Indonesia Optimistis tentang Perdagangan dan Investasi Global
“Sky is the limit untuk kerja sama ekonomi dan perdagangan China-Indonesia,” kata Zhang Chaoyang kepada The Global Times, 16 November.
Pertumbuhan perdagangan barang global akan turun menjadi 3 persen pada 2022 dan satu persen pada 2023. Penurunan juga diperkirakan akan terjadi pada aliran masuk investasi asing langsung global. Kenaikan suku bunga global menjadi penyebab utama penurunan. Akan tetapi posisi ekspor dan aliran investasi asing ke Indonesia diperkirakan relatif aman.
Berdasarkan laporan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 23 Agustus 2022, saat puncak pandemi nilai perdagangan global turun 7,18 persen dari 19,01 triliun dollar AS pada 2019 menjadi 17,65 triliun dollar AS pada 2020. Kemudian nilai perdagangan global pulih menjadi 22,33 triliun dollar AS pada 2021 atau naik 26,52 persen dari 2020.
Namun, pada 2022 dan 2023 pertumbuhan perdagangan global kembali menurun walau tidak terkontraksi. Selain karena kenaikan suku bunga global, penurunan perdagangan global pada 2022 terjadi akibat efek invasi Rusia ke Ukraina dan hambatan ekspor. Hingga pertengahan Oktober 2022 hambatan ekspor yang diterapkan G20 berkurang 77 persen dan tinggal 17 jenis pelarangan ekspor.
Meski sudah dikurangi, efek hambatan yang masih ada telah menahan perdagangan barang global senilai 122 miliar dollar AS. Hambatan termasuk untuk perdagangan pangan dan pupuk. Akan tetapi ada optimisme. Seperti diberitakan Xinhua, 23 November, Presiden Rusia Vladimir Putin, siap memulai pasokan pupuk.
Penyebab lainnya adalah efek fragmentasi dan keterpecahan dalam perdagangan global, seperti dikatakan Dirjen Perdagangan WTO Ngozi Okonjo-Iweala di Sydney, Australia, 24 November. “Fragmentasi mengancam perdagangan multilateral,” demikian peringatan Dirjen WTO. Semua faktor itu membuat perdagangan global pada 2023 diperkirakan hanya tumbuh 1 persen.
Pasar di negara bermasalah
Akan tetapi Indonesia tidak akan terpukul keras. Meski ada dampak, efeknya tidak signifikan. “Efek ke Indonesia bersifat mild,” kata A. Prasetyantoko, ekonom dari Universitas Atma Jaya Jakarta.
Hal senada dikatakan Direktur ADB untuk Indonesia, Jiro Tominaga, Jakarta, 21 September. “Ekspor komoditas Indonesia mengalami booming,” lanjutnya. Permintaan terhadap ekspor komoditas mendukung pertumbuhan dan mendorong penerimaan negara.
Namun demikian, masalah dihadapi perusahaan-perusahaan eksportir dengan tujuan ke negara-negara bermasalah. Ekspor nonmigas terlihat menurun ke Pakistan, Sri Lanka, dan sejumlah negara yang bermasalah dengan utang luar negeri.
Masalah juga muncul bagi eksportir tekstil dan alas kaki ke pasar AS dan Eropa. Ada masalah bagi perusahaan dengan konsekuensi PHK. “Khusus bagi perusahaan eksportir manufaktur, ada penurunan tajam,” kata Yose Rizal Damuri, ekonom dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta.
Meski demikian, secara makro ekspor Indonesia tidak terpengaruh besar. “Walaupun perekonomian AS dan Eropa diproyeksikan terkontraksi, ekonomi China diperkirakan tumbuh lebih baik. Dengan demikian, penurunan perdagangan ke Barat untuk ekspor berbasis padat karya (seperti pakaian, alas kaki, dan perabotan) akan terkompensasi dengan ekspor komoditas ke China,” kata kata Wisnu Wardhana, ekonom dari Bank Danamon.
