Taiwan memproduksi kapal perang amfibi untuk pertama kalinya demi meningkatkan kemampuan pertahanan terhadap risiko invasi oleh China.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
KAOHSIUNG, JUMAT - Otot Angkatn Laut Taiwan kian liat. Mengambil tempat di Pelabuhan Kaohsiung, Presiden Tsai Ing-wen, Jumat (30/9/2022) meresmikan beroperasinya kapal perang amfibi Yu Shan.
Meskipun dikategorikan sebagai kapal perang amfibi atau biasa dikenal sebagai Landing Platform Dock (LPD), Yu Shan - yang pertama dari empat LPD yang direncanakan - dilengkapi dengan persenjataan layaknya fregat. Berbeda dari umumnya LPD, Yu Shan dilengkapi dengan meriam utama 76 mm, dua sistem pertahanan jarak dekat Phalanx serta mampu mengusung rudal, yaitu rudal antikapal Hsiung Feng II, atau rudal anti-serangan udara Hai Chien yang mampu melahap sasaran di jarak 30 kilometer.
Tak hanya itu, merujuk pada navyrecognition.com, selain mampu mengangkut 673 tentara, Yu Shan juga mampu menampung dua helikopter sekelas SH-60 Seahawk. Dari segi skala, Yu Shan memiliki bobot 11.684 ton, dengan panjang 153 meter dan kecepatan 21 knot.
“Satu-satunya cara kita bisa menciptakan perdamaian ialah dengan meningkatkan kemampuan pertahanan kita guna melawan risiko invasi oleh China,” kata Presiden Taiwan Tsai Ing-wen dalam pidatonya sebagaimana dikutip Kantor Berita Taiwan, Central News Agency.
Bagi Taiwan, kapal buatan galangan kapal lokal, CSBC Taiwan itu merupakan salah satu langkah memperkuat pertahanan, khususnya dari kemungkinan invasi China. Yu Shan resmi menggantikan Hsu Hai yang telah habis masa baktinya. Sebelumnya, Hsu Hai bernama USS Pensacola yang dibuat pada tahun 1971 untuk Angkatan Laut Amerika Serikat. Pada tahun 1990, AS menghibahkan kapal itu kepada Taiwan.
Invasi
Taiwan membangun sistem pertahanan agar bisa melawan invasi dari China. Presiden China sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Komunis China Xi Jinping sejak tahun 2019 telah mengungkit-ungkit isu penyatuan secara damai Beijing dengan Taipei. Isu ini semakin sering ia gaungkan di tahun 2022, terutama mendekati Kongres Ulang Tahun ke-100 PKC.
Di sisi lain, pemerintahan Taiwan yang saat ini dikuasai oleh Partai Demokratik Progresif (DPP), dari sisi politik, menginginkan kemerdekaan penuh dari China. Status Taiwan saat ini ialah wilayah otonomi di bawah prinsip Satu China. Tsai Ing-wen selama masa jabatannya memang mendongkrak kerja sama dengan berbagai negara Barat guna memperbanyak dukungan atas demokrasi di Taiwan.
Akibat sikapnya ini, Beijing semakin sering melakukan intrusi ke wilayah pertahanan udara Taiwan.
“Soal invasi China ke Taiwan itu sudah tidak diragukan lagi. Kemungkinan waktunya tahun 2023, 2025, 2027, 2030, dan lain-lain itu yang kita tidak tahu. Tapi, Taiwan harus siap dengan segala kemungkinan terburuk,” kata Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu, dikutip oleh surat kabar The Washington Times. Ia berbicara kepada sejumlah wartawan asing yang diundang oleh Kemlu Taiwan.
Wu mengatakan, berbagai latihan militer yang dilakukan oleh China, termasuk ketika kedatangan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taipei merupakan bagian dari persiapan invasi. Apalagi, Beijing juga melihat serangan Rusia atas Ukraina.
Menurut Wu, masyarakat Taiwan mengkhawatirkan nasib serupa menimpa mereka. Ia juga menyebut kegigihan rakyat Ukraina mempertahankan kemerdekaan tanah air mereka sangat menginspirasi Taiwan.
“Kami berterima kasih karena ada sahabat-sahabat yang mau membantu jika Taiwan dijajah. Akan tetapi, kami juga tidak boleh berpangku tangan dan mengandalkan bantuan saja. Taiwan juga harus meningkatkan pertahanan,” ujarnya.
Dukungan Barat
Perkataan Wu itu mengacu kepada wawancara Presiden AS Joe Biden dalam program “60 Minutes” di stasiun televisi CBS pada pertengahan bulan September. Ketika ditanya apakah AS akan menurunkan pasukan jika Taiwan diserang, Biden menjawab “ya”. Meskipun begitu, Biden cepat-cepat menambahkan bahwa AS tetap memegang prinsip Satu China dan ambiguitas strategis seperti yang selama ini mereka terapkan.
Pekan lalu, Perdana Menteri Inggris Liz Truss diwawancara oleh CNN. Ia menuturkan, Inggris berkomitmen memastikan Taiwan bisa membela diri dari segala risiko serangan. Ia tidak menyebut akan menerjunkan militer Inggris jika ada konflik di Selat Taiwan.
Surat kabar Taipei Times dalam tajuk rencana edisi 27 September 2022 mengatakan bahwa perang adalah langkah terakhir yang diinginkan Beijing. Kerugian akibat embargo ekonomi global, besarnya biaya konflik, dan belum tentu juga bisa mengganti rezim kekuasaan di Taiwan adalah risiko yang tidak diinginkan oleh China.
Dari segi militer, Taiwan memang kalah jumlah dari Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA). Jumlah personel militer Taiwan yang aktif ada 200.000 orang. Akan tetapi, Taiwan fokus mengembangkan pertahanan untuk mencegah pasukan PLA mendarat di pesisir mereka ataupun terjun dengan menggunakan pesawat ke daratan Taiwan.