Putin Goda Erdogan untuk Gulirkan Opsi Pasok Kembali Gas ke Eropa Via Turki
Presiden Rusia Vladimir Putin mengajak Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk menjadikan Turki sebagai hub pasokan gas Rusia ke Eropa. Ini setelah pasokan via Nord Stream 1 dan 2 terhenti menyusul perang di Ukraina.
ASTANA, KAMIS – Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa negaranya siap memasok kembali gas ke Eropa melalui jaringan pipa Nord Stream 2 melalui Jerman. Pilihan lainnya adalah menjadikan Turki sebagai pusat pasokan gas untuk kawasan Eropa.
Tawaran Putin tersebut disampaikannya saat berbicara pada Forum Energi Moskwa, Rabu (12/10/2022), dan pada kesempatan terpisah saat bertemu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di sela forum regional di Astana, Kazakhstan, Kamis (13/10/2022).
“Kami dapat memindahkan volume yang hilang dari Nord Stream di sepanjang dasar Laut Baltik ke wilayah Laut Hitam. Dengan demikian, rute utama untuk pasokan bahan bakar kami, gas alam kami ke Eropa melalui Turki, menciptakan pusat (hub) gas terbesar untuk Eropa di Turki," kata Putin.
"Itu, tentu saja, jika mitra kami tertarik dengan ini. Dan kelayakan ekonomi, tentu saja,” ujarnya menambahkan.
Baca juga : Eropa Bersiap Hadapi Cekikan Total Rusia dalam Pasokan Energi
Tawaran memasok gas ke Eropa melalui Turki kembali diangkat Putin saat bertemu Erdogan di Astana, Kazakhstan. Dengan opsi itu, gas Rusia akan dialirkan melalui jalur pipa gas Turk Stream di bawah Laut Hitam sebelum dikirim ke Eropa.
"(Hub gas di Turki) akan menjadi platform bukan hanya untuk pasokan, tetapi juga untuk menentukan harga, karena ini isu yang sangat penting," kata Putin kepada Erdogan. "Hari ini harga-harga telah meroket. Kita bisa dengan mudah mengatur (harga itu) pada tingkat harga pasar tanpa ada gangguan politik."
Dalam bagian pertemuan yang disiarkan televisi, Erdogan tidak merespons tawaran Putin. Meski demikian, menurut Jubir Kremlin Dmitry Peskov yang dikutip kantor berita Rusia, RIA, menyebutkan bahwa kedua pemimpin memerintahkan pembahasan cepat dan lebih detail mengenai ide yang dilontarkan Putin.
Sebelum invasi ke Ukraina, 24 Februari 2022, Rusia memasok sekitar 40 persen gas Eropa. Namun, Moskwa memangkas drastis pasokan tersebut dengan dalih masalah teknis yang disebutkan sebagai akibat sanksi Barat kepada Rusia. Eropa menuding Moskwa menggunakan komoditas energi sebagai senjata.
Sehari sebelum melontarkan opsi pasokan gas via Turki, Putin juga menyampaikan tawaran memasok gas melalui jalur pipa Nord Stream 2 di bawah Laut Baltik. Jalur ini belum pernah digunakan. Jerman memutuskan penghentian rencana operasional Nord Stream 2 menyusul invasi Rusia ke Ukraina, 24 Februari 2022.
Putin, yang baru saja berulang tahun ke-70, mengatakan bahwa salah satu jaringan pipa Nord Stream 2 memiliki tekanan yang cukup dan telah siap digunakan. Kini, kapasitas gas yang bisa dialirkan mencapai 27 miliar meter kubik per tahun.
Putin juga mengatakan, jika pemeriksaan membuktikan bahwa jalur pipa Nord Stream 2 dinyatakan aman untuk beroperasi, mereka siap untuk mengalirkan gas ke Eropa secepatnya.
Putin juga mengatakan, negaranya tidak akan mengirim gas melalui pipa jaringan Nord Stream 2 ke negara-negara yang memberlakukan kebijakan pembatasan harga (price cap) pada produk minyak Rusia. “Kami tidak akan memasok energi ke negara-negara yang akan merugikan kami. Saya ingin memperingatkan mereka,” kata dia.
