Teka-teki Ledakan di Jembatan Crimea dan Pergantian Komandan Perang Rusia
Belum ada pihak yang mengklaim bertanggung jawab atas insiden ledakan di Jembatan Crimea, penghubung daratan Rusia-Semenanjung Crimea. Tudingan mengarah ke Kyiv. Namun, masih jadi pertanyaan, bagaimana hal itu dilakukan.

Kobaran api dan asap tebal melanda sebagian Jembatan Crimea yang menghubungkan daratan Rusia dengan Semenanjung Crimea di atas Selat Kerch, Crimea, Sabtu (8/10/2022).
KYIV, MINGGU — Ledakan besar menghantam jembatan vital penghubung daratan Rusia dan Semenanjung Crimea, Sabtu (8/10/2022). Beberapa jam kemudian, Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan pergantian komandan perang yang memimpin serangan Rusia ke Ukraina.
Itulah dua peristiwa yang menjadi sorotan banyak kalangan pada akhir pekan ini. Sampai Minggu siang, belum ada pihak yang mengklaim tanggung jawab atas insiden tersebut. Belum pula diketahui secara pasti, bagaimana ledakan di jembatan simbol klaim Rusia atas Crimea itu terjadi.
Begitu juga, mengapa Moskwa belakangan semakin sering mengganti pejabat senior militernya. Hanya berselang beberapa jam setelah insiden ledakan di Jembatan Crimea, seperti dilansir kantor berita TASS, Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan penunjukan Jenderal Sergey Surovikin sebagai komandan pasukan gabungan dalam serangan ke Ukraina.
Baca juga : Setelah Beruang Merah Terpukul
Media-media Barat umumnya mempertautkan dua peristiwa tersebut dengan serangkaian kekalahan yang dialami pasukan Rusia dalam beberapa pertempuran di Ukraina. Terkait ledakan di Jembatan Crimea, kantor berita Reuters, misalnya, menyebutkan bahwa ”kerusakan pada struktur sepenting (Jembatan Crimea) itu terjadi di tengah kekalahan-kekalahan Rusia dalam pertempuran dan dapat membayangi upaya Kremlin memastikan ulang bahwa konflik akan berjalan sesuai rencana”.
Belum diketahui secara pasti, apakah insiden ledakan tersebut merupakan serangan yang disengaja. Jembatan Crimea, atau disebut juga Jembatan Kerch, terbentang sepanjang 19 kilometer di atas Selat Kerch antara Laut Hitam dan Laut Azov. Jembatan itu menjadi satu-satunya penghubung langsung antara Rusia dan Semenanjung Crimea. Semenanjung ini semula adalah wilayah otonomi Ukraina, tetapi direbut oleh Rusia tahun 2014.
Jembatan terpanjang di Eropa itu kerap dipandang sebagai simbol klaim Rusia terhadap Crimea. Dibangun dengan biaya 3,6 miliar dollar AS, Jembatan Crimea diresmikan Presiden Rusia Vladimir Putin tahun 2018. ”Konstruksi terbesar abad ini,” demikian antara lain media Rusia mengelu-elukan jembatan tersebut kala itu.
TASS melaporkan, ledakan berasal dari sebuah truk, yang apinya menjalar ke rangkaian gerbong tangki bahan bakar yang melaju di jalur terpisah, pukul 06.07 waktu setempat. Ada 59 gerbong dalam rangkaian kereta yang melaju ke arah Semenanjung Crimea itu, tujuh di antaranya terbakar.
Menteri Kedaruratan Rusia Alexander Kurenkov mengatakan, pekerja berupaya memisahkan tujuh tangki minyak yang terbakar itu agar kebakaran tidak menjalar ke 52 gerbong lainnya. Akibat ledakan tersebut, dua jalur jembatan menuju ke timur ambruk ke laut.

Bagian jembatan yang ambruk di Jembatan Crimea, penghubung antara daratan Rusia dan Semenanjung Crimea, akibat ledakan sebuah truk di atas Selat Kerch, Crimea, Sabtu (8/10/2022).
