Krisis Myanmar Jadi Sorotan KTT ASEAN, Timor Leste Diterima Jadi Anggota Ke-11
Di tengah belitan krisis Myanmar yang menjadi sorotan utama dalam pertemuan puncak di Kamboja, para pemimpin ASEAN secara prinsip menyepakati untuk menerima Timor Leste sebagai anggota ke-11 ASEAN.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·6 menit baca
PHNOM PENH, JUMAT — Konferensi Tingkat Tinggi ke-40 dan ke-41 Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau ASEAN, yang dimulai pada Jumat (11/11/2022) ini, didominasi antara lain oleh pembahasan isu eskalasi kekerasan dan kebuntuan politik di Myanmar. Dalam pertemuan tersebut, ASEAN secara prinsip telah menyepakati untuk menerima Timor Leste sebagai anggota ke-11.
Kesepakatan tersebut tertuang dalam pernyataan ASEAN, yang dikutip kantor berita Reuters. Didirikan pada 1967 oleh lima negara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina), ASEAN dalam usianya yang lebih dari 55 tahun terus mengembangkan keanggotaannya. Timor Leste akan menjadi anggota ke-11 ASEAN. Lima negara ASEAN lainnya adalah Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.
”Kami sepakat secara prinsip untuk menerima Timor Leste sebagai anggota ke-11 ASEAN,” demikian pernyataan ASEAN. Ditambahkan, langkah-langkah berikutnya mencakup ”peta jalan menuju keanggotaan penuh” akan diajukan pada KTT ASEAN tahun depan. Tahun depan, Indonesia akan mendapat giliran sebagai Ketua ASEAN.
Dengan posisi saat ini, Timor Leste akan mendapat status pemantau (observer) pada pertemuan-pertemuan tingkat tinggi ASEAN. Keputusan para pemimpin ASEAN menyepakati keanggotaan Timor Leste berlangsung di tengah krisis Myanmar yang melanda organisasi kawasan tersebut.
Sejumlah kalangan menilai, tanpa ada keberanian menjatuhkan sanksi kepada junta yang berkuasa di negara itu, ASEAN tidak akan membuat kemajuan dalam penyelesaian krisis Myanmar. ASEAN memiliki tradisi untuk tidak campur tangan dalam urusan kedaulatan negara anggotanya. Tradisi ini kerap menjadi penghambat ASEAN dalam menangani isu kekerasan atau pelanggaran hak asasi manusia oleh penguasa negara anggotanya.
ASEAN tidak biasa menjatuhkan sanksi ala Barat terhadap anggotanya. Seperti juga terhadap Myanmar, organisasi kawasan itu juga tidak mempunyai tradisi membekukan keanggotaan negara anggotanya.
Dalam pidato upacara pembukaan KTT, Jumat, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen selaku tuan rumah dan pemimpin negara Ketua ASEAN menyerukan untuk bersikap waspada dan bijaksana di tengah masa-masa kekacauan ekonomi dan geopolitik. ”Kita saat ini berada pada titik waktu yang paling tidak menentu. Kehidupan jutaan warga di kawasan kita tergantung pada kebijaksanaan dan pandangan ke depan kita,” kata Hun Sen.
KTT ASEAN kali ini dihadiri sembilan pemimpin negara anggotanya. Penguasa atau junta Myanmar tidak diundang sebagai ”teguran” atas ketidakpatuhannya melaksanakan lima poin konsensus pemimpin ASEAN dalam upaya menyelesaikan krisis di negaranya.
Salah satu isu pelik yang membelit ASEAN dalam beberapa tahun terakhir adalah krisis Myanmar. Belum jelas penyelesaian krisis pengungsi Rohingya, negara itu sudah dilanda kemelut politik menyusul kudeta militer pada 1 Februari 2021. Sejak itu kekerasan bersenjata hingga menelan banyak korban jiwa terus melanda Myanmar.
Pada April 2021, para pemimpin ASEAN dan pemimpin junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing menyepakati lima poin konsensus untuk menyelesaikan krisis tersebut. Namun, satu tahun lebih berjalan, ASEAN kecewa dan frustrasi terhadap junta Myanmar yang mematuhi lima poin konsensus.
Beberapa anggota ASEAN menyalahkan penguasa militer Myanmar karena tidak kunjung mengimplementasikan lima poin yang telah disepakati bersama itu. Kelima poin tersebut, antara lain, berisi mengakhiri kekerasan dan permusuhan, mengizinkan akses kepada utusan khusus ASEAN dan bantuan kemanusiaan, serta mengupayakan dialog dengan semua pihak terkait di Myanmar.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam keterangannya di Phnom Penh, Kamis (10/11), mengatakan, ASEAN sudah melakukan sejumlah tindakan ekstra untuk membantu Myanmar keluar dari kemelut. Sejauh ini, tidak ada hasil konkret (Kompas.id, 11/11/2022).
Kekacauan politik, sosial, dan ekonomi terus melanda Myanmar sejak militer mengudeta pemerintahan sipil terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi, 1 Februari 2021. Junta militer terus menggencarkan represi terhadap warga yang dicap sebagai pembangkang dan mengacaukan agenda reformasi menuju negara demokrasi yang sedang tumbuh.
Perlu tindakan tegas
ASEAN pekan lalu mengulangi komitmennya untuk terus mendorong pelaksanaan lima poin konsensus guna menyelesaikan krisis Myanmar. Beberapa negara, termasuk Indonesia, mendesak perlunya tindakan lebih kuat terhadap junta Myanmar.
