Multilateralisme sedang diuji efektivitasnya untuk menyelesaikan ketegangan geopolitik yang saat ini semakin intens.
Oleh
FRANSISCA ROMANA DARI NEW YORK, AMERIKA SERIKAT
·3 menit baca
NEW YORK, KOMPAS - Di tengah keterbelahan akibat ketegangan geopolitik global, forum kerja sama multilateral menjadi tumpuan penyelesaian krisis global. Forum seperti G20 diharapkan tidak terganggu dengan ketegangan itu dan lebih fokus menghasilkan program konkret yang bisa diterapkan bersama.
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno LP Marsudi menekankan hal tersebut dalam berbagai kesempatan di sela-sela Sidang Ke-77 Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa di New York, Amerika Serikat. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pidato pembukaan Sidang Majelis Umum PBB menyatakan dukungan bagi forum multilateral untuk berkontribusi dalam menuntaskan berbagai persoalan yang dihadapi negara-negara di dunia.
KTT G20 yang akan datang di Bali menjadi tempat yang baik untuk memulainya.
”Saya menyerukan adanya stimulus untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan—dipimpin oleh G20—guna secara masif meningkatkan pembangunan berkelanjutan bagi negara-negara berkembang. KTT G20 yang akan datang di Bali menjadi tempat yang baik untuk memulainya,” katanya.
Seiring perkembangan geopolitik terbaru, banyak forum multilateral, termasuk G20 dan Gerakan Nonblok, berpotensi tertekan dan ditarik oleh kepentingan negara-negara tertentu. Pertarungan kepentingan, seperti terjadi pada Presidensi G20 Indonesia 2022, menjadi kendala utama G20 untuk mencapai kesepakatan agenda global.
Beberapa hari lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi pasukan cadangan untuk mengamankan wilayah pendudukan di Ukraina. Ia juga berencana menggelar referendum di empat wilayah di Ukraina.
Sebagai respons, Presiden AS Joe Biden saat berpidato di Sidang Majelis Umum PBB, Rabu (21/9/2022), menuding Putin memperburuk krisis global. Ia pun menyatakan terus mendukung Ukraina untuk melawan pasukan Rusia dengan lebih banyak memberi bantuan persenjataan.
Tak menguntungkan
Situasi yang memanas ini dinilai tidak menguntungkan bagi kerja-kerja multilateral yang dilakukan sejumlah negara. Dalam acara Pertemuan Tingkat Menteri Gerakan Nonblok, Retno, Rabu (21/9), mengatakan, ini saat yang tepat untuk menunjukkan relevansi dan kontribusi Gerakan Nonblok.
”Pertemuan hari ini sangat bertepatan dengan persaingan yang tumbuh di antara kekuatan besar dunia. Saat KTT Gerakan Nonblok pertama tahun 1961, Presiden Soekarno mengatakan bahwa kolusi blok yang didasarkan pada kekuatan politik dan senjata hanya akan menuju pada peperangan. Perang di Ukraina mencerminkan situasi kala itu,” tuturnya.
Jika tidak ditangani, menurut Retno, friksi yang sama akan terjadi di berbagai belahan dunia. Untuk itu, ia menyerukan agar negara-negara tak terjebak dalam kepentingan dangkal antara kekuatan besar, bahkan antar-anggota Gerakan Non Blok sendiri. Pesan yang sama juga disampaikan Retno dalam Pertemuan Tingkat Menteri Kelompok Tata Pemerintahan Global (3G).
Presidensi Indonesia di G20, lanjut Retno, berlangsung saat ketegangan geopolitik semakin intensif dan tekanan-tekanan akibat krisis global semakin besar. “Meski keterbelahan terus terjadi, Indonesia berupaya keras untuk menjamin kerja-kerja G20 tetap berjalan. Sampai hari ini, sudah ada 355 pertemuan dari total 463 pertemuan yang direncanakan. Diskusi untuk menelurkan hal-hal konkret terus berlangsung,” ujarnya.
Apa pun yang akan terjadi, Retno menekankan, G20 akan fokus menghasilkan manfaat konkret bagi negara anggota sekaligus negara miskin-berkembang.
KTT G20 akan diselenggarakan di Bali pada November 2022. Ada dua kemungkinan saat KTT berlangsung, yakni situasi dunia membaik atau justru memburuk. Namun, apa pun yang akan terjadi, Retno menekankan, G20 akan fokus menghasilkan manfaat konkret bagi negara anggota sekaligus negara miskin-berkembang. Hingga 13 September 2022, sudah ada 243 proposal proyek dari sejumlah negara dan 43 proyek dari lembaga internasional.
”Bersama semua anggota, Indonesia berupaya menyukseskan KTT G20. Pada saat yang sama, kita tidak boleh membiarkan G20 tersandera dinamika geopolitik,” kata Retno.