G20 sejatinya adalah forum yang dibentuk untuk menyikapi krisis finansial global 2007-2008. Di tengah multikrisis dan tensi geopolitik yang meruncing saat ini, G20 diharapkan bisa kembali memainkan peran tersebut.
Oleh
AGNES THEODORA,
·5 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat wawancara khusus dengan Kompas di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (8/11/2022). Wawancara terkait pelaksanaan puncak acara G20 yang akan berlangsung minggu depan.
JAKARTA, KOMPAS – Di tengah menajamnya tensi geopolitik saat ini, presidensi Indonesia berupaya mengembalikan G20 ke hakikatnya sebagai forum untuk menjawab berbagai masalah global. Dalam KTT G20 di Bali, pekan depan, para pemimpin negara anggota diharapkan bisa mengesampingkan perbedaan untuk menyepakati solusi atas multikrisis yang melanda dunia.
Saat ini, dunia tengah menghadapi krisis bertubi-tubi, dari efek luka bekas (scarring effect) akibat pandemi Covid-19, ketegangan geopolitik yang menajam dan berimbas pada ancaman krisis pangan dan energi, tantangan perubahan iklim, serta transformasi digital.
“Kerja sama yang utama di bidang ekonomi dan non-ekonomi menjadi prasyarat untuk dunia bisa maju bersama. Kita berharap di Bali nanti, para pemimpin dunia dapat bersepakat dan merumuskan kerja sama yang baik untuk menyelamatkan dunia dari krisis,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam wawancara khusus dengan Kompas di Jakarta, Selasa (8/11/2022).
Ia mengingatkan, G20 sejatinya adalah forum yang dibentuk untuk membahas masalah dunia. G20 pertama kali berembuk di tengah krisis finansial global pada tahun 2007-2008. Ketika para pemimpin dunia berkumpul saat itu, berbagai solusi dan langkah reformasi untuk mengatasi krisis keuangan dunia bisa dimunculkan.
Di tengah multikrisis saat ini, G20 diharapkan bisa kembali memainkan peran itu. Di satu sisi, kondisi ekonomi Indonesia saat ini sejatinya terjaga baik. BPS menyebutkan, ekonomi Indonesia pada triwulan III-2022 tumbuh 5,72 persen secara tahunan. Namun, di sisi lain, menurut Sri Mulyani, Indonesia tak akan tinggal diam di tengah kondisi dunia sekarang.
Dalam KTT G20 yang akan digelar di Bali pada 15-16 November 2022 nanti, Indonesia sebagai presidensi tetap mengupayakan adanya konsensus bersama dalam bentuk deklarasi para pemimpin negara (leaders’ declaration) untuk menyikapi krisis saat ini.
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN - LAILY RACHEV
Presiden Joko Widodo meninjau secara langsung sejumlah tempat yang akan dijadikan lokasi penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, Selasa (8/11/2022).
“Kita masih berharap presidensi Indonesia tetap memunculkan deklarasi yang disepakati di level kepala negara, untuk memberi keyakinan bahwa dunia masih punya mekanisme untuk menghadapi persoalan global yang rumit saat ini,” kata Sri.
Kalaupun ada ketidaksepahaman antarnegara anggota, ia menilai hal itu masih bisa dikelola dengan baik. “Itu bukan sesuatu yang baru, karena selama 11 bulan terakhir ini, semua negara sudah tahu posisi masing-masing. Kita seharusnya bisa agree to disagree (soal isu geopolitik) tanpa merusak kerangka kerja sama yang sudah disepakati,” ujarnya.
Indonesia sebagai presidensi tetap mengupayakan adanya konsensus bersama dalam bentuk deklarasi para pemimpin negara ( leaders’ declaration) untuk menyikapi krisis saat ini.
Tidak mudah
Hal itu tidak mudah di tengah tensi geopolitik yang meruncing. Berbagai pertemuan di tingkat kelompok kerja dan menteri negara anggota G20 selama 11 bulan terakhir pun tidak berhasil mencapai komunike atau konsensus bersama akibat polarisasi yang tajam itu.
Pertemuan tingkat menteri keuangan dan bank sentral negara G20 atau Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBG) yang keempat di Washington DC, Amerika Serikat, pertengahan Oktober lalu, telah melahirkan dokumen Chair Summary yang terbagi menjadi dua bagian.