Tujuan utama ekspor RI adalah China, AS, Jepang, Uni Eropa dan Singapura. Lewat keterangan pers pada 25 November, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan ekspor ke China memberikan optimisme.
Sejauh ini data Departemen Perdagangan memperlihatkan posisi ekspor bahkan meningkat. Dari lima negara tujuan ekspor utama Indonesia, hanya AS dan Uni Eropa yang didera ancaman resesi terbesar. China, Jepang dan Singapura relatif memiliki kekuatan keuangan negara dan swasta yang baik.
Hanya saja, Wisnu mengingatkan, nilai ekspor maupun surplus perdagangan berpotensi berkurang. Pelemahan pada harga-harga ekspor komoditas diperkirakan terjadi pada 2023.
Prospek investasi asing
Potret aliran masuk investasi global juga kurang lebih serupa dengan perdagangan global. Laporan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) memperlihatkan aliran masuk investasi asing langsung (FDI inflow) melejit pada 2021 dibandingkan dengan tahun 2020.
Berdasarkan laporan UNCTAD “World Investment Report 2022”, aliran masuk FDI global pada 2021 sebesar 1,58 triliun dollar AS atau naik 64 persen dari 2020. Kenaikan berlanjut hingga kuartal pertama 2022 sebesar 554,8 miliar dollar AS dan merupakan aliran masuk FDI kuartalan tertinggi dalam lima tahun terakhir. Hanya saja penurunan aliran masuk FDI global terjadi pada kuartal kedua 2022 sebesar 359,81 miliar dollar AS.
Kelompok terbesar penerima aliran masuk FDI pada 2021 adalah negara maju (746 miliar dollar AS), termasuk Asia (619 miliar dollar AS). Indonesia berada di urutan ke-15 dari 20 negara penerima aliran masuk FDI terbanyak di dunia selama dua tahun, 2020 dan 2021. Indonesia menerima aliran masuk FDI sebesar 20,08 miliar dollar AS sepanjang 2021 dan 5,579 miliar dollar AS pada kuartal pertama 2022 serta 4,28 miliar dollar AS pada kuartal kedua 2022.
Kenaikan terbesar aliran masuk FDI global terjadi di sektor infrastruktur, diikuti FDI untuk tujuan merger dan akuisisi lintas batas negara yang umumnya terkait dengan kegiatan ekspor, serta greenfield investment (investasi untuk pendirian perusahaan atau usaha baru).
Situasi dramatis terjadi pada 2022, salah satunya ditandai dengan invasi Rusia ke Ukraina, penyebab kenaikan harga pangan dan energi dan ketegangan geopolitik. Pada 2022 mencuat tekanan inflasi di Barat yang menyebabkan kenaikan suku bunga untuk meredam inflasi. Ini menjadi penyebab utama potensi penurunan FDI global.
“Kenaikan suku bunga di negara-negara maju … memperlambat pembiayaan proyek internasional. Sentimen negatif dari sektor keuangan dan resesi ekonomi global yang membayangi akan mempercepat penurunan FDI,” demikian laporan UNCTAD.
Ada optimisme
Meski demikian UNCTAD tidak memupus optimisme tentang aliran masuk FDI di depan, termasuk bidang investasi infrastuktur. Dalam laporan UNCTAD, Asia bahkan terus melejit soal aliran masuk FDI di tengah wabah pandemi Covid-19. “Meski ada gelombang pandemi, aliran masuk FDI global ke negara berkembang Asia naik berturut-turut dalam tiga tahun dan mencapai angka tertinggi pada 2021 sebesar 619 miliar dollar AS. Keadaan ini sekaligus menunjukkan kuatnya daya tahan ekonomi kawasan Asia,” demikian UNCTAD.
“Negara berkembang Asia menjadi kawasan penerima aliran masuk FDI global sekitar 40 persen dari total aliran masuk FDI,” lanjut UNCTAD. Konsentrasi aliran masuk FDI di Asia terjadi di China, Hong Kong, Singapura, India, Uni Emirat Arab, Indonesia dengan total 80 persen dari seluruh aliran masuk FDI ke Asia.