Namun, Jerman menolak proposal Putin tersebut. Juru bicara Pemerintah Jerman Christiane Hoffman mengatakan, mereka menilai bahwa Rusia tidak bisa dianggap sebagai pemasok gas andalan bagi negara tersebut. “Jadi bagi kami, tidak ada alasan untuk percaya bahwa itu akan berubah,” katanya.
Baca juga : Tagihan Listrik Warga Inggris dan Jerman Membengkak
Ditanya apakah dia akan mengesampingkan penggunaan Nord Stream 2, Hoffmann menjawab: "Ya."
Perusahaan gas Rusia, Gazprom, sejak pertengahan Juni 2022 telah memangkas pasokan gas dari Rusia ke Jerman, yang dikirim melalui jaringan piga Nord Stream 1 sebesar 60 persen. Pada saat yang sama, mereka juga memangkas pasokan ke Italia, Austria, Ceko, dan Slowakia.
Baca juga : Pasokan Gas Rusia Dikurangi, Eropa Ketar-ketir Hadapi Musim Dingin
Pasokan gas kembali dikurangi menjadi tinggal 20 persen dari kapasitas semula satu bulan kemudian. Awal September, pasokan gas berhenti total.
Negara-negara Eropa, terutama Jerman, menjadi konsumen utama gas Rusia. Selain untuk kebutuhan industri dan komersial, gas menjadi bagian dari proses transisi energi Jerman dan negara-negara Eropa dari energi fosil ke energi baru terbarukan.
Akan tetapi, berkurangnya pasokan gas telah membuat harga energi melonjak drastis tidak hanya di Eropa, tetapi juga di seluruh dunia. Hal ini terjadi karena Eropa mencari sumber pemasok baru bagi kebutuhan gas mereka setelah Uni Eropa mensyaratkan agar masing-masing negara memenuhi persediaan gas mereka untuk musim dingin paling tidak 80 persen. Situasi ini mendorong kenaikan angka inflasi dan berujung pada tertekannya daya beli masyarakat. Di 27 negara Uni Eropa, tagihan gas lebih tinggi 90 persen dibandingkan tahun lalu.
Turki berhati-hati
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Energi Turki Fatih Donmez menyatakan bahwa gagasan yang disampaikan Putin itu baru baginya. Akan tetapi, Pemerintah Turki harus mendiskusikannya lebih dulu.
"Ini baru pertama kali kami dengar. Jadi masih terlalu dini untuk melakukan penilaian," kata Donmez. "Secara teknis, memungkinkan," ujar Donmez, seperti dikutip kantor berita Anadolu. "Untuk proyek-proyek internasional seperti itu, evaluasi teknis, komersial, dan hukum, serta studi kelayakan perlu dilakukan."
Turki, negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), memiliki ketergantungan pada Rusia terkait kebutuhan energi dan turisme. Ankara mengritik Moskwa atas invasi ke Ukraina, tetapi tidak ikut-ikutan AS dan Eropa menjatuhkan sanksi pada Rusia.
Baca juga : Manuver Permainan Abu-abu Turki dalam Perang Rusia-Ukraina
Turki tetap menjalin hubungan dekat dengan Rusia maupun Ukraina, serta memosisikan diri sebagai mediator antara dua negara itu. Belum lama ini Ankara memediasi kesepakatan penting yang memungkinkan Ukraina kembali mengekspor gandumnya dan menjadi perantara dalam pertukaran tawanan antara Moskwa dan Kyiv.
CEO Gazprom Alexei Miller juga mendukung opsi via Turki itu. "Mengenai hub, tidak ada keraguan bahwa kami dapat mempertimbangkan masalah platform perdagangan di perbatasan Uni Eropa dan Turki," kata Miller.
