Ada Optimisme soal Peluang Tercapainya Deklarasi Pemimpin di KTT G20
Pertemuan final di tingkat ”sherpa” G20 untuk menyusun draf deklarasi memunculkan harapan bahwa para kepala negara, yang mulai saling berjumpa secara bilateral di Bali, bisa melahirkan deklarasi bersama.
DENPASAR, KOMPAS — Konferensi Tingkat Tinggi G20 diadakan di tengah kecamuk ekonomi global. Negara maju, miskin, dan berkembang sama-sama sedang menghadapi krisis meski dengan wajah dan risiko berbeda. Di tengah gejolak ekonomi dunia itu, tiap negara diperkirakan akan butuh waktu lebih lama untuk menjalankan komitmen yang telah disepakati bersama.
Menjelang hari pertama Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali yang akan dimulai pada Selasa (15/11/2022), ada nuansa optimisme soal arah konsensus dalam deklarasi para pemimpin negara (leaders’ declaration).
Pertemuan final di tingkat sherpa G20 untuk menyusun draf deklarasi memunculkan harapan bahwa para kepala negara, yang mulai saling berjumpa secara bilateral di Bali, bisa melahirkan deklarasi bersama. Semula, potensi lahirnya deklarasi ini sempat diragukan mengingat tingginya tensi geopolitik dunia saat ini.
Baca Juga: Misi Presidensi Indonesia Kembalikan Roh G20
Di luar sikap politik, berbagai program konkret (concrete deliverables) juga sudah lebih dulu berhasil disepakati di berbagai kelompok kerja dan pertemuan tingkat menteri. Kesepakatan itu tinggal diperkuat melalui pernyataan bersama para kepala negara.
Di jalur keuangan (finance track), menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Senin (14/11/2022), negara-negara G20 telah berkomitmen menjalankan enam agenda utama yang diusung. Namun, di tengah kondisi ekonomi global yang sedang terancam memasuki resesi tahun depan, implementasi tiap komitmen itu bisa jadi butuh waktu lebih lama dari yang diharapkan.
”Komitmennya sudah ada, tetapi masalahnya dampak dari krisis saat ini terhadap kondisi ekonomi setiap negara itu berbeda. Maka, penerapannya pasti akan butuh waktu, sesuai kondisi ekonomi domestik di masing-masing negara,” kata Perry dalam wawancara dengan Kompas dan Kompas TV di Denpasar, Bali.
Ia mencontohkan, di jalur keuangan, ada beberapa inisiatif program yang implementasinya akan sangat bergantung pada dinamika di tiap negara. Restrukturisasi utang bagi negara miskin, seperti Chad, Zambia, Etiopia, dan negara rentan lain, melalui skema Common Framework for Debt Treatment, misalnya.
Proses negosiasi memang tidak bisa sehari semalam selesai. Yang jelas, pendekatannya sudah disepakati di bawah presidensi kita.
China selaku salah satu negara peminjam masih memberikan catatan kaki terkait isu ini dalam dokumen Chair Summary yang disepakati pada pertemuan terakhir tingkat menteri keuangan dan gubernur bank sentral (FMCBG) di Washington DC, Oktober lalu.
”Proses negosiasi memang tidak bisa sehari semalam selesai. Yang jelas, pendekatannya sudah disepakati di bawah presidensi kita. Bagaimana aplikasinya di masing-masing negara, itu bergantung pada kondisi negara (yang diutangi) dan investor (yang mengutangi),” tutur Perry.
Baca Juga: Dukungan Positif untuk Lahirnya Deklarasi Bali
Ia juga menyoroti program Resilience and Sustainability Trust (RST) yang berfungsi sebagai jaring pengaman keuangan global bagi negara rentan. Dana untuk program itu sudah mencapai 81,6 miliar dollar AS, yang dimobilisasi dari alokasi kuota negara maju dalam program Hak Penarikan Khusus atau Special Drawing Rights (SDR) oleh Dana Moneter Internasional (IMF).
Dinamis
Komitmen dan mekanisme untuk menjalankan program itu sudah disepakati. Namun, implementasinya akan sangat dinamis. ”Sama dengan kesepakatan soal koordinasi antara fiskal dan moneter untuk mendukung pemulihan ekonomi. Itu pun sangat bergantung pada ruang fiskal dan moneter tiap negara sehingga hasilnya akan berbeda-beda pula,” ujar Perry.
Dalam konteks Indonesia, Perry meyakini ”janji-janji” di jalur keuangan itu bisa diterapkan. Komitmen untuk mendorong koordinasi fiskal dan moneter yang seimbang, misalnya, sudah dilakukan Kementerian Keuangan dan BI terlebih dahulu. Itu sebabnya, saat ini inflasi masih relatif terkendali dan pertumbuhan ekonomi masih bisa menyentuh 5,72 persen pada triwulan III-2022.
