Melindungi Tak Perlu Jadi Posesif
Rakyat China sudah frustrasi dengan karantina dan lockdown. Sudah saatnya China belajar hidup berdampingan dengan Covid-19.
"Sǎo mǎ (scan the code). Jiànkāng bāo (health kit)". Kalimat itu yang selalu diucapkan petugas di depan pintu masuk segala tempat. Sebelum masuk pasar, minimarket, warung makan, restoran, pertokoan, gedung perkantoran, taksi, gang atau hutong, apartemen, hotel.
Ke mana pun dan di mana pun harus memindai Quick Response Code (kode QR) dengan ponsel cerdas untuk membuka informasi health kit atau kode kesehatan. Kode kesehatan yang diakses melalui aplikasi Wechat atau Alipay ini pada dasarnya melacak pergerakan setiap orang.
Ketika memindai, akan ketahuan hasil tes swab Covid-19 dan waktu tes. Akan ketahuan pula apakah kita pernah berada di daerah yang banyak penyebaran kasus atau rawan Covid-19.
Baca juga: Karantina China Nyaris Bikin Gila
Kode kesehatan menggunakan sistem kode warna hijau, kuning, dan merah. Hijau berarti bebas boleh masuk dan pergi ke mana saja. Kuning berarti harus karantina di rumah. Merah berarti harus dikarantina di tempat khusus.
Alih-alih bersifat nasional terpusat, sistem tersebut dikelola pada tingkat provinsi dengan beberapa variasi di setiap wilayah. Konsekuensinya, masyarakat harus mengunduh dan memakai kode kesehatan yang berbeda setiap kali bepergian ke kota/provinsi lain.
Masyarakat harus mengisi semua data sebelum sampai di kota/provinsi tujuan. Dengan demikian, begitu tiba di tujuan, kode kesehatan bisa langsung ditunjukkan.
Sepulang bepergian dari luar kota, harus siap-siap karantina di rumah 3-5 hari dan tes swab setiap hari. Jika daerah yang dikunjungi dianggap "berisiko tinggi" seperti Shanghai dan Guangzhou, karantina di rumah bisa hingga sampai 7 hari.
Semua proses itu melelahkan. Bahkan acapkali menjengkelkan, terutama saat sistemnya sedang down atau saat sinyal ponsel lemah atau nihil sinyal sama sekali. Tapi itu semua menjadi prasyarat mobilisasi masyarakat. Kode kesehatan menjadi penentu nasib. Tanpanya, mustahil bisa bergerak ke mana pun. Semua pasti ketahuan.
Ketika situasi Covid-19 parah, sejak akhir Oktober lalu, setiap orang wajib tes swab setiap hari. Buktinya akan muncul di kode kesehatan dengan angka "0" atau "1" yang artinya tes sudah dilakukan dalam kurun waktu 24 jam. Ketika kasus tidak sedang tinggi, sebelum Oktober, tes swab cukup 2-3 hari sekali.
Baca juga: "Kebebasan" Hidup di China Ada di Tangan "Health Kit"
Menjalani tes swab setiap hari juga bukan perkara mudah karena setiap lokasi tes ada batasan jam operasional dan kuota alat tes. Antrian juga seringkali panjang hingga butuh waktu setidaknya 15-30 menit.
"Penderitaan" menjadi sempurna ketika hawa dingin menusuk tulang saat mengantre. Suhu di Beijing akhir-akhir ini bisa berkisar mulai -2 derajat celcius hingga -8 derajat celcius. Angin bertiup kencang pula.
Penguncian mendadak
Hidup menjadi semakin rumit jika di lingkungan tempat tinggal, perkantoran, atau tempat umum kita sedang ditemukan kasus positif Covid-19. Otoritas kesehatan akan segera menutup area tanpa kejelasan kapan membukanya kembali. Penutupan bisa dengan pemberitahuan sebelumnya, bisa juga tidak.
Wartawan kantor berita Antara di Beijing, Irfan Ilmie, menceritakan kompleks apartemennya di-lockdown setelah muncul kasus positif. Akses gerbang apartemen sampai ditutup dengan pembatas berbentuk seng agar tidak ada yang kabur. Sebelum di-lockdown, warga diimbau membeli makanan dan kebutuhan lainnya.
