Demo di Iran Masuki Pekan Ketiga, Garda Revolusi Kehilangan Dua Pejabat Senior
Para pengunjuk rasa di Iran bertekad terus berunjuk rasa memprotes kematian perempuan Kurdi, Mahsa Amini. Dalam bentrokan bersenjata di Iran tenggara, Garda Revolusi Iran mengakui kehilangan dua pejabat seniornya.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·5 menit baca
DUBAI, SABTU — Unjuk rasa memprotes kematian perempuan Kurdi, Mahsa Amini, di Iran memasuki pekan ketiga. Pada Sabtu (1/10/2022), unjuk rasa kembali disiapkan bergulir di 77 kota. Sehari sebelumnya, otoritas Iran mengumumkan, mereka menangkap sembilan warga asing.
Sementara dalam bentrokan bersenjata, sebanyak 20 orang tewas setelah aparat keamanan baku tembak dengan para pengunjuk rasa bersenjata yang menyerang sebuah pos polisi di kota Zahedan, Provinsi Sistan-Baluchestan, wilayah tenggara Iran. Pasukan elite Garda Revolusi Iran (IRGC), Sabtu (1/10), melalui pernyataan tertulis mengatakan bahwa mereka kehilangan satu lagi pejabat senior IRGC dalam baku tembak di Zahedan.
Kolonel Hamid Reza Hashemi, pejabat intelijen IRGC, demikian pernyataan IRGC, ”meninggal akibat luka-luka yang dialaminya dalam baku tembak dengan teroris”. Dengan demikian, jumlah korban tewas dalam baku tembak di Zahedan menjadi 20 orang.
Baku tembak itu terjadi pada Jumat (30/9). Sebelumnya, Gubernur Provinsi Sistan-Baluchistan Hossein Khiabani kepada televisi pemerintah mengatakan, 19 orang, termasuk aparat keamanan, tewas, sementara 20 orang lainnya luka-luka.
Salah satu korban tewas yang diumumkan pada Jumat itu adalah Kepala Intelijen Garda Revolusi Iran di Sistan-Baluchistan Ali Mousavi. Sebuah video yang beredar di media sosial menayangkan, seorang pria mendapat pertolongan setelah terlihat tertembak di bagian leher. Kepala kepolisian setempat, Ahmad Taheri, menambahkan bahwa tiga pos polisi diserang pengunjuk rasa.
Kantor berita AFP, yang melaporkan bentrokan berdarah di Provinsi Sistan-Baluchistan, wilayah perbatasan Iran-Pakistan, mengatakan bahwa belum jelas betul apakah bentrokan senjata di wilayah itu terkait dengan unjuk rasa besar-besaran di seantero Iran terkait kematian Amini.
Amini (22), perempuan asal kota Saqez, Provinsi Kurdistan, ditangkap polisi moral di Teheran pada 13 September 2022 karena dinilai berpakaian secara tidak pantas, yang bertentangan dengan aturan berpakaian di Iran. Ia meninggal tiga hari kemudian saat masih dalam tahanan otoritas setempat.
Kematian Amini memantik unjuk rasa besar-besaran di seluruh wilayah Iran. Unjuk rasa ungkapan solidaritas terhadap kasus Amini juga berlangsung di banyak negara. Unjuk rasa tersebut merupakan unjuk rasa terbesar di Iran sejak unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar di negara itu pada November 2019.
Bermula dari wilayah asal Amini, unjuk rasa tersebut menyebar dan meluas hingga ke seluruh 31 provinsi di Iran. Hampir seluruh kelompok masyarakat, baik itu mayoritas maupun minoritas, termasuk lintas etnis dan agama, bergabung dalam unjuk rasa itu. Pengunjuk rasa meyakini Amini meninggal akibat mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian Iran.
Namun, Pemerintah Iran melalui Kedutaan Besar Iran di Jakarta menegaskan belum ada bukti kekerasan terhadap mendiang Mahsa Amini. Teheran berjanji akan terus menyelidiki kasus itu dan menemukan penyebab kematian perempuan Kurdi tersebut. Dalam pernyataan yang disiarkan pada Jumat (30/9), Kedutaan Besar Iran di Jakarta menegaskan, pencarian sebab kematian Amini akan terus dilakukan.
