Mendayung Bahtera ASEAN Melewati Badai
KTT ASEAN di Phom Penh menghasilkan sebuah sikap kolektif yang dianggap cukup tegas, meski tidak keras, terhadap junta Myanmar. Sikap serupa ditujukan pada negara-negara mitra strategis. Sebuah upaya keluar dari badai.
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN dalam beberapa tahun terakhir menghadapi tantangan yang tidak mudah. Saat masyarakat global tengah mencoba keluar dari krisis yang dipicu pandemi Covid-19, terjadinya invasi Rusia ke Ukraina ditambah persaingan antara negara-negara adidaya untuk berebut pengaruh di kawasan membuat upaya itu menjadi lebih sulit.
ASEAN merasakan badai yang sama. Tingkat inflasi yang tinggi, situasi kawasan yang “panas” karena perebutan pengaruh negara adidaya di Asia Tenggara, hingga rencana kehadiran kapal selam bertenaga nuklir adalah beberapa tantangan eksternal yang harus dihadapi ASEAN.
Di internal ASEAN, kudeta militer Myanmar menjadi tantangan tersendiri. Keinginan negara-negara anggota ASEAN membantu menyelesaikan persoalan di Myanmar ditampik oleh Tatmadaw (militer Myanmar). Lima poin konsensus (5PC) yang dihasilkan dalam pertemuan para pemimpin ASEAN dan dihadiri pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, bertepuk sebelah tangan. Tatmadaw memilih melakukan caranya sendiri untuk menyelesaikan konflik, termasuk penggunaan kekerasan terhadap warga sipil.
Penantian panjang
Setelah pertemuan para pemimpin ASEAN di Jakarta, 24 April 2021, yang mengundang Jenderal Hlaing hadir di Sekretariat ASEAN, tidak ada perubahan yang signifikan terhadap situasi di Myanmar. Lima poin konsensus yang diharapkan bisa menjadi jalan masuk menyelesaikan konflik di Myanmar, tak mendapatkan respons apik dari Tatmadaw. Junta terkesan menyepelekan “uluran tangan” ASEAN dan memilih jalannya sendiri, didukung mitra-mitranya, termasuk Rusia dan China, dua negara yang memiliki pengaruh kuat di kawasan ini.
Banyak pihak menanti dengan tidak sabar langkah lanjutan yang dilakukan oleh ASEAN. Organisasi berusia 55 tahun ini dinilai sangat lambat bergerak dan terlalu “takut” menghadapi junta.
Baca juga : Para Pemimpin ASEAN Beri Lampu Hijau pada “Pembekuan De Facto” Myanmar
Akan tetapi, beberapa peristiwa terakhir membuat ASEAN tidak menutup mata terhadap tindakan kekerasan dan penghilangan nyawa oleh junta. Mulai dari hukuman mati terhadap sejumlah aktivis prodemokrasi yang ditahan Tatmadaw hingga serangan roket atas sebuah konser musik yang dihadiri puluhan warga sipil. Sebanyak 80 orang tewas dan ratusan lainnya terluka. Seketika itulah ASEAN menyadari bahwa 5PC yang telah disusun bersama, hanya ditaruh di atas tanah dan diinjak-injak oleh Tatmadaw. Upaya secara kekeluargaan tidak berhasil membujuk junta untuk berjalan beriringan dengan ASEAN.
Malaysia telah beberapa kali mendorong organisasi ini untuk bersikap lebih progresif. Bahkan, Pemerintah Malaysia lebih dulu menjalin hubungan dengan Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) Myanmar, yang terdiri dari politisi pendukung Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto negara itu. ASEAN masih malu-malu, walau tekanan dari berbagai pihak semakin keras.
Indonesia juga mendorong hubungan formal dengan oposisi dibuka. Bahkan, perlunya pembukaan jalur komunikasi resmi ASEAN dengan pihak di luar Tatmadaw ditekankan lebih dari satu kali oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat pertemuan khusus para Menlu ASEAN di Jakarta, akhir Oktober. Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kemlu RI Sidharto R Suryodipuro menambahkan, pelibatan tidak memerlukan izin dari junta. “Hal itu sudah tercantum dalam 5PC,” kata Sidarto.
Kekecewaan yang memuncak dan membuat ASEAN semakin gelisah akhirnya terjawab pada KTT ASEAN Ke-40 dan Ke-41 di Phnom Penh, Kamboja, 11-13 November 2022. ASEAN memutuskan bersikap lebih tegas terhadap junta. Bahkan keputusan itu mengarah pada pembekuan de facto Myanmar di organisasia tersebut.
Lebih jauh, poin ke-11 Tinjauan dan Keputusan Pemimpin ASEAN tentang Penerapan Lima Poin Konsensus secara tidak langsung menyebut Angkatan Bersenjata Myanmar sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab terhadap kekerasan atas warga sipil yang terjadi di Myanmar. Angkatan Bersenjata Myanmar, mengutip pernyataan tersebut, adalah kekuatan militer tunggal terbesar di Myanmar.