"Ada waktu 2-3 jam untuk belanja. Tim tenaga kesehatan juga kirim logistik. Ini sudah mendingan. Dulu main blokir-blokir aja, enggak dikasih waktu buat belanja. Kalau di sini, lockdown sudah jadi gaya hidup," kata Irfan.
Baca juga: Rakyat China Tercekik ”Lockdown”
Belakangan, lanjut Irfan, pemberlakuan lockdown di Beijing mulai berubah menjadi parsial. Dulu, muncul satu kasus positif di satu lokasi saja sudah akan mendorong otoritas setempat menerapkan lockdown untuk satu komunitas pemukiman. Kini, penerapan lockdown lebih spesifik.
Misalnya, lockdown untuk satu lantai atau satu unit apartemen tempat kasus positif ditemukan.
Soal kapan lockdown akan dihentikan, tetap saja tanpa kejelasan. "Tunggu hasil tes PCR keluar," jawab petugas berbaju hazmat di depan salah satu unit di apartemen yang di-lockdown di Beijing.
Tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Banyak penghuni kaget tetapi tak berdaya. Ada yang marah-marah, banyak pula yang pasrah. Untung saja, lockdown dibuka pada malam harinya karena hasil tes swab seluruh warga unit itu sudah keluar ; negatif.
Frustrasi
Protokol kesehatan di China memang super ketat, mulai dari kewajiban tes swab setiap hari, pindai kode kesehatan, hingga lockdown mendadak tanpa kejelasan batas akhirnya. Bisa sangat dimengerti kemudian jika rakyat China baru-baru ini frustrasi dan menggelar protes di Beijing, Shanghai, Guangzhou, Wuhan, Chengdu, dan Urumqi.
Mereka frutrasi karena kebijakan pemerintah itu melelahkan secara fisik, psikis, dan ekonomi. Dalam tekanan itu, mereka tidak tahu harus melakukan apa. Sudah tiga tahun China begini dan tidak ada tanda-tanda pemerintahan Presiden China, Xi Jinping, mau mengakhiri kebijakan "nihil penyebaran Covid".
Faktanya, kebijakan ketat itu pada sisi lain berhasil menekan tingkat kematian Covid-19. China menjadi negara dengan tingkat penyebaran Covid-19 di bawah catatan negara-negara dengan jumlah penduduk besar lainnya.
Baca juga: China Longgarkan Kebijakan Nihil Covid-19
Berdasarkan data WHO per 4 Desember malam, akumulasi jumlah kematian akibat Covid-19 di China adalah 30.388 kasus dari 9,71 juta kasus. Di Indonesia, angka kematian mencapai 159,921 kasus dari 6,67 juta kasus.
Bagi pemerintahan Xi, kebijakan ketat itu adalah yang terbaik untuk melindungi rakyat. Tanpa kebijakan ketat, Covid-19 akan merajalela dan sistem layanan kesehatan China akan lumpuh. Namun bagi rakyat, kebijakan ini juga melahirkan penderitaan. Bahkan ada efek yang menyebabkan kematian.
Beberapa waktu lalu, 10 orang tewas dalam kebakaran di sebuah apartemen di Urumqi, Provinsi Xinjiang. Kasus itu viral di media sosial karena diduga korban tewas akibat tidak bisa segera melarikan diri karena sebagian bangunan sedang di-lockdown. Peristiwa ini menjadi katalis penderitaan dan kemarahan masyarakat. Untuk pertama kalinya dalam 33 tahun, puluhan ribu orang turun ke jalan dan menuntut pencabutan lockdown.
Selama 10 tahun kekuasaan Xi, baru kali ini muncul gelombang protes sebesar itu. Posisi Xi serba salah. Kalau tunduk pada tekanan publik dan mencabut kebijakan "nihil penyebaran Covid-19", Xi akan tampak lemah. Ini bisa menjadi preseden bahwa rakyat bisa selalu turun ke jalan kapan pun mereka menginginkan perubahan kebijakan.
