Para Pemimpin ASEAN Beri Lampu Hijau pada “Pembekuan De Facto” Myanmar
Para pemimpin ASEAN menyepakati keputusan untuk memperluas pengucilan Myanmar dari pertemuan-pertemuan ASEAN, mencakup perwakilan nonpolitik. Keputusan ini dapat dipandang sebagai "pembekuan de facto" Myanmar di ASEAN.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI, B JOSIE SUSILO HARDIANTO, LARASWATI ARIADNE ANWAR, PASCAL S BIN SAJU
·6 menit baca
AFP/TANG CHHIN SOTHY
Para pemimpin ASEAN, termasuk Presiden Joko Widodo (atas, tengah), turun dari panggung pada upacara pembukaan KTT ke-40 dan 41 ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, Jumat (11/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS – Para pemimpin Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN sepakat memberikan lampu hijau untuk memperluas pengucilan Myanmar dalam pertemuan-pertemuan ASEAN. Pengucilan Myanmar akan dapat diperluas pada larangan bagi perwakilan nonpolitik menghadiri pertemuan-pertemuan mulai dari tingkat menteri luar negeri hingga konferensi tingkat tinggi "jika memang situasi memerlukannya".
Keputusan terbaru pemimpin ASEAN tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi kepada Kompas, Jumat (11/11/2022). Pengamat menyebut keputusan tersebut tak ubahnya seperti "pembekuan de facto" atas keanggotaan Myanmar di ASEAN.
Retno mengungkapkan, para pemimpin ASEAN sepakat untuk meminta Dewan Koordinasi ASEAN yang beranggotakan para menteri luar negeri ASEAN “mengkaji lebih lanjut (further review) partisipasi Myanmar di semua pertemuan ASEAN jika memang situasi memerlukannya”.
Dengan keputusan tersebut, perwakilan nonpolitik dari Myanmar pun akan dapat dicekal dari seluruh pertemuan tingkat menlu (AMM) maupun kepala negara ASEAN jika situasinya dinilai memerlukan hal itu. “Ini untuk pertama kalinya para pemimpin (ASEAN) menegaskan tidak diizinkannya wakil tingkat politik dari Myanmar untuk berpartisipasi dalam KTT dan AMM,” kata Retno.
“Ini adalah keputusan tertulis pertama… pada tingkat pemimpin yang dikeluarkan oleh ASEAN,” lanjut Retno. Ia mendampingi Presiden Joko Widodo menghadiri KTT ke-40 dan 41 ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, yang berlangsung hingga Minggu (13/11/2022).
Desakan memperluas pengucilan Myanmar itu didorong oleh kubu di ASEAN yang dimotori Presiden Joko Widodo. Seperti dilaporkan kantor berita Associated Press (AP), yang mengutip diplomat yang tak mau disebutkan namanya, Thailand--didukung Kamboja dan Laos--semula menentang usulan Indonesia. Alasan mereka, memperluas pengucilan Myanmar akan sama seperti "pembekuan de facto".
Kepada wartawan di lokasi KTT, Presiden Jokowi menekankan pentingnya kesepakatan yang dicapai oleh para pemimpin ASEAN. Ia menyebut situasi di Myanmar terus memburuk. Indonesia sangat kecewa, kata Presiden. "Situasi di Myanmar tidak boleh menyebabkan ASEAN tersandera," ujarnya, seperti dikutip AP.
Indonesia tahun 2023 akan mendapat giliran menjadi Ketua ASEAN. Penyerahan tongkat keketuaan ASEAN direncanakan akan dilakukan di KTT ini.
AP/ANUPAM NATH
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mendampingi Presiden Joko Widodo saat berbicara kepada awak media di ajang KTT ASEAN di Phnom Penh, Kamboja, Jumat (11/11/2022).
Para pemimpin ASEAN menepis ide untuk membekukan secara penuh keanggotaan Myanmar di ASEAN. Mereka menegaskan, Myanmar "tetap menjadi bagian integral ASEAN".
Para pemimpin ASEAN minus Myanmar, yang saat ini diperintah pemimpin junta militer, berkumpul di Phnom Penh, Kamboja, guna membahas isu-isu kawasan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-40 dan 41 ASEAN.
Salah satu isu yang membelit dan membuat frustrasi para pemimpin ASEAN dalam lebih dari setahun terakhir adalah krisis Myanmar. Negara ini dilanda krisis politik sejak 1 Februari 2021 saat Panglima Tertinggi Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengudeta pemerintahan sipil yang memenangi pemilu, November 2020.
Pada April 2021, para pemimpin ASEAN dan pemimpin junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing menyepakati lima poin konsensus untuk menyelesaikan krisis tersebut. Kelima poin tersebut, antara lain, berisi mengakhiri kekerasan dan permusuhan, mengizinkan akses kepada utusan khusus ASEAN dan bantuan kemanusiaan, serta mengupayakan dialog dengan semua pihak terkait di Myanmar.
Namun, satu tahun lebih berjalan, ASEAN kecewa dan frustrasi terhadap junta Myanmar yang mematuhi lima poin konsensus. Pemimpin junta Myanmar pun telah dikucilkan dengan tidak diundang dalam pertemuan-pertemuan ASEAN. Sebelumnya, ASEAN masih memberi kesempatan pada perwakilan nonpolitik meski Naypyidaw selalu menampik undangan tersebut.
Pembekuan "de facto"
Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dewi Fortuna Anwar menyebut keputusan para pemimpin ASEAN tersebut seperti pembekuan de facto keanggotaan Myanmar di ASEAN. Ia menilai, langkah tersebut bakal berdampak positif dalam upaya penyelesaian krisis Myanmar.