Dalam pertemuan antara pemimpin ASEAN dan perwakilan ASEAN Inter-Parliament Assembly (AIPA), Kamis (10/11), Presiden Joko Widodo menyinggung krisis politik Myanmar yang berkaitan erat dengan demokrasi dan situasi kemanusiaan. ”Peran ASEAN untuk menyelesaikannya dinanti rakyat kita dan dunia. Jadi, perlu dapat perhatian khusus parlemen negara ASEAN,” kata Presiden Jokowi.
Sejauh ini, Malaysia dan Indonesia paling kritis terhadap junta. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Malaysia mengatakan akan ”menyerukan sikap yang lebih tegas oleh ASEAN” pada KTT ini. Kemlu Indonesia pekan lalu mengatakan, junta bertanggung jawab atas kendurnya pelaksanaan lima poin konsensus dan akan memberikan rekomendasi yang lebih kuat pada pertemuan puncak kali ini.
Anggota ASEAN lainnya, seperti Singapura dan Filipina, hanya mendesak perlunya dialog nyata dan kepatuhan junta Myanmar dalam melaksanakan lima poin konsensus.
Namun, junta mengatakan, kurangnya kemajuan penerapan konsesus karena pandemi Covid-19 dan hambatan dari gerakan perlawanan bersenjata yang disebutnya ”teroris”.
Perpecahan internal
James Crabtree, Direktur Eksekutif International Institute for Strategic Studies-Asia, mengatakan bahwa ASEAN juga sedang berupaya mengatasi perpecahan internal atas Myanmar dan masalah lainnya. ”Baik Kamboja, ketua petahana, atau Indonesia tahun depan, perpecahan itu tak akan hilang. Mungkin hal itu akan terus melemahkan kemampuan ASEAN untuk menekan junta Myanmar,” katanya.
ASEAN memiliki tradisi untuk tidak campur tangan dalam urusan domestik anggota. Organisasi tersebut juga tidak mempunyai tradisi mencoret keanggotaan negara di kawasan. Hal ini berbeda dengan beberapa organisasi kawasan lain, seperti blok Uni Afrika, yang mengucilkan anggotanya untuk sementara waktu jika tidak selaras dengan organisasi tersebut.
Akibat tidak ada tekanan sanksi yang kuat dari ASEAN, junta Myanmar terus berupaya menyingkirkan pihak-pihak penentangnya yang dicap sebagai ”teroris”. Beberapa waktu lalu, junta mengeksekusi beberapa aktivis prodemokrasi dan melancarkan serangan udara di lokasi konser di Kachin, yang menewaskan hingga 80 orang. Junta berdalih wilayah itu merupakan basis separatis atau kelompok perlawanan.
Seorang diplomat Barat yang akan menghadiri KTT mengatakan, meski ASEAN telah berupaya membuat rencana perdamaian di Myanmar dengan lebih berorientasi pada aksi, tetap hanya ”sedikit kemajuan yang diharapkan”. Perdana Menteri Kamboja selaku Ketua ASEAN Hun Sen telah berulang kali membuat tawaran kepada pemimpin junta, Jenderal Min Aung Hlaing, untuk bekerja sama.
Perlu intervensi ASEAN
Namun, seorang pejabat senior Kamboja dan penasihat Hun Sen mengatakan, upaya tersebut hanya menghasilkan pencapaian yang terbatas. Namun, dia juga segera menambahkan bahwa ”pada akhirnya, tanpa intervensi ASEAN, Myanmar bisa jauh lebih buruk”.
Para pemimpin dunia telah mengecam keras dan memberikan sanksi kepada junta Myanmar. Salah satunya adalah Presiden AS Joe Biden, yang bakal hadir dalam KTT ASEAN kali ini. Negara-negara mitra dialog ASEAN, yang juga menjadi sahabat Myanmar, seperti Rusia dan China, masing-masing mengirim Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov (Rusia) dan Perdana Menteri Li Keqiang (China). Sejumlah pengamat memperkirakan, KTT pekan ini akan menjadi pertemuan yang sulit.
MediaKhmer Times, Jumat (11/11), melaporkan, Hun Sen mengatakan, dengan berpegang pada prinsip-prinsip sistem perdagangan multilateral dan meningkatkan liberalisasi perdagangan akan mempromosikan ASEAN sebagai kawasan yang terbuka, transparan, dan inklusif. Prospek ekonomi global masih rapuh dan rawan krisis baru.
Pada pembukaan ASEAN Business and Investment Summit 2022 di Phnom Penh, Kamis, Hun Sen mengatakan, ASEAN menghadapi tantangan baru dan semakin kompleks. Tantangan itu terjadi silih berganti dalam aspek ekonomi, sosial, lingkungan, dan geopolitik meskipun krisis Covid-19 telah berkurang secara signifikan di tingkat global.
”Dalam hal ini, ASEAN harus terus berpegang pada prinsip-prinsip sistem perdagangan multilateral dan meningkatkan liberalisasi perdagangan untuk mempromosikan ASEAN sebagai kawasan yang terbuka, transparan, dan inklusif dengan tetap menjaga ’Sentralitas’ dan ’Kesatuan ASEAN’ dalam membangun hubungan global dan regional,” tutur Hun Sen. (REUTERS/AFP/SAM)