Di samping itu, sumber utama aliran masuk FDI juga berasal dari Asia, yakni Jepang, China, Hong Kong, Korea Selatan, Singapura, Thailand, Rusia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab. Dari 20 negara sumber utama FDI, hanya AS dan Jerman yang paling tertekan tinggi dan masalah moneter. Khusus untuk Rusia, arah investasinya sekarang tertuju ke Asia, sebagaimana dinyatakan Menlu Rusia Sergei Lavrov (Russia Briefing, 21 November 2022).
Optimisme tergambar dalam ucapan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia pada 24 Oktober lalu. “Sekalipun kondisi ekonomi global tidak menentu, … harapan untuk investasi agak terang,” kata Bahlil. Ia menambahkan, realisasi investasi asal Singapura mendominasi pada kuartal Ketika 2022, yakni sebesar 3,8 miliar dollar AS, diikuti China 1,6 miliar dollar AS, Jepang sebesar 1 miliar dollar AS, Hong Kong sebesar 1,0 miliar dollar AS, dan Malaysia sebesar 0,9 miliar dollar AS.
Atusiasme investor asing
Ucapan Bahlil senada dengan antusiasme investor asing. Ketua Kamar Dagang dan Industri China di Indonesia, Zhang Chaoyang, mengatakan China siap meningkatkan relasi dagang dan investasi dengan Indonesia. “Sky is the limit untuk kerja sama ekonomi dan perdagangan China-Indonesia,” kata Zhang Chaoyang kepada The Global Times, 16 November.
Hal serupa dinyatakan Dubes Jepang untuk Indonesia, Kenji Kanasugi, bahwa hubungan kedua negara lebih dari sekadar urusan perekonomian (Antara, 11 Mei). “Relasi bilateral meluas, bukan sekadar urusan ekonomi …. tetapi juga hingga urusan politik dan kerja sama keamanan,” lanjut Kanasugi.
Majalah The Economist, edisi 14 November, menuliskan Indonesia berpotensi mengalami booming. Hanya saja tersebut juga penyakit lama Indonesia dengan sebutan, “Kebijakan yang tidak konsisten mungkin jadi penghalang kemajuan.”
Intinya Indonesia bukan tak dilirik asing. Dengan kekayaan alam dan demografi berusia muda, Indonesia jelas ada dalam radar investasi internasional. Ada kenaikan peringkat Indonesia dari sisi easy of Doing Business (EoDB), atau kemudahan berbisnis versi Bank Dunia. Dari peringkat tertinggi dengan urutan 129, posisi RI membaik ke posisi 73 pada 2019. Akan tetapi peringkat ini tidak lebih baik ketimbang Malaysia, Thailand dan hanya lebih baik dari Filipina dan Myanmar.
Meski demikian, RI tetap berpotensi jadi tujuan FDI. China menawarkan investasi infrastruktur. Dalam pertemuan G20 di Bali, Presiden Joe Biden juga menawarkan proyek infrastruktur. Cerdas memanfaatkan tawaran, akan menentukan bagi Indonesia.
Dengan demikian posisi Indonesia dari sisi ekspor, Investasi, konsumsi dan pengeluaran pemerintah tetap kuat meski dunia dibayangi resesi. Maka tidak heran jika ADB memperkirakan perekonomian Indonesia tetap tumbuh 5 persen pada 2023, hanya turun sedikit dari 5,2 persen pada 2022. “Perekonomian Indonesia bisa mengatasi ancaman terhadap pertumbuhan,” kata Tominaga.
Ekonom ADB, Albert Park, tidak melihat Asia didera masalah moneter. Setelah mobilitas pulih, ekonomi Asia kembali mengalami pemulihan permintaan. Program-program ekonomi yang tertunda seperti infrastruktur kembali berjalan. (Reuters/MON)