Belum ada pihak yang mengklaim tanggung jawab atas insiden tersebut. Ketua parlemen Rusia menuding Kyiv sebagai pelakunya, tetapi Moskwa tidak melontarkan tudingan tersebut. Pemerintah Ukraina tidak mengeluarkan pernyataan klaim tanggung jawab terkait ledakan di Jembatan Crimea. Namun, Kyiv tidak menutupi bahwa mereka merayakan insiden tersebut.
”Selamat ulang tahun, Presiden”
Tanpa merujuk pada insiden ledakan di Jembatan Crimea, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dalam pidato melalui video, Sabtu, mengemukakan pernyataan dalam nada simbolik. Ia menyebut cuaca di Crimea berawan. ”Namun, betapa pun cuaca berawan, rakyat Ukraina tahu.., masa depan kami cerah,” katanya.
”Ini adalah masa depan tanpa penjajah di wilayah teritorial kami, terutama di Crimea,” ujar Zelenskyy, yang juga menjabat Kepala Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional Ukraina itu. Melalui media sosial, ia mengunggah video Jembatan Crimea yang ditampilkan bersama video penyanyi Marilyn Monroe melantunkan lagu, ”Happy Birthday, Mr President”.
Baca juga : Putin Resmikan "Penggabungan" Empat Provinsi Ukraina
Itu sindiran tajam dan sarkastik kepada Putin, yang berulang tahun ke-70 pada Jumat (7/10/2022). Sejak perang Ukraina-Rusia meletus mulai 24 Februari 2022, sejumlah pejabat Ukraina beberapa kali melontarkan sinyal bahwa mereka ingin menghancurkan Jembatan Crimea. Kyiv menyatakan, lantaran perannya yang strategi dalam mendukung serangan Rusia ke Ukraina, jembatan itu dianggap sebagai target yang sah untuk diserang.
”Tidak diragukan, kita menyaksikan permulaan dari proses kejadian negatif berskala besar di Rusia,” tulis Mykhailo Podolyak, penasihat Zelenskyy, dalam sebuah pernyataan. ”Crimea, jembatan, barulah sebuah awal,” lanjutnya.

Foto citra satelit yang dirilis Maxar Technologies, Sabtu (8/10/2022), ini memperlihatkan bagian Jembatan Crimea yang rusak dan ambruk akibat ledakan sebuah truk.
Sementara ini Ukraina tidak mengaitkan aktivitas militernya pada ledakan di jembatan tersebut. Meski demikian, bulan lalu mereka mengklaim bertanggung jawab atas serangkaian serangan udara di Crimea, termasuk serangan di pangkalan militer Rusia di Saky.
Badan layanan pos Ukraina mengumumkan akan mengeluarkan prangko untuk mengenang ledakan di Jembatan Crimea tersebut. Langkah serupa pernah mereka lakukan saat serangan militer Ukraina mampu merontokkan kapal perang Rusia, Moskva, April 2022.
Baca juga : Moskva, Cerita Duka Kapal Gaek di Medan Laga
Saat itu, dua rudal jelajah buatan Ukraina, Neptune, yang sebelumnya tidak dipergunakan dalam pertempuran melawan Rusia, menghantam Moskva, kapal perang andalan Armada Laut Hitam Rusia. Moskva tenggelam setelah mengalami kebakaran, menewaskan sejumlah personelnya yang tidak diketahui secara pasti jumlahnya.
Jembatan vital
Bagi Rusia, jembatan tersebut sangat vital. Bukan hanya sebagai penyambung langsung antara daratan negara itu dan Semenanjung Crimea, melainkan juga menjadi infrastruktur untuk memasok listrik dan gas ke semenanjung tersebut. Selama invasi ke Ukraina sejak 24 Februari 2022, jembatan itu menjadi salah satu jalur suplai logistik bagi pasukan Rusia untuk merebut dan mempertahankan wilayah selatan Ukraina.
