Membangun Aksi Nyata Pasca-KTT G20
Meskipun ada rivalitas, para pemimpin tak mau menjerumuskan dunia dalam bahaya. Diplomasi dan dialog menjadi cara elegan untuk membangun stabilitas dunia.
Pekan telah berganti, dunia terus bergerak. Dalam sejumlah forum global yang telah dan sedang bergulir, para pemimpin dunia semakin menyadari bahwa perpecahan bukanlah cara dunia bekerja.
Di sela-sela forum COP27, Utusan Khusus China untuk isu iklim Xie Zhenhua mengapresiasi pembicaraannya dengan mitranya, John Kerry. Ia menyebut pembicaraan di Sharm el-Sheikh, Mesir, pada Sabtu (19/11/2022), itu berlangsung terbuka, positif, dan ramah.
Baca juga: Draf Kesepakatan COP27 Dinilai Mengecewakan
Meskipun masih ada sejumlah perbedaan terutama terkait ”strata” China sebagai negara berkembang atau maju, pembicaraan keduanya lancar. Dalam konteks dana bencana, negara miskin dan berkembang menjadi sasaran donor untuk transisi energi dan membangun ketahanan terhadap perubahan iklim.
”Secara keseluruhan sangat konstruktif,” kata Xie merujuk pembicaraannya dengan Kerry sebagaimana dikutip kantor berita AFP. ”Kami telah sepakat bahwa setelah COP ini kami akan melanjutkan pembicaraan formal, termasuk menggelar pertemuan tatap muka,” kata Xie sembari menambahkan bahwa ia telah mengenal Kerry selama lebih dari dua dekade.
Suasana positif itu tampaknya mengalir dari hangatnya pertemuan Presiden Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping di sela-sela KTT G20 di Bali. Saat itu keduanya sepakat melanjutkan kolaborasi mengenai isu perubahan iklim.
Sebelumnya pada Agustus, Beijing menangguhkan pembicaraan dengan Washington karena marah atas kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan. Kini, situasi baru yang ditunjukkan China-AS memberikan harapan pada upaya perang melawan pemanasan global. Sebelumnya, kerja sama antara negara adidaya telah menghasilkan terobosan pada Konferensi Iklim PBB, terutama Perjanjian Paris 2015.
Baca juga: APEC Perlu Upayakan Stabilitas Kawasan
Dalam forum lain, yaitu APEC Economic Leaders’ Meeting, para pemimpin APEC juga berhasil memecah kebuntuan mengenai isu Ukraina. Mereka menggunakan rumusan dalam Deklarasi Bali untuk menjawab hal itu. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang hadir dalam forum itu—sebagaimana dikutip dari siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian—mengatakan, semangat kebersamaan menguat untuk menghadapi berbagai tantangan yang ada, terutama pemulihan ekonomi secara inklusif. Dalam kesempatan itu, menurut Airlangga, banyak pemimpin APEC dan IMF mengapresiasi keberhasilan kepemimpinan Indonesia dalam Presidensi G20 tahun 2022.
G20
Kembali merujuk pada KTT G20, target ambisius Presiden Joko Widodo agar forum itu menghasilkan deklarasi—artinya mengandaikan adanya konsensus bersama—seolah memaksa para diplomat dan negosiator mencari titik temu. Tak hanya itu, saat menggelar pertemuan bilateral dengan sejumlah mitranya, seperti Presiden Joe Biden, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, dan Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen, mengharap mereka bisa bersikap fleksibel.
Dunia tengah berada dalam situasi serba sulit. Aneka krisis mengimpit dan perang terus menciptakan kehancuran baru. Jokowi mengajak agar G20 tak memunculkan persoalan baru.
Dalam kesempatan wawancara khusus pada Sabtu lalu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, pesan itu diterima dengan baik oleh para pihak. Dalam berbagai proses negosiasi, terutama terkait isu perang di Ukraina, para negosiator bertindak dengan sangat hati-hati dan terus menjaga komunikasi dengan para pemimpin. ”Bahkan, setelah embrio paragraf tentang isu tersebut terbentuk, embrio itu tetap dijaga, ada penambahan ada pula pengurangan, tetapi tetap dijaga, tidak dibunuh,” kata Retno.
