Ujung pandemi sudah di depan mata. Namun, perang dan konflik kepentingan di antara negara adidaya membuat prospek pemulihan dunia menjadi suram.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
Ada kabar gembira yang mungkin terlewatkan, yaitu kabar bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan ujung pandemi sudah di depan mata. Ujung itu sudah terlihat, tetapi masih butuh usaha untuk benar-benar mengakhirinya. Mendengar kabar itu, dunia serasa kembali cerah dan bergairah lagi.
Namun, suasana kembali muram melihat situasi di Ukraina. Perang terus berlanjut dengan eskalasi yang kemungkinan semakin meningkat menyusul keputusan Kremlin meresmikan aneksasi empat wilayah Ukraina, yaitu Zaporizhia, Kherson, Donetsk, dan Luhanks.
Pintu perdamaian yang diharapkan terbuka kini semakin tertutup. Pada saat yang sama, upaya Ukraina yang didukung sekutu Barat pun mendorong arah perang ini menuju situasi yang mungkin tidak diduga—dan tidak diinginkan oleh seluruh umat manusia: penggunaan senjata nuklir.
Upaya untuk menghentikan mesin perang Rusia tak sepenuhnya berhasil. Pembatasan harga minyak Rusia oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya tak bisa 100 persen berjalan. Penolakan terjadi setelah negara-negara anggota produsen minyak pimpinan Arab Saudi plus Rusia dan negara-negara mitranya, yang tergabung dalam OPEC+, memutuskan membatasi produksi minyak hingga 2 juta barel per hari. Di luar masalah geopolitik dan geoekonomi, tampaknya negara-negara penghasil minyak tidak mau kehilangan pendapatan.
Dalam Outlook Ekonomi bulan Juli 2022, yang dikutip dari laman Forum Ekonomi Dunia (WEF), Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bahwa pemulihan ekonomi dunia pascapandemi semakin suram. Guncangan ekonomi yang belum pulih pascapandemi ditambah lagi dengan perlambatan ekonomi di China akibat kebijakan nol Covid-19 dan invasi Rusia ke wilayah Ukraina membuat upaya pemulihan menjadi lebih sulit.
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global melambat, dari 6,1 persen pada tahun 2021 menjadi hanya 3,2 persen tahun ini. Pada saat yang sama, IMF telah merevisi proyeksi inflasi global karena harga pangan dan energi yang semakin tinggi serta tidak seimbangnya antara pasokan dan permintaan. IMF memproyeksikan angka inflasi akan mencapai 6,6 persen di negara maju. Adapun di negara-negara berkembang, laju inflasi lebih tinggi lagi, yaitu 9,5 persen.
Harga bahan pangan dan energi yang tinggi karena perang merugikan negara-negara miskin dan berkembang. Bahkan, tidak hanya rakyat negara miskin berkembang yang menjerit, penduduk negara-negara Eropa yang lebih maju juga sudah terkena imbasnya. Diperkirakan tagihan biaya energi mereka melonjak beberapa kali lipat dalam beberapa bulan mendatang. Bahkan, di Inggris, sekitar 8 juta rumah tangga diperkirakan menjadi warga miskin baru.
Perang, konflik berkepanjangan, ditambah ancaman digunakannya hulu ledak nuklir tak membawa kebaikan bagi warga dunia. Siapa yang diuntungkan oleh perang dan situasi ekonomi yang morat-marit? Hanya para pebisnis dan makelar peralatan militer, serta para pengambil kebijakan. Mereka mengambil untung di atas penderitaan rakyat global.
Komunike bersama masyarakat sipil, C20, yang baru saja berakhir, bisa dijadikan renungan bersama dan menjadi gugatan warga bumi terhadap para pengambil kebijakan. Kutipannya seperti ini: ”Kami ingin mengingatkan kita semua bahwa krisis multidimensi: pangan, energi, kemanusiaan, krisis iklim, dan krisis keuangan, telah semakin dalam. Krisis tersebut tidak hanya menghambat agenda pembangunan, tetapi berpotensi menggagalkan berbagai tujuan dan target agenda global, seperti SDGs dan Perjanjian Paris, sehingga menghambat upaya mendorong pemulihan sosial ekonomi global yang kuat, berkelanjutan, setara, dan inklusif,” demikian isi komunike tersebut.
”Oleh karena itu, C20 meminta G20 untuk mengesampingkan perbedaan mereka, mengakhiri kontestasi kekuasaan, dan memprioritaskan resolusi krisis untuk memastikan pemulihan yang adil bagi semua warga negara di seluruh dunia,” lanjut komunike C20.