Pertarungan dan Adu Pengaruh di Balik Penjualan Senjata Global
Di balik ratusan miliar dollar AS yang dibelanjakan negara dan diraup negara-negara pembuatnya, bisnis penjualan senjata tak hanya untuk mereguk keuntungan ekonomi. Ada keuntungan lain bagi negara-negara pemasok senjata.

Jet tempur F-35B milik Amerika Serikat bersiap lepas landas dari pangkalan udara Gunsan, Korea Selatan pada 31 Oktober 2022. AS membatasi penjualan jet itu hanya kepada sekutu dan mitranya. Pembatasan ekspor diberlakukan pula pada berbagai jenis senjata dan peralatan perang buatan AS.
Di banyak negara, menjual senjata bukan sekadar mencari keuntungan dalam bentuk uang. Penjualan senjata dapat sekaligus ditujukan untuk memperluas pengaruh hingga aliansi militer. Penjualan juga memberi manfaat pada perekonomian sekaligus pertahanan nasional.
Analis pada lembaga konsultansi keamanan, RANE, Ryan Bohl, menyebut pihak yang berbelanja produk persenjataan Amerika Serikat bukan sekadar mendapat meriam dan senapan. “Membeli dari AS berarti juga memberi pengaruh di Washington,” kata dia.
Pendapat senada dilontarkan Siemon Wezeman, peneliti senior Kajian Perdagangan Senjata pada Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI). Berkaca pada Asia Timur dan Timur Tengah, konsumen senjata AS sekaligus mendapatkan tawaran perlindungan dari Washington. “AS akan membantu jika ada negara lain menyerang pembeli senjatanya,” ujarnya pada Forbes.
Baca juga : Banjir Won dari Palagan Ukraina
Sementara Vasabjit Banerjee, pengajar pada Mississippi State University, memandang AS juga untung jika menjual senjata ke negara lain. Ekspor senjata berperan penting pada upaya AS membendung China di Indo-Pasifik serta kawasan lain.
Dalam artikel di jurnal Foreign Affairs, Banerjee menulis, China menggunakan penjualan senjata guna meningkatkan pengaruh pada pejabat di berbagai negara. Ekspor senjata menjadi salah satu cara China mendapatkan akses ke berbagai pangkalan militer di luar negeri.
Banerjee mencatat, meski AS—seperti ditunjukkan data SIPRI—menguasai 54 persen di pangsa pasar senjata global, AS mempunyai beberapa masalah internal yang merintangi penggunaan ekspor senjata sebagai perangkat untuk menjaga dan memperluas pengaruh. Masalah pertama, senjata AS lebih mahal dibandingkan buatan China. Masalah kedua, pembelian senjata dari AS lebih rumit dibandingkan kontrak dengan China.

Beijing fokus pada penjualan saja. Beijing tidak pernah mempersoalkan rekam jejak penegakan hak asasi manusia (HAM) negara yang akan membeli persenjataannya. Tidak ada pula batasan penggunaan seperti yang ditetapkan AS pada senjata yang diekspornya.
China juga lentur soal cara pembayaran. Dengan sejumlah negara, Beijing mau membarter senjata dengan komoditas hasil alam. Selain itu, Beijing kerap menawarkan potongan harga.
Bagi negara-negara di Asia dan Afrika, tawaran China menarik. Mereka bisa mempunyai senjata dengan harga terjangkau serta tanpa banyak syarat pembelian dan penggunaan.
Dengan kelenturan itu, China bisa menjadi salah satu pemain besar dalam bisnis senjata global. Tentu saja, pangsa pasar China saat ini masih jauh di bawah AS dan sekutunya di Eropa Barat.
Merujuk pada catatan SIPRI, ekspor persenjataan China hanya 66,7 miliar dollar AS pada 2020. Sebagai pembanding, penjualan Lockheed Martin saja mencapai 67 miliar dollar AS. Lockheed Martin merupakan produsen pertahanan AS dengan nilai penjualan terbesar.
Syarat rumit AS
Adapun AS menetapkan banyak syarat sebelum menyetujui ekspor senjata. Jika syarat dipenuhi, penjualan bisa disetujui Kongres AS.
Baca juga : Banyak Pihak "Panen" Dari Perang Ukraina
Washington mengirimkan senjata ke negara lain melalui mekanisme penjualan dan bantuan. Pasokan senjata melalui jalur bantuan, antara lain, sedang dikucurkan ke Ukraina. Adapun penjualan melalui mekanisme antarpemerintah (Foreign Military Sales/FMS) dan komersial atau Direct Commercial Sales/DCS).
Meski tetap butuh persetujuan Departemen Luar Negeri AS, penjualan dari jalur DCS dikhawatirkan lebih sulit dipantau. Butuh lobi bertahun-tahun untuk mendapat persetujuan ekspor senjata dari Kongres AS. Peneliti Quincy Institute for Responsible Statecraft (QIRS), William D Hartung, sampai menyebut lobi ekspor senjata merupakan salah satu modus korupsi.
Memang, seperti diingatkan Bohl, membeli senjata dari lawan AS bisa menimbulkan masalah. Lewat Undang-undang Menghadapi Musuh Melalui Sanksi (CATSCA), AS bisa mencegah penjualan senjata oleh negara lain. AS tidak mengancam penjualnya. Washington mengancam pembeli senjata dengan aneka sanksi. Seperti dalam persetujuan ekspor senjata, perlu lobi ke Kongres untuk menghapus ancaman sanksi itu.