Pengamat ASEAN di The Habibie Center, Luthfy Ramiz, mengatakan, meski lama dan cenderung terlambat dalam bersikap, pernyataan terakhir para pemimpin ASEAN cukup konstruktif untuk menjembatani penyelesaian konflik di Myanmar. Meski tidak keras, pernyataan secara implisit bahwa Angkatan Bersenjata Myanmar adalah kekuatan militer tunggal di negara itu, menurut Lutfhy, menyiratkan ASEAN meminta Tatmadaw bertanggung jawab atas seluruh tindak kekerasan dan pembunuhan Warga sipil di negara itu.
Selain itu, meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa dan para pihak lain untuk ikut serta dalam menyelesaikan konflik di Myanmar, menurut Luthfy, adalah kesadaran ternyata ASEAN membutuhkan uluran tangan dari pihak luar. “ASEAN belajar bahwa pendekatan yang selama ini digunakan, pendekatan yang lunak dan damai, tidak selalu berhasil. ASEAN telah belajar,” katanya.
Hal itu harus diakui tidak akan mudah. Junta mengingatkan langkah ASEAN telah melanggar prinsip non-intervensi yang selama ini menjadi “penyelamat” mereka. Kementerian Luar Negeri Dewan Pemerintahan Negara (SAC) yang dibentuk Tatmadaw, dalam pernyataannya menyebut tindakan ASEAN untuk melibatkan oposisi dalam menyelesaikan masalah Myanmar tidak bisa diterima.
Luthfy mengatakan, kelenturan diplomasi ASEAN dan utusan khususnya akan menjadi kunci untuk berkomunikasi dengan junta. “Utusan khusus cukup satu dan bisa mengontrol semua tugas dari awal sampai akhir. Ini salah satu kelemahan ASEAN yang harus segera diperbaiki,” katanya.
Baca juga : Seruan Jokowi di KTT ASEAN: Jaga Kemakmuran dan Keamanan Indo-Pasifik
Dinamika kawasan
Dengan jumlah penduduk hampir 1 miliar jiwa, yang dibutuhkan negara-negara ASEAN saat ini adalah kemampuan untuk keluar dari krisis dan kemakmuran bersama. Presiden Joko Widodo, saat berbicara dengan negara mitra stragegis ASEAN pada KTT Asia Timur mengingatkan, negara-negara mitra ASEAN harus bekerja sama dengan organisasi ini untuk memelihara stabilitas dan perdamaian di kawasan.
“Negara mitra ASEAN harus memperkokoh fondasi perdamaian di Indo-Pasifik. Bukan justru menabur benih permusuhan apalagi menabuh genderang perang. Indo-Pasifik jangan hanya dilihat dari perspektif sempit politik keamanan, namun potensi kerja sama ekonominya,” katanya. Kawasan Indo-Pasifik harus menjadi kawasan yang damai, stabil dan sejahtera.
Pernyataan Presiden Joko WIdodo tidak terlepas situasi di kawasan menjadi “lebih hangat” dalam beberapa waktu terakhir. Berdirinya aliansi militer “mini”, seperti AUKUS dan QUAD, telah memicu kekhawatiran baru Bahwa kerja sama Keamanan akan lebih dominan dibandingkan kerja sama ekonomi. Bila ini yang terjadi, dikhawatirkan akan mendorong persaingan tertutup menjadi konflik terbuka dan berakhir pada gagalnya upaya bersama untuk mencapai kemakmuran.
Pernyataan Presiden Joko Widodo mengingatkan kembali bahwa ketegangan yang tercipta di kawasan, termasuk antara China dan Australia, telah merugikan perekonomian Australia dan memaksa mereka mencari pasar baru. ASEAN adalah salah satu kawasan yang dilirik.
Melissa Conley Tyler, mantan Direktur Eksekutif Nasional Insitut Hubungan Internasional Australia, dikutip dari laman The Lowy Insitute mengatakan, rencana kepemilikan kapal selam bertenaga nuklir oleh Australia harus dibarengi dengan dialog lebih dalam dengan ASEAN. Meski kritik sudah mulai berkurang, negara-negara tetangga di kawasan masih membutuhkan keyakinan dan kejelasan mengenai hal itu.
Pemerintah Australia menyadari hal itu. Untuk mengurangi “kegelisahan” negara-negara tetangganya di timur, dalam KTT ASEAN-Australia yang berlangsung bersamaan dengan KTT ASEAN, Australia sepakat dan mendukung implementasi ASEAN Outlook on Indo-Pacific yang dinilai akan memberikan kontribusi bagi perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan.
Sementara dalam pandangan Luthfy, ASEAN harus menuntut agar negara-negara pencetus konflik tidak mendorong mereka untuk memihak. Pada saat yang sama, ASEAN juga harus mengingatkan secara terus menerus bahwa konflik tidak akan membawa kemakmuran di kawasan.