Bagian Pertama (Part I) berisi sikap sejumlah negara terhadap situasi ketegangan geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina dan efek rambatannya ke perekonomian global. Bagian ini tidak berhasil disepakati bersama oleh semua negara anggota, sehingga membuat forum itu tidak bisa melahirkan konsensus atau komunike bersama.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Umat Hindu melaksanakan ritual Tumpek Landep di Candi Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Sabtu (5/11/2022). Ritual ini digelar untuk mengajak para umat mempertajam pikiran agar berbagai persoalan dapat diatasi dengan tepat, baik, dan benar. Selain mendoakan seluruh isi semesta, kegiatan ini juga diisi antara lain dengan doa bersama untuk memohon kelancaran penyelenggaraan KTT G20 di Bali pada pertengahan bulan ini.
Sementara itu, Bagian Kedua (Part II) berisi rangkuman sikap negara anggota untuk menjalankan beragam inisiatif aksi dan program konkret (concrete deliverables) di berbagai isu lewat jalur keuangan dan kerja sama ekonomi.
Menurut Sri, hampir semua poin di Bagian Kedua Chair Summary dapat disepakati. Hanya satu catatan yang tersisa dari China terkait bantuan restrukturisasi utang bagi negara miskin dengan melanjutkan skema Common Framework for Debt Treatment yang ada sejak presidensi Itali.
“Tapi, secara umum, semua sudah disepakati. Lepas dari perdebatan masalah politik yang masih keras, negara-negara G20 setuju untuk menjaga ekonomi dunia. Ini yang akan didorong ke KTT dan menjadi bagian dari deklarasi pemimpin,” katanya.
Pertemuan bilateral selama KTT juga akan ikut menentukan arah sikap politik tiap negara. “Rapat-rapat bilateral itu akan jadi ruang untuk memunculkan kesepakatan, atau setidaknya menghilangkan perbedaan dan kesalahpahaman dulu. Lebih baik lagi kalau bisa menghasilkan inisiatif kerja sama,” katanya.
Selain bantuan restrukturisasi utang bagi negara rentan, beberapa inisiatif aksi konkret lain yang dilahirkan lewat jalur keuangan (finance track) antara lain program tanggap ketahanan pangan untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan dengan total nilai 60,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 944 triliun yang akan disalurkan lewat bank pembangunan multilateral.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Spanduk bertemakan Presidensi G20 Indonesia terlihat di kawasan Karet Tengsin, Jakarta, Minggu (23/10/2022). Indonesia sudah memimpin G20 sejak 1 Desember 2021 dengan menggelar sejumlah pertemuan. KTT G20 akan berlangsung di Bali pada 15-16 November 2022 di tengah ketegangan geopolitik dan ancaman resesi global tahun depan.
Ada pula program pembiayaan untuk mengantisipasi krisis kesehatan yaitu Financial Intermediary Fund (FIF) atau Dana Pandemi (Pandemic Fund) dengan total komitmen 1,4 miliar dollar AS untuk memperkuat arsitektur kesehatan global. Indonesia ikut menyumbang dana sebesar 50 juta dollar AS ke program tersebut.
Dalam menghadapi krisis energi, negara-negara G20 juga menyepakati skema pembiayaan transisi energi yang bertahap dan adil bagi negara berkembang melalui Country Platform for Energy Transition Mechanism for a Just and Affordable Transition.
Lepas dari perdebatan masalah politik yang masih keras, negara-negara G20 setuju untuk menjaga ekonomi dunia.
Manfaat
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat, di luar jalur keuangan, ada 226 proyek inisiatif kerja sama yang disepakati oleh forum secara multilateral dan bilateral di sektor infrastruktur kesehatan global, transformasi digital, transisi energi, dan lain-lain.
Dari jumlah tersebut, terdapat 14 proyek inisiatif di mana Indonesia ikut menjadi pengusul, ikut bekerja sama, ikut mendapat manfaat, atau berlokasi di Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, presidensi G20 mampu menghasilkan 140 proyek kerja sama bilateral dengan total nilai 71,49 miliar dollar AS untuk Indonesia. Itu terdiri dari 99 proyek investasi atau hibah senilai 60,7 miliar dollar AS, 11 proyek pembiayaan atau pinjaman senilai 10,79 miliar dollar AS, dan 31 proyek yang tidak bernilai kuantitatif, namun memiliki nilai strategis bagi Indonesia.
Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar B Hirawan berharap, presidensi Indonesia mampu menghidupkan kembali pentingnya kerja sama ekonomi internasional yang lebih inklusif, khususnya bagi negara miskin dan berkembang yang selama ini terpinggirkan dari isu-isu yang diangkat di forum G20.
“Jangan sampai negara-negara terbelah dan terlena dalam populisme atau nasionalisme sempit yang hanya mementingkan solusi untuk masalah domestik mereka saja. G20 harus kembali menggaungkan lagi pentingnya kerja sama ekonomi internasional, kembali ke makna awal dibentuknya G20,” ujar Fajar.