Dalam beragam isu lain pun, menurut dia, semua pihak dalam G20 terlibat penuh, termasuk Rusia. Dalam pembahasan paragraf-paragraf lain yang tak kalah penting, bahkan kunci, seperti paragraf 4 tentang resolusi damai, upaya mengatasi krisis dengan dialog dan diplomasi dan bahwa ancaman penggunaan nuklir tidak dapat diterima, semua negosiator di G20 turut serta.
Baca juga: Spirit Kolaborasi G20 Runtuhkan Ego dan Sekat
Puncaknya saat KTT G20 digelar. ”Diwakili Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov, dengan seluruh mandatnya. Rusia hadir dalam semua prosesnya. Rusia tidak absen dari perhelatan besar KTT G20,” kata Retno.
Deklarasi Bali, menurut Retno, adalah hasil dari campuran antara keinginan setiap negara bahwa deklarasi adalah hasil terbaik, yang merefleksikan tanggung jawab pemimpin pada dunia, serta kepercayaan pada Indonesia yang sejak awal konsisten mengawal proses ini dengan baik dan hati-hati.
Niatan untuk menegakkan hukum internasional dan sistem multilateral demi menjaga perdamaian dan stabilitas, sebagaimana ditulis pada awal paragraf 4, tampak menghidupi deklarasi itu sendiri dan sikap para pemimpin G20.
Dalam jumpa pers seusai KTT G20, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengatakan, ia telah berbicara dengan Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Narendra Modi. Bersama dengan Uni Afrika, Perancis menginginkan adanya konvergensi untuk mendekati Rusia dan mengajak menyegerakan gencatan senjata serta perundingan damai.
”Presiden Xi lugas mengatakan dia juga ingin menghindari eskalasi konflik, apalagi risiko pemakaian senjata nuklir,” kata Macron.
Langkah lanjut
Dihubungi secara terpisah, Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Asra Virgianita mengatakan, deklarasi KTT G20 mengejutkan. Menurut dia, capaian itu adalah sebuah prestasi. Akan tetapi, setelah euforia penyelenggaraan KTT selesai, menurut dia, harus ada pemastian seluruh komitmen di deklarasi berjalan.
”Indonesia, tanpa perlu memihak, harus membangun narasi geopolitik yang meminta percepatan gencatan senjata dan perdamaian,” katanya.
Baca juga: Apresiasi atas Penyelenggaraan KTT G20 di Bali
Asra menjelaskan, Indonesia harus terus menekankan dampak perang memenuhi kondisi perekonomian, ketahanan pangan, dan energi global. Sebelum perang Rusia-Ukraina terjadi, kondisi ketiga aspek itu sudah rapuh. Sekarang, konflik memperparah keadaan. Negara-negara berkembang terkena dampak lebih awal.
Oleh sebab itu, Indonesia perlu terus mengawal pelaksanaan hasil KTT G20 melalui berbagai diplomasi yang mengedepankan kepentingan negara-negara berkembang. Tujuannya agar tidak ada anggota yang mungkir dari isi deklarasi.
Terkait hal itu, Co-Sherpa G20 Indonesia Dian Triansyah Djani mengatakan, ada mekanisme troika, yaitu Indonesia-India-Brasilia yang akan mengawalnya. India menurut dia memiliki kewajiban teknis untuk melanjutkan capaian yang telah dihasilkan dalam Presidensi G20 Indonesia. ”Misalnya tentang komitmen Dana Pandemi 1,5 miliar dollar AS. Hal ini harus ditindaklanjuti, dikawal terus, bagaimana tata laksananya, bagaimana penggunaannya,” kata Dian.
Apalagi, selain paragraf-paragraf substansi, ada pula hasil konkret—masuk dalam anex— sebanyak 361 proyek kolaborasi internasional yang perlu diimplementasikan.
Pemenuhan dari beragam proyek itu—baik dalam bentuk peningkatan kapasitas, hibah, alih teknologi, membangun ketahanan pangan, energi, dan iklim—yang menjadi bagian dari pemulihan ekonomi secara inklusif sangat penting terutama bagi negara-negara berkembang dan kepulauan kecil.
Kini ditunggu aksi nyata dari semua yang telah dicapai.
(SUT/LAS/FRO/DNE/AGE/TAN)