”Iran tidak akan membiarkan hak-hak Mahsa Amini dan keluarga yang ditinggalkan dilanggar jika ada yang dinyatakan bersalah karena kelalaian atau kesalahan,” demikian tertulis dalam pernyataan itu.
Pada Jumat (30/9), seperti dilaporkan televisi Pemerintah Iran, ”orang-orang bersenjata yang tidak dikenal” melepaskan tembakan ke sebuah pos polisi di kota Zahedan, Provinsi Sistan-Baluchistan, Iran tenggara. Aparat keamanan membalas tembakan tersebut. Hingga kini, dilaporkan 20 orang tewas dalam baku tembak itu, termasuk dua pejabat IRGC.
9 warga asing ditangkap
Pada Jumat itu, Kementerian Intelijen Iran mengatakan, sembilan warga asing, termasuk dari Perancis, Jerman, Italia, Belanda, Swedia, dan Polandia, ditangkap ”di lokasi atau berada di balik sejumlah kerusuhan” bersama 256 anggota kelompok-kelompok oposisi terlarang. Kesembilan warga asing yang ditangkap itu berkewarganegaraan negara-negara Eropa.
Iran International, saluran televisi oposisi berbahasa Persia dan berkantor pusat di London, melansir laporan bahwa aparat keamanan Iran menembakkan gas air mata kepada para pengunjuk rasa. ”Kematian untuk diktator,” teriak para perempuan pengunjuk rasa tanpa mengenakan penutup kepala dalam demonstrasi di kota Ardabil, Iran barat laut.
Di kota Ahvaz, wilayah barat daya Iran, masih seperti yang dilaporkan televisi Iran International, aparat keamanan juga membubarkan pengunjuk rasa di jalan-jalan dengan tembakan gas air mata.
Masrin Sotoudeh, perempuan pengacara hak asasi manusia terkemuka di Iran, mengatakan kepada majalah Time bahwa ia memperkirakan unjuk rasa akan terus berlanjut di tengah tindakan keras aparat keamanan. ”Yang diinginkan rakyat adalah pergantian rezim dan tidak kembali ke masa lampau,” katanya.
Sotoudeh saat ini tengah mengikuti perawatan medis di tengah hukuman 38 tahun yang dijalaninya terkait kiprah advokasinya. ”Dan, yang kita lihat dari unjuk rasa dan perlawanan saat ini adalah sedang diinisiasi tentang kemungkinan pergantian rezim,” ujarnya.
Lembaga Amnesty International mengungkapkan, pihaknya memperoleh bocoran dokumen resmi bertanggal 21 September 2022 yang dikeluarkan kepada para komandan angkatan darat di seluruh provinsi, berisi perintah kepada mereka untuk ”menindak tegas” para pengunjuk rasa. Dokumen lain bertanggal 23 September 2022 memperlihatkan, komandan angkatan darat di Provinsi Mazandaran, salah satu lokasi bentrokan berdarah dan mematikan, memerintahkan kepada aparat keamanan untuk ”menindak tanpa ampun, hingga bisa menimbulkan kematian, semua kerusuhan yang dilakukan para perusuh dan para anti-revolusioner”.
Amnesty mengonfirmasi sebanyak 52 orang tewas dalam unjuk rasa sejauh ini. Angka korban sebenarnya diperkirakan bisa lebih tinggi daripada angka tersebut. Sementara kelompok pegiat HAM lainnya, Iran Human Rights, yang berkantor pusat di Oslo, Norwegia, menyebut 83 orang tewas. Adapun kantor berita Fars di Iran memberitakan jumlah korban tewas ”sekitar 60 orang”.
Pada Jumat kemarin, seperti dilaporkan media pemerintah, mantan pemain timnas sepak bola Iran, Hossein Maahini, ditangkap karena memberikan dukungan kepada pengunjuk rasa lewat unggahan di media sosial. Hal serupa dialami penyanyi Shervin Hajipour.
Ia menyanyikan lagu ”Baraye” (”Untuk”), yang digubah dari cuitan-cuitan seputar unjuk rasa kasus Amini, dan mengunggahnya di akun Instagram miliknya. Penampilan lagu Hajipour sudah dilihat jutaan pemirsa sebelum unggahan lagu tersebut dihapus dari akun Instagram-nya. (AP/AFP/REUTERS)