Akibat ledakan, lalu lintas menuju Crimea sempat terhenti sekitar 10 jam. Seperti dilansir beberapa media setempat, Deputi Perdana Menteri Rusia Marat Khusnullin memerintahkan agar bagian jembatan yang ambruk dibongkar dan diperbaiki. Putin juga menginstruksikan pengamanan lebih ketat di jembatan itu.
”Situasinya telah terkendala. (Insiden) ini tidak menyenangkan, tetapi tidak fatal,” ujar Sergei Aksyonov, gubernur Rusia di Crimea. Ia menambahkan, Semenanjung Crimea memiliki stok bahan bakar yang aman untuk kebutuhan sebulan dan stok pangan yang aman untuk lebih dari dua bulan. ”Tentu saja, emosi telah terbangkitkan dan ada hasrat untuk menuntut balas.”

Asap tebal mengepul dari Jembatan Crimea menyusul ledakan hebat sebuah truk yang menjalar ke rangkaian kereta, Sabtu (8/10/2022).
Sejauh ini pejabat di Moskwa tidak menuding Kyiv sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas insiden ledakan di Jembatan Crimea tersebut. Namun, pejabat Rusia di Crimea mengarahkan tuduhan kepada ”para perusak dari Ukraina”. Meski belum menyatakan secara eksplisit siapa pelaku di balik ledakan tersebut, mereka kompak menyerukan aksi menuntut balas atas insiden itu.
Baca juga : Ukraina Bertekad Rebut Kembali Crimea
”Ada teroris perang yang terang-terangan melawan kita,” kata Oleg Morozov, wakil partai yang berkuasa di Rusia, kepada kantor berita RIA Novosti. ”Semua orang menunggu serangan balasan dan sepertinya itu akan segera terjadi,” ujar Kirill Stremousov, pejabat utusan Rusia yang ditugaskan di wilayah pendudukan Kherson di Ukraina.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menyebut reaksi Kyiv terhadap kerusakan infrastruktur sipil ”memperlihatkan watak terorisnya”.
Siapa pelakunya?
Sementara Moskwa belum melemparkan tudingan dan Kyiv juga tidak menyatakan klaim tanggung jawab, muncul teka-teki tentang siapa pelaku di balik ledakan di Jembatan Crimea tersebut. Kantor berita AFP melaporkan, Minggu (9/10/2022), otoritas Rusia telah mengidentifikasi pemilik truk yang meledak di jembatan itu berasal dari wilayah Krasnodar, Rusia selatan. Aparat telah menggeledah rumahnya.
Dalam pernyataan tertulis, Mykhailo Podolyak, penasihat Zelenskyy, melontarkan sinyal tentang pelaku ledakan. ”Perlu dicatat bahwa truk yang meledak, berdasarkan semua indikasi yang ada, memasuki jembatan dari arah Rusia. Jadi, jawabannya seharusnya dicari di Rusia,” katanya.
Namun, seorang pejabat Ukraina yang tak disebutkan namanya—karena pemerintahnya melarang berkomentar secara terbuka terkait ledakan tersebut—dikutip harian The New York Times bahwa ia menguatkan laporan-laporan dari Rusia bahwa Ukraina berada di balik serangan di Jembatan Crimea. Pejabat itu mengungkapkan, badan intelijen Ukraina mengorkestrasi ledakan tersebut dengan menggunakan bom yang dipasang ke truk yang akan menyeberangi Jembatan Crimea.

Petugas Komite Investigasi Rusia bekerja mengumpulkan data-data di atas Jembatan Crimea yang ambruk akibat ledakan sebuah truk, Sabtu (8/10/2022).
Ben Barry, peneliti senior pada lembaga International Institute for Strategic Studies yang berkantor di London, berpendapat bahwa ledakan di Jembatan di Crimea ”tentulah bukan kemenangan penentu, tetapi keberimbangan perang sering kali tercipta berkat akumulasi kemenangan-kemenangan kecil”. ”Ini memberi tekanan lain pada Presiden Putin,” katanya.
