Seusai Konferensi Tingkat Tinggi G20 ditutup, Indonesia menggelar pertemuan bilateral dengan China. Kedua pemimpin negara saling mengapresiasi pencapaian kerja sama.
NUSA DUA, KOMPAS Setelah mengakhiri rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Nusa Dua, Bali, Rabu (16/11/2022), Presiden Joko Widodo menggelar pertemuan bilateral dengan Presiden China Xi Jinping. Dalam pertemuan itu, kedua pemimpin mengapresiasi kerja sama yang telah terbentuk dan sepakat untuk memperkuatnya. Bahkan, dalam kesempatan tersebut, Xi siap untuk menjalin komunikasi strategis dengan Presiden Jokowi.
”Saya bersedia melakukan komunikasi strategis secara mendalam dengan Bapak Presiden untuk bersama-sama mendiskusikan bagaimana mengembangkan hubungan bilateral ke depan dan bersama merancang cetak biru pembangunan komunitas senasib sepenanggungan China dan Indonesia,” kata Xi.
Saat menyambut Jokowi, Xi tampak segar dengan senyum terkembang. Ia mengapresiasi presidensi Indonesia di G20. Menurut dia, kepemimpinan Indonesia dalam forum itu menjadi bagian dari upaya memperkokoh tata kelola global, terutama terkait pemulihan ekonomi dunia.
Terkait relasi kedua negara, Xi menyinggung kunjungan Jokowi ke Beijing beberapa bulan lalu. Xi merasa terhormat karena Jokowi adalah kepala negara pertama yang berkunjung ke China setelah pandemi Covid-19 mereda. ”Saya juga memilih Indonesia sebagai negara pertama yang saya kunjungi setelah Kongres Ke-20 Partai Komunis China (PKC). Ini membuktikan kedekatan China-Indonesia dalam hubungan luar negeri negara masing-masing,” kata Xi.
Bagi Xi, kuatnya kerja sama strategis kedua negara menjadi bukti manfaat kerja sama yang saling menguntungkan. Ia berharap, hal itu juga dapat diwujudkan di tingkat regional dan global. ”Ini memberi contoh kepada semua negara berkembang untuk memperkuat kerja sama yang saling menguntungkan,” kata Xi.
Kereta cepat
Membuka pertemuan bilateral itu kepada Presiden Xi dan Presiden Jokowi ditayangkan rekaman video berisi capaian kerja sama bilateral kedua negara. Dalam tayangan itu ditampilkan beberapa wujud konkret kerja sama kedua negara, antara lain di bidang pendidikan, mineral, serta teknologi kesehatan. Salah satu wujud konkret kerja sama yang menarik perhatian publik saat ini adalah kerja sama pembangunan jaringan kereta cepat Jakarta-Bandung.
Dalam tayangan itu ditampilkan uji dinamis Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Dalam uji dinamis itu, kereta dioperasikan oleh dua masinis, yaitu Mu Zhen dan Supriadi.
Kereta inspeksi itu bergerak berlahan dari Stasiun Tegal Luar. Jaringan sepanjang 142,3 kilometer itu merupakan bagian dari kerja sama berbasis Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) yang diinisiasi Xi Jinping serta Poros Maritim Dunia yang diinisiasi Joko Widodo.
Dalam laporannya, Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, saat ini proyek kereta cepat itu telah menuntaskan 80,4 persen pekerjaan. Ditargetkan proyek tersebut tuntas pada Juni 2023. ”Tidak boleh mundur,” kata Luhut.
Pemerintah Indonesia, tegas Luhut, berkomitmen untuk menyelesaikannya, termasuk dengan memberi dukungan finansial dan kebijakan. Ia pun mengundang Presiden Xi Jinping untuk menghadiri peluncuran kereta cepat tersebut.
Dalam sambutannya, Presiden Jokowi juga merujuk pertemuannya dengan Xi di Beijing. Jokowi juga mengucapkan selamat atas terpilihnya kembali Xi Jinping menjadi Sekjen PKC. Sebagaimana Luhut, Jokowi juga optimistis kereta cepat dapat dioperasikan pada Juni 2023. ”Kemajuan kerja sama lainnya telah kita bersama bicarakan,” kata Jokowi.
