus memproduksi rudal dan perangkat eletronik khusus militer. NCSIST mencatat omzet 2 miliar dollar AS sepanjang 2021.
Produksi di Rusia
SIPRI mencatat, Rusia masih tetap menjadi produsen utama walau omzetnya tidak sebesar AS. Sepanjang 2021, enam produsen utama Rusia hanya mengumpulkan 17,8 miliar dollar AS. SIPRI menangkap ada tanda perlambatan industri pertahanan Rusia.
Baca juga : Banjir Won dari Palagan Ukraina
Catatan SIPRI lebih tinggi dari Rusia. Kepala Layanan Kerja Sama Militer Rusia Dmitry Shugayev menyebut, Moskwa mendapatkan 14,6 miliar dollar AS dari ekspor 2021. Sementara Direktur Jenderal Rosoboronexport Alexander Mikheyev pesimistis pada peluang 2022.
Pemimpin lembaga penanggung jawab ekspor persenjataan Rusia itu menyebut Moskwa hanya mendapat 5,4 miliar dollar AS dari ekspor senjata pada Januari-Agustus 2022. Penurunan omzet Rusia terjadi karena pelanggan utamanya mengurangi pesanan.
Dalam catatan SIPRI, India mengurangi 47 persen pesanan dari Rusia pada 2017-2021. Pada periode yang sama, Vietnam memangkas 71 persen pesanan dari Rusia. ”Negara-negara konsumen Rusia mulai mempertimbangkan sanksi AS dan mitranya,” kata Tom Waldwyn, peneliti International Institute for Strategic Studies.
Lewat Undang-Undang Menghadapi Musuh melalui Sanksi (CATSCA), AS bisa mencegah penjualan senjata oleh negara lain. AS tak mengancam penjualnya. Washington mengancam pembeli senjata dengan aneka sanksi.

Pesawat tempur Sukhoi Su-27 TNI AU ambil bagian dalam latihan puncak Angkasa Yudha 2013 di Pangkalan Udara Ranai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (30/10/2013). Latihan tersebut melibatkan unsur TNI AU, baik unsur pesawat tempur, helikopter, maupun pasukan.
Sejak Rusia menyerbu Ukraina, AS semakin intensif menggunakan berbagai perangkat sanksi untuk memutus hubungan dagang Rusia dengan sejumlah negara. ”Bukan hanya masalah sanksi, membeli senjata dari Rusia semakin sulit karena Moskwa memprioritaskan industri mereka untuk kebutuhan perang di Ukraina,” katanya.
Rantai pasok
Seperti sektor lain, industri pertahanan global juga terdampak gangguan rantai pasok global (GVC). ”Penjualan bisa jadi lebih tinggi jika tidak terkendala GVC. Perusahaan besar dan kecil mengakui produksi dan pemasaran mereka terdampak. Selain suku cadang dan bahan baku, ada keterbatasan pekerja. Airbus dan General Dynamics termasuk yang melaporkan kekurangan pekerja,” kata Direktur Program Produksi Senjata SIPRI Lucie Béraud-Sudreau.
Produsen pertahanan Eropa mengakui kerugian karena gangguan GVC. ”Hanya galangan kapal yang tidak terdampak gangguan GVC. Bahkan, mereka malah melaporkan kenaikan penjualan,” kata peneliti SIPRI, Lorenzo Scarazzato.
Baca juga : AS Perlihatkan B-21 Raider, Pengebom Siluman yang Diklaim Tak Tertandingi
Béraud-Sudreau mengatakan, GVC industri pertahanan 2021 terutama terganggu oleh pandemi Covid-19. Sementara sepanjang 2022, gangguan utama berasal dari perang Ukraina. ”Akan butuh bertahun-tahun bagi berbagai produsen untuk memenuhi permintaan yang dihasilkan dari perang Ukraina,” kata Diego Lopes da Silva, peneliti senior SIPRI.
SIPRI memprediksi, AS-Eropa akan kesulitan menambah cadangan persenjataan mereka gara-gara gangguan GVC. Cadangan AS-Eropa tergerus karena dikirimkan ke Ukraina.
Kondisi serupa dialami oleh Rusia. Direktur Intelijen Nasional AS Avril Haines menyebut, Rusia menghabiskan amunisi pada tingkat yang sulit diimbangi oleh kemampuan produksinya. Karena itu, Rusia mulai mencari pemasok tambahan selain dari produksi domestik.

Jet F-35 milik angkatan udara Amerika Serikat bersiap lepas landas dari Pangkalan Udara Gunsan, Korea Selatan, pada 31 Oktober 2022. Produksi pesawat itu, antara lain, membutuhkan pasokan bahan baku dari China.
SIPRI menyebut, China dan Rusia memasok bahan mentah penting untuk produsen senjata global. Hal itu, antara lain, terjadi pada produksi F-35. Jet tempur buatan AS yang digunakan bersama oleh Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) serta sekutu dan mitra AS itu, antara lain, membutuhkan pasokan aluminium dan logam tanah jarang dari China.
Sementara produsen Eropa, seperti sektor lain di benua itu, juga kesulitan karena isu energi. Keinginan menghukum Rusia telah menyebabkan Eropa kini dilanda krisis energi. Sejumlah perusahaan mempertimbangkan untuk memindahkan tempat produksi ke lokasi yang lebih terjangkau biayanya.
Bagi industri sekompleks persenjataan, relokasi tersebut sulit dilakukan. Selain investasi besar untuk membangun fasilitas produksi, dibutuhkan serangkaian izin untuk membawa proses dan teknologi produksi persenjataan ke luar negeri.
Pemimpin Raytheon Technologies Gregory Hayes membenarkan bahwa mereka kesulitan mengimbangi permintaan dan kemampuan produksi. Bersama Lockheed Martin, Raytheon mendapatkan kontrak 431 juta dollar AS untuk memproduksi peluncur roket gerak cepat (HIMARS) M142. HIMARS baru itu untuk mengganti milik AS yang dikirimkan ke Ukraina.
Baca juga : AS Bujuk Sekutu Hibahkan Arhanud Mirip Milik Indonesia
Lockheed Martin-Raytheon Technologies juga diminta memasok ulang Javelin, rudal panggul antitank. ”Dalam 10 bulan pertama perang (di Ukraina), telah dihabiskan (cadangan) Stinger (yang perlu waktu produksi) 13 tahun tahun dan Javelin lima tahun. Bagaimana bisa mencukupi ulang cadangan persenjataan ini,” ujar Hayes kepada laman Defense One.


Direktur Jenderal Angkatan Darat AS Christine Wormuth mengatakan, AS mengupayakan kontrak 6 miliar dollar AS untuk mengisi ulang cadangan persenjataan yang dikirimkan ke Ukraina. Dana itu termasuk untuk membeli lagi peluru artileri Excalibur yang dibuat Raytheon bersama perusahaan Inggris, BAE.
Bersama perusahaan Norwegia, Kongsberg, Raytheon juga mendapat kontrak untuk pengadaan artileri pertahanan udara National Advanced Surface-to-Air Missile System (NASAMS). Pekan lalu, AD AS mengumumkan kontrak 1,2 miliar dollar AS untuk pengadaan enam NASAMS yang diberikan ke Ukraina. (AFP/REUTERS)