Sementara pengamat dan akademisi yang dikutip media Rusia, Sputnik, melontarkan pandangan bahwa insiden di Jembatan Crimea membawa krisis di Ukraina pada level baru yang berbahaya. Tanpa mengungkapkan bukti-bukti pendukung, mereka meyakini Amerika Serikat terlibat dengan menggunakan senjata-senjata asal AS.
Jubir Kremlin, Dmitri Peskov, menyebut bahwa ”Presiden (Putin) telah memerintahkan perdana menteri untuk membentuk komisi pemerintah guna mencari penyebab insiden dan mengeliminasi akibat-akibat yang muncul sesegera mungkin.”
Pergantian komandan perang
Tidak lama setelah insiden ledakan di Jembatan Crimea, Kementerian Pertahanan Rusia mengumumkan penunjukan Jenderal Sergey Surovikin sebagai komandan pasukan gabungan dalam serangan ke Ukraina. Penunjukan Surovikin (55) merupakan penunjukan pejabat senior militer Rusia yang ketiga dalam sepekan.
Sebelumnya, Moskwa mencopot dua komandan dari lima wilayah militer menyusul kekalahan dramatis di wilayah timur laut dan selatan Ukraina dalam beberapa pekan terakhir. Menurut situs Kemenhan Rusia, Surovikin lahir di wilayah Novosibirsk, Siberia, dan menjabat Kepala Staf Angkatan Udara dan Luar Angkasa Rusia sejak 2017.

Presiden Rusia Vladimir Putin di Kremlin, Moskwa, 28 Desember 2017, memberikan aplaus di samping Jenderal Kolonel Sergey Surovikin (kiri) dalam sebuah upacara penganugerahan penghargaan bagi tentara yang bertempur di Suriah.
Surovikin memiliki pengalaman tempur di Tajikistan dan Chechnya pada tahun 1990-an. Ia juga berpengalaman dalam perang di Suriah. Rusia memperkuat pasukan Suriah di bawah Presiden Bashar al-Assad sejak tahun 2015. Ia adalah salah satu jenderal Rusia yang dituding bertanggung jawab atas pembumihangusan Aleppo, Suriah.
Sebelum diberi mandat dan jabatan baru, Surovikin dipercaya memimpin pasukan ”Selatan” di Ukraina. Tidak pernah disebutkan secara resmi pejabat yang digantikannya. Namun, beberapa media Rusia melaporkan, Surovikin menggantikan Alexander Dvornikov, jenderal yang juga terlibat dalam perang kedua di Chechnya dan komandan di pertempuran Suriah.
Baca juga : Dari Chechnya dan Suriah, ”Jagal” Rusia Ditugasi di Ukraina
Terkait penunjukan Surovikin, Alexandre Vautravers dari Swiss Military Review, seperti dikutip Al Jazeera, mengatakan bahwa sejak awal invasi ke Ukraina, pasukan Rusia beroperasi tidak di bawah satu komando. Ada lima kelompok pasukan yang masing-masing menjalankan operasi militer secara otonomi. Hal ini, kata Vautravers, akan berubah di bawah komando Surovikin.
”Alasan mengapa tidak mungkin membentuk komando tunggal dari keseluruhan pasukan Rusia adalah masalah jarak dan minimnya teknologi informasi yang disatukan dalam satu komando serta fasilitas kontrol dan kapabilitas,” ujarnya.
”Yang sedang kita lihat saat ini adalah satu orang dan satu markas utama akan dijalankan dan mengendalikan operasi,” lanjut Vautravers. ”Namun, hal ini juga memberi sinyal bahwa mulai saat ini operasi (militer Rusia) akan dikonsentrasikan pada satu area spesifik. Mungkin Luhansk, mungkin Donetsk, atau mungkin wilayah selatan. Yang sedang kita saksikan saat ini adalah surutnya operasi Rusia.” (AP/AFP/REUTERS)