Banerjee menyebut, pembatasan ekspor senjata memang bisa menjadi simalakama. Di satu sisi, kebijakan itu memungkinkan AS menjaga teknologi sensitif untuk persenjataan tertentu agar tidak bisa diakses pihak lain. Di sisi lain, kebijakan itu membuat AS sulit menjual senjata ke Asia-Afrika yang kini jadi ladang utama persaingan AS dan sekutunya dengan China-Rusia dan sekutunya. Persoalan itu hanya bisa diselesaikan oleh AS sendiri.
Mengenai masalah harga, AS bisa menyiasatinya lewat kerja sama dengan sekutu dan mitranya. AS bisa membantu mitra dan sekutunya mengembangkan persenjataan dengan teknologi dan harga lebih rendah daripada produk AS yang tidak bisa diekspor ke negara lain.
Menyerang tanpa pasukan
Ekspor senjata bukan hanya akan menghasilkan uang. Sejak masa Perang Dingin, menurut Hortung, ekspor senjata sudah dijadikan alat meredam lawan. AS dan Uni Soviet memang tidak pernah secara langsung berhadapan di palagan. Moskwa-Washington memilih mengirimkan senjata ke perang di berbagai negara. Di negara-negara itu, senjata AS-Uni Soviet digunakan dalam perang saudara atau perang lintas negara.
Baca juga : Ukraina, Palagan Penulisan Buku Perang Baru
Pada abad ke-21, metode tersebut, antara lain, tengah digunakan di Ukraina. Direktur Persenjataan Konvensional pada Stimson Center, Rachel Stohl, menyebut perang di Ukraina membuktikan AS bisa meredam lawannya dengan memasok senjata ke negara lain.
Tanpa harus mengorbankan seorang pun prajuritnya, AS bisa menghadapi Rusia melalui Ukraina.
Tanpa harus mengorbankan seorang pun prajuritnya, AS bisa menghadapi Rusia melalui Ukraina. Senjata-senjata pasokan AS dan sekutunya menyebabkan Rusia kehilangan banyak prajurit dan aneka peralatan perang. “Semua dilakukan tanpa harus mengorbankan seorang pun prajurit AS,” ujar Stohl.
Menurut dia, penjualan senjata kerap menjadi bagian tidak terpisahkan dari kebijakan luar negeri. “Keuntungan (dari penjualan senjata) hanya sebagian kecil dari perdagangan senjata dan alasan AS menjual senjata," jelas Stohl.
"Di balik itu, penjualan senjata adalah perangkat politik luar negeri, menaikkan daya tawar AS pada negara pembeli, bahkan bisa sampai mengarahkan bentuk keamanan dan konflik global,” lanjutnya.
Menggiurkan
Secara komersial, memang nilai perdagangan senjata menggiurkan. SIPRI mencatat, 100 produsen utama persenjataan global meraih 531 miliar dollar AS sepanjang 2020. Memang, nilai perdagangan senjata global tidak sampai 2 persen dari nilai keseluruhan perdagangan barang global pada periode yang sama.

Tentara Ukraina mengangkut FGM-148 Javelin ke dalam truk di Bandara Boryspil, Kyiv, Ukraina, 11 Februari 2022. Javelin adalah misil anti-tank portabel buatan Amerika Serikat.
Dari 531 miliar dollar AS itu, sebanyak 285 miliar dollar AS dinikmati Washington. Pada masa pemerintahan Joe Biden, yang pernah menjanjikan kendali lebih ketat atas ekspor senjata, Washington meneken kontrak ekspor senjata senilai 101 miliar dollar AS. Hingga 59,1 miliar dollar AS dari kontrak itu dikuasai Lockheed Martin, Boeing, Raytheon dan General Dynamics. Sisanya dibagi ke ratusan perusahaan lain.
Menurut Kapten Christa N Almonte, peneliti pada Council of Foreign Relations (CFR), ada keuntungan ekonomis selain dari pendapatan. Ia menyebut, ekspor senjata berarti membagi beban pengembangan dan perawatan persenjataan ke negara lain.
“Setiap senjata butuh dana besar untuk pengembangan dan perawatannya. Dana itu akan dibebankan ke pembeli lewat harga jual. Jika menjadi pemakai tunggal, AS harus menanggung sendiri dana itu. Sementara jika menjualnya ke negara lain, AS berbagi beban itu," papar Almonte.
"Alih-alih membayar untuk harga satuan untuk pesanan lima unit, jika menjual 10 unit lagi ke negara lain, AS membayar harga satuan untuk pesanan 15 unit. Jelas lebih murah,” tutur perwira angkatan laut AS itu.
Baca juga : Senjata untuk Ukraina, Rumit sejak Pangkal
Keuntungan lain, yakni produsen bisa tetap memproduksi aneka suku cadang untuk merawat persenjataan dan aneka peralatan perang. Di banyak negara, meski konsumen utamanya adalah pemerintah, industri persenjataan digerakkan oleh swasta. Para pebisnis senjata tetap menerapkan prinsip pengelolaan persenjataan. Salah satunya: hanya memproduksi produk yang ada pasarnya.
Seperti banyak produk lain, persenjataan dan aneka peralatan perang perlu perawatan berkala. Butuh pergantian suku cadang. Perawatan jadi penye- bab sebagian peralatan berusia puluhan tahun tetap bisa dipakai. “Perawatan bisa dilakukan karena suku cadangnya masih diproduksi,” ujar Almonte.
Produsen persenjataan AS dan juga di negara lain tetap memproduksi aneka suku cadang untuk persenjataan berusia puluhan tahun karena pembelinya masih ada di berbagai negara. Almonte mengingatkan, biaya perawatan yang harus ditanggung Washington amat besar jika pengguna persenjataan lama hanya AS. (AFP/REUTERS)