Presiden juga mengapresiasi kerja sama pengembangan vaksin. China adalah mitra perdagangan terbesar Indonesia dalam sembilan tahun terakhir. Pada semester pertama tahun 2022, realisasi investasi China di Indonesia mencapai lebih dari 3,6 miliar dollar AS. Capaian itu disebutkan naik 100 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2021.
Saat pandemi merebak untuk pertama kali, China adalah mitra yang pertama bergerak membantu Indonesia. Kedua negara lantas mengembangkan kerja sama dalam bidang kesehatan, khususnya vaksin.
Terkait pengembangan vaksin, Indonesia berniat untuk menjadi salah satu hub penyedia vaksin di kawasan.
Hangat
Pertemuan Xi dan Jokowi berlangsung dengan hangat. Keduanya sempat menikmati suasana sore hari dari teras ruang pertemuan di tepi laut.
Dalam pertemuan bilateral itu, Presiden Xi Jinping dan Presiden Joko Widodo menyaksikan penandatangan sejumlah kerja sama, antara lain di bidang teknologi digital dan pusat pengembangan tanaman obat-obatan.
Positif
Pakar kajian China di Badan Riset dan Inovasi Nasional, Hayati Nufuz, menjelaskan bahwa tren kerja sama Indonesia dengan China semakin positif. Dinamika memang ada, tetapi masih di batas kewajaran.
Hal ini tampak dari status hubungan kedua negara dari bilateral yang kemudian meningkat ke mitra strategis dan sekarang menjadi mitra strategis komprehensif. Bagi China, Indonesia penting karena memiliki posisi penting di kawasan Asia Tenggara, berjumlah penduduk besar, dan memiliki hubungan sejarah yang sudah berabad-abad.
Dari hubungan ekonomi, memang masih defisit. Akan tetapi, tren sejauh ini menunjukkan kesenjangan neraca perdagangan ini semakin menyempit. Hubungan di sektor ekonomi sekarang yang paling menyorot perhatian ialah pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Ini pertama kalinya China membuat kereta cepat di luar negeri. Seluruh proyek BRI masih berupa membangun jalur kereta reguler, jalan raya, dan jembatan.
”Proyek ini penting bagi China karena menunjukkan kepada dunia bahwa mereka mempunyai teknologi dan infrastruktur kereta cepat yang tidak kalah dari negara-negara maju. Ini pembuktian sekaligus promosi,” tutur Hayati.
Dalam proses lelang kereta cepat ini, China bersaing dengan Jepang. Mereka menang karena menawarkan harga dan mekanisme yang dianggap oleh Indonesia lebih sesuai, walaupun dalam pelaksanaannya terjadi pembengkakan biaya akibat berbagai faktor domestik, pandemi Covid-19, dan kesalahpahaman di masyarakat.
Hayati menilai, pemerintah belum transparan ataupun bisa menjelaskan secara lugas kepada masyarakat mengenai pola kerja sama Indonesia dengan China. Akhirnya, muncul berbagai dugaan hingga teori konspirasi. Pada saat yang sama, pemerintah semestinya juga menyiapkan landasan hukum beserta aturan turunan kerja sama itu.
”Harus ada pula aturan mengenai kewajiban transfer teknologi dari para pakar China ke Indonesia dalam waktu yang ditentukan agar kita bisa mengoperasikan mekanisme itu sendiri,” kata Hayati.
Suara Indonesia dipertimbangkan karena China menganggap Indonesia penting dan tidak sebatas sebagai pasar. Hal ini tampak dari berkembangnya pusat-pusat kajian Indonesia dan Asia Tenggara di sejumlah perguruan tinggi China. Oleh sebab itu, Indonesia harus memetakan kebutuhan bangsa dari kerja sama dengan China sehingga bisa diturunkan ke cara-cara yang tepat untuk mencapai target yang dimau serta sudah membangun mekanisme untuk menangani berbagai risiko turunan.