Saat pertempuran masih berkecamuk di Ukraina, Rusia mengambil langkah politik. Moskwa mendorong referendum di empat wilayah yang mereka kontrol.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, KRIS MADA
·4 menit baca
DONETSK, KAMIS - Empat wilayah di Ukraina yang diduduki Rusia berniat mengadakan referendum, 23-27 September 2022. Hal ini dicemooh oleh Ukraina dan pendukungnya. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, sejumlah pihak mengkhawatirkan ini akan memicu peperangan yang lebih besar. Bahkan, berisiko memantik pemakaian senjata nuklir.
Keempat wilayah itu adalah Donetsk dan Luhansk yang berada di Semenanjung Crimea beserta Kherson dan Zaporizhia. Awalnya, Donetsk dan Luhansk yang hendak melakukan referendum guna mengulang keputusan serupa di tahun 2014. Kherson dan Zaporizhia kemudian mengutarakan niat untuk ikut mengadakan referendum.
”Akhirnya, rakyat yang memutuskan untuk mengakui dan menjadi bagian dari Rusia. Sekarang, NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) melanggar komitmen mereka karena melakukan pertempuran di wilayah Rusia,” cuit Dmitry Medvedev, mantan Presiden Rusia.
Hal ini yang mengkhawatirkan para pengamat politik. Alexander Baunov, peneliti kajian Rusia untuk Pusat Moskwa Carnegie (CMC) di Amerika Serikat, menjelaskan bahwa memang begitu tujuan Presiden Rusia Vladimir Putin. Apabila empat wilayah tersebut memilih menjadi bagian Rusia, artinya Ukraina dan NATO telah melanggar kesepakatan internasional dan menginvasi Rusia. Padahal, selama ini, NATO sengaja menahan perang agar tidak keluar dari Ukraina guna menghindari konfrontasi langsung dengan Rusia.
”Putin ingin mencari dalih untuk bisa mengancam Ukraina dan NATO dengan memakai senjata nuklir. Ini adalah ketakutan seluruh warga dunia karena bisa memicu Perang Dunia III. Rusia memiliki aturan bisa menurunkan senjata nuklir apabila tanah air mereka terancam,” papar Baunov yang dikutip oleh BBC.
Merugikan semua pihak
Saat ini, Rusia menguasai 60 persen wilayah Donetsk. Secara keseluruhan, wilayah yang diduduki Moskwa adalah 90.000 kilometer persegi atau 15 persen dari total wilayah Ukraina. Sebagai gambaran, luasnya setara dengan Hongaria, Portugal, ataupun Negara Bagian Pennsylvania di AS.
Baunov menjelaskan, tidak semua warga di keempat wilayah ini menginginkan bergabung dengan Rusia. Artinya, referendum ini merugikan semua pihak. Rusia baru saja angkat kaki dari Kharkiv dan Kherson karena kalah digempur pasukan Ukraina. Hasil referendum itu justru membuat Rusia semakin terpapar dengan bahaya dan kehancuran akibat peperangan.
Selain itu, seluruh warga dunia juga terseret ke dalam risiko konflik senjata nuklir. Putin baru saja menggerakkan 300.000 tentara dari 2 juta pasukan cadangan Rusia ke Crimea. Mereka dikatakan siap mengawal berjalannya referendum dan mempertahankan wilayah itu dari pasukan Ukraina.
”Silakan lakukan terserah kalian. Mau referendum atau apa. Ukraina mempunyai semua kedaulatan untuk merebut dan membebaskan seluruh wilayah kami yang diinvasi,” kata Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba di akun Twitternya.
Kepala Staf Kantor Presiden Ukraina Andriy Yermak turut mencemooh Moskwa. Ia mengatakan referendum itu adalah gertak sambal dari Putin yang sudah jelas-jelas kalah.
Kepala negara yang lugas mengutarakan kekhawatirannya ialah Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau. Melalui laman Twitter, ia mengatakan bahwa Kanada tidak mengakui referendum itu karena bertentangan dengan berbagai aturan internasional. ”Referendum ini bukan jalan keluar, melainkan semakin memperparah peperangan. Hentikan perang melalui gencatan senjata dan perundingan damai,” ujarnya.
Lagu lama
Ukraina dan para anggota NATO meledek referendum itu sebagai lagu lama yang diulang kembali. Presiden Perancis Emmanuel Macron sebelum mengikuti Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York malah menyamakan referendum itu dengan lelucon tragis.
Penasihat Keamanan Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan, referendum ini untuk menyamarkan rasa malu Putin karena dikucilkan dunia dan tentaranya semakin kelelahan.
AS baru saja mengeluarkan dana 600 juta dollar AS untuk bantuan persenjataan bagi Ukraina. Berkat senjata-senjata dari NATO ini Ukraina bisa memukul mundur pasukan Rusia di Kherson dan Kharkiv. Ukraina mengklaim telah membebaskan wilayah seluas 6.000 kilometer persegi.
Crimea telah melakukan referendum pada tahun 2014. Ketika itu, Rusia juga menginvasi Ukraina. Letak Crimea strategis karena di tepi Laut Hitam yang akan memberi akses bagi Angkatan Laut Rusia. Apalagi, mayoritas masyarakat Crimea adalah keturunan Rusia dan masih berbahasa Rusia.
Hasil referendum itu mengungkapkan, 97 persen warga Crimea ingin bergabung dengan Rusia. Akan tetapi, Ukraina dan komunitas internasional menolak dan mengatakan referendum itu tidak sah. Pertama, referendum dilakukan ketika pasukan Rusia menduduki Crimea sehingga dicurigai warga mengikutinya karena takut, bukan atas kesadaran pribadi.
Kedua, pertanyaan yang diajukan hanya satu, yaitu ”Apakah Anda setuju Crimea bergabung dengan Rusia?”. Pilihan jawaban hanya ”ya” atau ”tidak”. Padahal, Ukraina menginginkan ada pilihan ketiga, yaitu menjadikan Crimea sebagai wilayah otonomi status quo.
Pembebasan tawanan
Di sela-sela langkah terbaru Rusia itu, sejumlah pihak terus berupaya meredakan ketegangan. Salah satunya dilakukan oleh Arab Saudi yang turut memfasilitasi pembebasan 10 milisi asing yang ditangkap Rusia di Ukraina timur.
Semua milisi itu diterbangkan ke Jeddah, Arab Saudi. Turki juga mengklaim ikut memediasi perundingan yang berujung pertukaran total 280 tahanan itu.
Dalam foto yang disiarkan kantor berita Arab Saudi, Saudi Press Agency (SPA), pada Rabu (21/9/2022) malam, 10 milisi itu mendarat di Riyadh. Mereka terdiri dari 5 warga Inggris dan 2 warga AS. Selain itu, juga ada masing-masing seorang warga Kroasia, Maroko, dan Swedia.
Pembebasan terjadi beberapa jam selepas Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi terbatas pasukan cadangan Rusia. Penggalangan itu terkait dengan perkembangan perang di Ukraina.