Gelombang Unjuk Rasa di Iran Memasuki Bulan Ketiga
Iran kini dalam masa-masa tidak stabil menyusul kematian wanita Kurdi, Masha Amini, di sebuah rumah sakit di Teheran, 16 September 2022.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·5 menit baca
TEHERAN, KAMIS – Iran kini dalam masa-masa yang labil akibat gelombang unjuk rasa menyusul kematian Masha Amini. Wanita Iran keturunan Kurdi itu meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Teheran, 16 September 2022, setelah ditahan polisi moral Iran selama tiga hari. Gelombang unjuk rasa atas kematian Amini, yang belakangan mulai diwarnai hukuman mati terhadap pengunjuk rasa dan aktivis, pun memasuki bulan ketiga, Rabu (16/11/2022).
Dalam dua hari terakhir hingga Rabu kemarin, aksi protes massal yang berujung bentrokan dengan aparat keamanan Iran telah menyebabkan tujuh orang meninggal. Kantor berita Perancis, AFP, melaporkan, kematian tujuh orang itu tidak termasuk enam orang yang menurut pihak berwenang dibunuh oleh pria bersenjata yang menyerang pengunjuk rasa dan polisi, Rabu malam di Khuzestan, Iran barat.
Kekerasan jalanan terjadi di seluruh Iran ketika aksi protes atas kematian Amini meningkat. Dua minggu menjelang akhir Oktober lalu, 244 orang dilaporkan tewas dan 12.516 orang ditangkap, seperti dilaporkan Al Arabya, Jumat (21/10/2022). Saat ini jumlah korban tewas dan yang ditangkap sudah jauh lebih besar. Namun belum ada angka yang pasti.
Kelompok Hak Asasi Manusia Iran (IHR) pada Rabu kemarin melaporkan, pasukan keamanan Iran telah membunuh sedikitnya 342 orang, termasuk 43 anak-anak dan 26 wanita. Otoritas Iran membantah telah membunuh sebanyak itu. Pada 26 Oktober lalu, 13 orang tewas dalam serangan bersenjata yang diklaim oleh kelompok NIIS di Shiraz.
Unjuk rasa dan bentrokan yang mematikan mengingatkan penumpasan pada 15 November 2019, yang dikenal sebagai “Aban Berdarah” atau “November Berdarah”, setelah protes kenaikan harga bahan bakar. Unjuk rasa kembali meledak di seluruh Iran ketika warga masyarakat merayakan tiga tahun “Aban Berdarah”, Selasa (15/11/2022). Dalam dua hari terakhir, belasan orang tewas dalam perstiwa itu.
Peringatan “Aban Berdarah” menjadi momentum baru bagi aksi protes Amini, di mana para wanita membakar jilbab mereka sebagai protes atas pengekangan yang ketat dan berani melawan pasukan keamanan di jalanan. Media pemerintah mengatakan "perusuh" – istilah pejabat Iran untuk menggambarkan pengunjuk rasa – membunuh dua anggota Pengawal Revolusi dan seorang anggota pasukan paramiliter Basij, Selasa.
Kantor berita resmi Iran, IRNA, melaporkan, seorang petugas ditembak mati di Bukan, kota di provinsi asal Amini di Kurdistan. Seorang lainnya ditembak mati di Kamyaran, kota mayoritas Kurdi di Provinsi Azerbaijan Barat. Anggota Basij, paramiliter yang dibentuk di Iran pada tahun 1979 atas perintah Ayatollah Khomeini, meninggal setelah terkena bom molotov di selatan kota Shiraz.
Menurut kelompok HAM Hengaw yang berbasis di Oslo, Norwegia, seorang pengunjuk rasa, Burhan Karmi, tewas pada Rabu (16/11/2022). Dia dibunuh aparat keamanan Kurdistan di depan rumah salah satu dari tiga demonstran yang ditembak mati sehari sebelumnya di Kamyaran, Kurdistan. Karmi tewas menjelang pemakaman pemilik bengkel ponsel Fuad Mohammadi.
Situs Institute for the Study of War (ISW), Selasa (15/11/2022), membarui perkembangan krisis Iran yang dibuat oleh Critical Threats Project (CTP) di American Enterprise Institute. Disebutkan, Koordinator dan organisasi aksi protes telah meminta para pengunjuk rasa untuk tetap menggelar demonstrasi di seluruh Iran hingga Kamis ini. ISW melaporkan, unjuk rasa terjadi di 36 kota di 24 provinsi di Iran. Artinya, ada potensi kekerasan baru.