"Jika dicabut, bisa dianggap sebagai kebijakan gagal dan Xi harus mempertanggungjawabkan itu. Ia bisa kehilangan muka," kata Teng Biao, aktivis hak asasi manusia, pengacara, dan cendekiawan China kepada situs Deutsche Welle, 29 November lalu.
Selain itu, bukan karakter Xi untuk menyerah begitu saja. Xi masih mencoba melonggarkan kebijakan itu dengan merilis "20 aksi", bulan lalu. Ini upaya untuk menstandarisasi tindakan pencegahan secara nasional dan membuatnya lebih ramah pada rakyat dan perekonomian.
Namun, perintah dari pusat itu belum merata ke semua daerah sehingga masih ada saja yang menerapkan lockdown dan karantina amat ketat.
Baca juga: Jenuh, Rakyat China Protes Kebijakan Nihil Covid-19 Berkepanjangan
Wakil Perdana Menteri China, Sun Chunlan, berjanji memperbaiki strategi penanganan Covid-19. Salah satunya dengan menggenjot vaksinasi bagi kelompok paling rentan, yakni penduduk lanjut usia dan anak-anak. Banyak orang tak mengerti kenapa China tidak segera menuntaskan vaksinasi untuk kelompok ini.
Berdasarkan Komisi Kesehatan Nasional, sekitar 90 persen warga China sudah divaksin penuh. Namun untuk kelompok masyarakat berumur 80 tahun ke atas, hanya dua pertiga yang sudah divaksin penuh. Dan hanya sekitar 40 persen yang sudah menerima vaksin pendorong.
Padahal, China adalah salah satu produsen vaksin yang sudah menyebar ke seluruh dunia. Menurut editorial di jurnal The Lancet, ada kemungkinan penyebabnya karena ketidakpercayaan pada produsen vaksin domestik. Ini merujuk pada skandal tahun 2018.
Saat itu, produsen China membuat vaksin difteri, pertusis, dan tetanus yang ternyata tidak berguna. Ada pula kasus pemalsuan data inspeksi untuk vaksin rabies. Meski tidak sampai menimbulkan korban jiwa, skandal itu memengaruhi kepercayaan masyarakat. Atau bisa juga ada kaitannya dengan budaya.
Orang tua sangat dihormati dalam budaya Konfusian China sehingga orang tua diberikan otonomi untuk membuat keputusan terkait kesehatan mereka sendiri. Tetapi untuk kali ini, mau tak mau, mereka harus divaksin dengan vaksin buatan dalam negeri, Sinovac dan Sinopharm.
Otoritas kesehatan akan memvaksin penduduk usia 60 tahun ke atas, termasuk usia 70-80-an yang tidak bisa keluar rumah. Vaksinasi ini penting mengingat peningkatan kasus belakangan akibat subvarian BF.7 Omicron. Epidemiolog di Universitas Sun Yat-sen, Guangzhou, Lu Jiahai, khawatir virus ini dapat menginfeksi 160 juta-280 juta orang dan menewaskan 1,3 juta-2,1 juta jiwa yang mayoritas dari mereka orang dewasa yang belum divaksin.
Baca juga: China Yakin Kebijakan "Nihil Covid-19" Atasi Lonjakan Kasus Jalan tengah bagi China tampaknya bukan hal yang mustahil. Vaksinasi, peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan rumah sakit, yang sudah berjalan bisa terus ditingkatkan. Adapun strategi kebijakan pencegahan dan pengendalian Covid-19 yang lebih ramah, fleksibel, dan pragmatis bisa mengakomodasi kebutuhan rakyat. Bisa saja, misalnya, jika ada satu kasus positif di satu lokasi, tak perlu semua ikut "dihukum" lockdown. Apalagi jika hasil tes swab negatif. Tidak ada alasan menahan orang yang hasil tesnya negatif di rumah dan dalam kurun waktu tak jelas hingga tak bisa bekerja dan sekolah. Seluruh dunia sudah belajar hidup berdampingan dengan Covid-19. Kini giliran China yang mau tak mau harus mulai belajar hidup bersama Covid-19 tanpa perlu mengendurkan kewaspadaan dan kesiagaan.