Dalam hal program seperti RST, Indonesia ikut menjadi negara yang menyumbangkan alokasi dananya, bukan lagi sebagai penerima dana. ”Tangan kita sudah ada di atas, tidak lagi di bawah, untuk ikut membantu negara yang membutuhkan, terutama di kawasan Afrika,” kata Perry.
Dalam hal pembayaran lintas batas, Indonesia bersama bank sentral empat negara lain di ASEAN, yaitu Filipina, Malaysia, Thailand, dan Singapura (ASEAN 5), juga telah meluncurkan sistem pembayaran digital terintegrasi. Transaksi keuangan di lima negara di ASEAN itu akan lebih cepat karena dapat menggunakan sistem pembayaran cepat (fast payment) dengan memakai kode QR bermata uang lokal.
Baca Juga: G20 dan Inisiatif Pembayaran Lintas Negara
”Kita boleh berbangga karena ketika negara lain baru akan melakukannya di tahun 2027 atau 2028 sesuai kesepakatan di G20, kita berlima sudah memulainya duluan,” ujarnya.
Optimistis
Adapun sejauh ini perkembangan penyusunan deklarasi para pemimpin berlangsung lancar. Dalam pertemuan terakhir tingkat sherpa G20, Minggu (13/11) malam, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso meyakini, KTT G20 akan menghasilkan kesepakatan deklarasi pimpinan.
”Teman-teman sherpa di semua negara sepakat untuk mengupayakan menghasilkan output dokumen atau leaders’ declaration. Itu tujuan utamanya. Ini masih terus berproses, masih ada beberapa hari menjelang puncak KTT, semoga sesuai harapan,” kata Susi yang juga Ketua Sekretariat Gabungan Sherpa Track dan Finance Track G20.
Pertemuan sherpa berjalan dinamis. Susi menuturkan, meski berkomitmen untuk mencari titik temu, tiap delegasi juga bernegosiasi sesuai kepentingan masing-masing di tengah konstelasi geopolitik saat ini. Ia pun menggarisbawahi dua hal penting dari pertemuan sherpa.
Pertama, semua perwakilan sherpa hadir secara fisik di Bali. Kedua, semua sherpa memiliki komitmen yang kuat di tengah fragmentasi saat ini untuk menghasilkan kesepakatan bersama.
Baca Juga: Tak Ada Komunike, Aksi Konkret Pun Jadi
Sinyal optimisme soal hasil KTT juga dilontarkan Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan. ”Jika kita lihat pada konteks G20, saya pikir, Anda bakal melihat kerja intensif dalam 24 hingga 48 jam ke depan, ada niat baik di sisi Amerika Serikat dan para mitra G7 untuk menghasilkan pernyataan atau komunike bersama,” ujarnya menjawab pertanyaan wartawan dalam penerbangan kepresidenan AS menuju Bali, Minggu malam.
”Kami berharap hal itu bisa terjadi. Namun, tentu saja, kita harus lihat bagaimana yang berkembang di ruang negosiasi,” kata Sullivan.
Menurut Susi, kesepakatan yang dibawa Indonesia akan menjadi preseden baik untuk presidensi G20 berikutnya, yaitu India dan Brasil. Apalagi, ketiga negara (Indonesia, India, dan Brasil) sama-sama berstatus negara berkembang sehingga diharapkan bisa terus merepresentasikan kepentingan negara berkembang yang selama ini kerap dipandang sebelah mata.
”Sesuai troika, presidensi suatu negara itu dibantu negara sebelum dan sesudahnya. Tahun depan, troikanya adalah Indonesia, India, lalu Brasil. Semua negara berkembang,” katanya.
Teman-teman sherpa di semua negara sepakat untuk mengupayakan menghasilkan output dokumen atau leaders’ declaration. Itu tujuan utamanya.
Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini, mengatakan, pekerjaan rumah terbesar pemerintah tidak berhenti sampai pada perhelatan KTT G20. Tantangan besar berikutnya terletak pada tindak lanjut pemerintah untuk menerjemahkan komitmen yang diambil di forum tersebut menjadi kebijakan yang konkret, riil, dan inklusif di dalam negeri.
”Tugas kita adalah bagaimana kita harus lebih cerdas untuk menerjemahkan komitmen-komitmen itu, tidak hanya untuk mendukung pemulihan ekonomi global dan berpihak pada negara-negara rentan, tetapi juga menyelesaikan persoalan domestik kita,” tutur Hendri.
Ia menilai, implementasi berbagai komitmen di G20 tidak akan mudah. ”Kondisi setiap negara saat ini berbeda, luka yang ditinggalkan berbeda, risikonya berbeda, memang ini tidak akan mudah,” kata Hendri.