“Implikasi (dari keputusan itu) untuk ASEAN adalah membuat sistem pembuatan keputusan ASEAN yang selama ini dinilai kurang efektif --karena selalu harus berdasarkan konsensus--menjadi lebih efisien,” ujar Dewi. “ASEAN tidak membiarkan institusi ini disandera oleh Myanmar”.
AP PHOTO
Panglima militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing berdiri di atas kendaraan memeriksa pasukan dalam parade Hari Angkatan Bersenjata Myanmar di Naypyidaw, Myanmar, 27 Maret 2021.
“ASEAN bisa lebih leluasa membicarakan dan mengajukan berbagai opsi untuk mengatasi krisis Myanmar ketika Myanmar jadi ‘obyek’, bukan ‘subyek’,” lanjut Dewi.
Lidya Cristin Sinaga, peneliti BRIN yang intens mengamati isu-isu Myanmar, menyebutkan bahwa keputusan pemimpin ASEAN merupakan bagian dari cara ASEAN menekan pemimpin junta Myanmar agar melaksanakan lima poin konsensus. "ASEAN seharusnya tidak terpaku pada lima poin konsensus itu. Saat menjadi ketua ASEAN tahun depan, Indonesia harus membuat perubahan dengan antara lain mencari cara lain (menekan Myanmar)," katanya.
Menurut Lidya, ASEAN akan sangat berhati-hati untuk membekukan keanggotaan Myanmar. "Kawasan regional ini juga butuh Myanmar yang stabil," ujarnya.
Dibahas dua hari
Retno mengatakan, isu Myanmar di KTT ASEAN kali ini langsung dibahas pada pertemuan tingkat menlu, tidak lagi melalui pertemuan tingkat pejabat senior (SOM) seperti biasanya. “Diskusi dilakukan secara terbuka dan intensif,” tuturnya.
“Tidak mudah mencapai konsensus dari keputusan para pemimpin mengenai implementasi lima poin konsensus,” lanjut Retno. “Namun akhirnya, konsensus dapat dicapai.”
Sejauh ini, Malaysia dan Indonesia paling kritis terhadap junta. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Malaysia mengatakan akan ”menyerukan sikap yang lebih tegas oleh ASEAN” pada KTT ini. Kemlu Indonesia pekan lalu mengatakan, junta bertanggung jawab atas kendurnya pelaksanaan lima poin konsensus dan akan memberikan rekomendasi yang lebih kuat pada pertemuan puncak kali ini.
Anggota ASEAN lainnya, seperti Singapura dan Filipina, hanya mendesak perlunya dialog nyata dan kepatuhan junta Myanmar dalam melaksanakan lima poin konsensus.
Namun, junta mengatakan, kurangnya kemajuan penerapan konsensus karena pandemi Covid-19 dan hambatan dari gerakan perlawanan bersenjata yang disebutnya ”teroris”.
AP/LAILY RACHEV, INDONESIAN PRESIDENTIAL PALACE
Pertemuan para pemimpin ASEAN membahas krisis Myanmar di kantor Sekretariat ASEAN, Jakarta, 24 April 2021.
Sejumlah kalangan menilai, tanpa ada keberanian menjatuhkan sanksi kepada junta yang berkuasa di negara itu, ASEAN tidak akan membuat kemajuan dalam penyelesaian krisis Myanmar.
ASEAN memiliki tradisi untuk tidak campur tangan dalam urusan kedaulatan negara anggotanya. Tradisi ini kerap menjadi penghambat ASEAN dalam menangani isu kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia oleh penguasa negara anggotanya.
Empat langkah usulan
Dewi Fortuna mengusulkan empat langkah yang bisa dilakukan dalam upaya penyelesaian krisis Myanmar. Pertama, kursi Myanmar di ASEAN untuk sementara dibiarkan kosong; kedua, ASEAN perlu menjalin kontak langsung dengan kelompok oposisi Pemerintahan Persatuan Nasional (National Unity Government/NUG; ketiga, ASEAN perlu melibatkan Dewan Keamanan PBB dan negara-negara mitra dialog untuk menekan junta militer.
Keempat, ASEAN perlu menunjuk utusan khusus (special envoy) tetap yang tidak dirotasi setiap tahun berdasarkan posisi ketua ASEAN. "Utusan khusus ini diharapkan orang yang berpengalaman dalam memfasilitasi dialog atau mediasi konflik untuk mendorong dialog nasional di Myanmar," jelas Dewi.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Profesor Riset Pusat Penelitian Politik LIPI Dewi Fortuna Anwar
"Penunjukan special envoy yang tetap sangat penting agar yang bersangkutan punya kesempatan untuk mengenal kompleksitas masalah, dikenal oleh para stake-holders dan dapat menggalang kepercayaan (gaining the trust) semua pihak," kata Dewi.
Selama ini, posisi utusan khusus dijabat oleh menlu negara yang memegang keketuaan ASEAN. "Jika special envoy ex-officio dipegang oleh menlu negara yang menjadi anggota ASEAN, yang bersangkutan tidak punya waktu untuk fokus pada tugasnya sebagai spesial envoy," lanjut Dewi.
Melihat kompleksitas krisis Myanmar saat ini, menurut Dewi, utusan khusus ASEAN tersebut harus sabar dan berulang kali harus bertemu dengan pihak-pihak yang bertikai di Myanmar. "Konflik di Myanmar diperkirakan akan memakan waktu lama," ujarnya.
-------
REVISI:
Artikel ini telah mengalami pembaruan dari versi sebelumnya, dengan memperjelas kata "jika memang situasi memerlukannya" pada paragraf pertama dan keempat. Pembaruan ini dilakukan, Jumat, 11 November 2022, pukul 18.30 WIB. Terima kasih -- Redaksi