Kepala lembaga London Energy Club, Mehmet Ogutcu, menyebut Turki menjadi satu-satunya opsi bagi Putin terkait pasokan gas Rusia ke Eropa. "Putin berada dalam situasi keputusasaan. Nord Stream 1 dan 2 tidak berfungsi dan sepertinya tidak akan beroperasi dalam jangka waktu panjang," katanya.
"Eropa telah menegaskan, mereka tidak akan mau terlibat (dengan Rusia) selama perang di Ukraina masih berlangsung," lanjut Ogutcu. "Turki menjadi satu-satunya opsi yang tersedia bagi Putin."
Menurut Ogutcu, Turki akan bertindak secara hati-hati. Di satu sisi negara itu juga tak mau terlalu tergantung pada Rusia. "Ada langkah (Turki) menjaga keseimbangan. Jika pendulum itu terlalu condong ke Rusia, hal itu akan merusak hubungan (Ankara) dengan Barat," jelas Ogutcu.
"Ini adalah upaya lain Rusia untuk menjadikan gas sebagai alat geostrategis guna melemahkan negara-negara UE dan NATO," ujar Simone Tagliapietra, pakar kebijakan energi pada lembaga think tank, Bruegel, di Brussels, Belgia.
Rusia "menggoda Turki untuk menjadi hub energi, incaran strategis negara itu sejak lama, selain berupaya menciptakan keterbelahan baru di kalangan negara-negara Eropa," lanjut Tagliapietra.
Melirik Afrika
Tak mau menggantungkan diri dari gas Rusia, Eropa berjibaku untuk mencari pemasok baru kebutuhan energinya. Para pemimpin Eropa telah berbondong-bondong datang ke negara-negara, seperti Norwegia, Qatar, Azerbaijan, dan beberapa negara di Afrika Utara, dalam mengupayakan sumber baru pasokan gas. Di Afrika Utara, Aljazair memiliki pipa yang mengalir ke Italia dan satu lagi ke Spanyol.
Italia menandatangani kesepakatan gas senilai 4 miliar dollar AS dengan Aljazair pada Juli, sebulan setelah Mesir mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa dan Israel untuk meningkatkan penjualan gas alam cair (LNG). Angola juga telah menandatangani kesepakatan gas dengan Italia.
Saat ini Aljazair bersama Mesir menjadi pemasok utama gas ke Eropa dari Afrika. Tahun ini, Aljazair diperkirakan mampu mengirim gas ke Eropa sebesar 31,8 miliar meter kubik.
Akan tetapi, menurut Tom Purdie, analis gas Eropa, Timur Tengah, dan Afrika pada S&P Global Commodity Insights, tingginya kebutuhan Eropa dikhawatirkan akan berdampak pada ketersediaan energi di dalam negeri.
Baca juga : Warga Eropa di Antara Dua Pilihan: Penghangat atau Makanan?
Purdie mencontohkan Mesir, yang saat ini membutuhkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhannya, terpaksa mengalihkan 15 persen penggunaan domestiknya untuk diekspor. Pembatasan penggunaan energi domestik untuk dijual ke Eropa menghasilkan uang setidaknya 450 juta dollar AS per bulan.
Sekarang dikabarkan sebuah proyek gas alam cair baru di lepas pantai barat Afrika menarik minat Polandia dan Jerman. Ladang gas yang berlokasi di dekat pantai Senegal dan Mauritania itu dikabarkan memiliki kandungan gas sebesar 15 triliun kaki kubik gas. Akan tetapi, produksi baru akan dimulai pada akhir 2023 mendatang. (AP/REUTERS)
------
REVISI:
Ada revisi dari versi sebelumnya di paragraf ke-12 dengan menambahkan kata "tidak akan" pada kalimat "Putin juga mengatakan, negaranya tidak akan mengirim gas melalui pipa jaringan Nord Stream 2 ke negara-negara yang memberlakukan kebijakan pembatasan harga (price cap) pada produk minyak Rusia." Revisi dilakukan pada Jumat, 14 Oktober 2022, jam 15.20 WIB. Terima kasih -- Redaksi