Pelecehan dan perlakuan buruk rezim terhadap anak-anak, kemungkinan besar merupakan salah satu faktor yang mendorong protes terhadap kematian Amini bertahan lama hingga saat ini. Harian The New York Times menerbitkan sebuah artikel per Senin (14/11/2022), yang merinci pelanggaran HAM terhadap anak-anak dengan memuat wajah 29 dari 50 anak yang disebutkan tewas karena dibunuh aparat Iran.
ISW mengatakan, para pemimpin politik dan keamanan Iran kemungkinan akan mengandalkan penggunaan kekuatan atau kekrasan untuk memadamkan aksi protes yang masih berlangsung. Hal itu seperti yang sudah sering dilakukan dalam memberhangus kebebasan berpendapat, seperti pernah lakukan pada November 2019 dan gerakan protes lainnya sebelumnya.
Otoritas Iran, Minggu (13/11/2022), telah menjatuhkan hukuman mati pertama terkait partisipasi dalam kerusuhan di tengah aksi protes massal menentang kematian Amini. Sebelumnya, pada 29 Oktober, delapan orang didakwa Pengadilan Revolusi Islam, di Provinsi Teheran, dengan kejahatan yang diancam hukuman mati, yaitu "berperang melawan Tuhan" atau moharebeh dan "korupsi di Bumi".
Dua hari kemudian, jaksa Teheran mengumumkan bahwa sekitar 1.000 dakwaan telah diterbitkan sehubungan dengan "kerusuhan" baru-baru ini di Provinsi Teheran saja. Persidangan dijadwalkan di Pengadilan Revolusi Islam untuk kasus-kasus terhadap sejumlah individu. Pengadilan publik akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan.
Pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendesak otoritas Iran untuk berhenti mendakwa orang dengan dakwaan yang dapat dihukum mati karena berpartisipasi, atau diduga berpartisipasi, dalam demonstrasi damai menetang kematian Amini. “Kami mendesak pihak berwenang Iran untuk berhenti menggunakan hukuman mati sebagai alat untuk meredam protes," kata Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB (OHCHR) di Geneva.
OHCHR menyerukan otoritas Iran agar segera membebaskan semua pengunjuk rasa yang telah dirampas kebebasannya secara sewenang-wenang. "Para pengunjuk rasa hanya menjalankan hak sah mereka atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, berserikat dan berkumpul secara damai dan atas tindakan mereka untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar melalui cara-cara damai," kata OHCHR lagi.
Gelombang unjuk rasa yang telah memasuki bulan ketiga, Rabu kemarin, terjadi untuk memprotes kematian Amini menyusul tindakan polisi moral sehingga dia harus dirawat di sebuah rumah sakit di Teheran. Tiga hari setelah dirawat, dia pun meninggal. Amini diduga mendapat perlakukan buruk aparat. Dia ditangkap karena tak memakai jilbab seusai peraturan negara. Kematian Amini memicu unjuk rasa dan juga tindakan keras aparat.
Dalam video yang dibagikan secara luas dan telah diverifikasi oleh wartawan tampak pasukan keamanan menembaki puluhan penumpang di stasiun metro Teheran. Banyak orang yang menjadi korban. Video terverifikasi lainnya menunjukkan anggota pasukan keamanan, termasuk petugas berpakaian sipil, menyerang wanita tanpa jilbab di kereta bawah tanah.
Meski ada tindakan keras aparat, termasuk melancarkan hukuman mati terhadap para pengunjuk rasa dan aktivis, massa demonstran tak ingin surut. “Kami akan terus melawan! Kami siap mati! Kami akan merebut kembali Iran!” demikian nyanyian kerumunan para pengunjuk rasa di sebuah jalan Teheran, dalam video yang diunggah oleh monitor media sosial, 1500tasvir.
Menteri luar negeri Iran, Hossein Amirabdollahian, menuduh Israel dan dinas intelijen Barat berencana untuk memecah belah Iran dan memulai perang. Hal ini disampaikan pada Kamis, sehari setelah tujuh orang tewas di kota barat daya Izeh dalam apa yang disajikan media pemerintah sebagai "serangan teroris".
"Berbagai dinas keamanan Israel dan beberapa politisi Barat yang telah membuat rencana untuk perang saudara, penghancuran dan disintegrasi Iran, harus tahu bahwa Iran bukanlah Libya atau Sudan," cuit Hossein Amirabdollahian. (REUTERS/AFP/AP)