Laporan BSR menunjukkan bias di dalam Meta terhadap Palestina memang nyata. Sensor bertahun-tahun terhadap Palestina adalah dampak bias itu
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
CALIFORNIA, JUMAT - Audit oleh lembaga luar terhadap Meta, induk Facebook-Instagram-Whatsapp, membuktikan pemberangusan pada suara Palestina. Grup Facebook dituding telah melanggar kebebasan berpendapat orang Palestina.
Laporan pemeriksaan dikeluarkan oleh Business for Social Responsibility (BSR) pada Kamis (22/9/2022) siang waktu California atau Jumat dini hari WIB. BSR memeriksa pengelolaan unggahan terkait Palestina pada periode Mei 2021. Kala itu, terjadi perang 11 hari setelah Israel berusaha menggusur warga Palestina dari kawasan Sheikh Jarah dan menutup akses ke Masjid Al Aqsa.
BSR, lembaga konsultasi bisnis, diminta Meta memeriksa pengelolaan unggahan di Facebook dan Instagram. BSR juga diminta memeriksa kasus-kasus pembekuan akun Whatsapp sejumlah orang Palestina.
Dalam pemeriksaan ditemukan, unggahan dalam bahasa Arab lebih sering dihapus dibandingkan unggahan dalam bahasa Ibrani. Perbandingannya bisa mencapai 10 kali lipat untuk unggahan dalam bahasa Arab. Dengan kata lain, unggahan oleh Palestina lebih sering dihapus dibandingkan unggahan orang Israel.
Dasar penghapusan adalah mencegah penyebaran kebencian dan ajakan melakukan kekerasan. Padahal, unggahan dalam bahasa Ibrani dengan materi itu pun banyak. BSR menemukan, ada kesalahan disengaja dan tidak sengaja oleh sistem dan pegawai Meta dalam penghapusan itu.
Sistem dan pegawai Meta antara lain memasukkan “Al Aqsa” dalam daftar kata terlarang. Meta mengacu pada penetapan Brigade Al Aqsa sebagai organisasi teror menurut Amerika Serikat. Padahal, unggahan-ungahan yang dihapus membahas soal Masjid Al Aqsa.
Klasifikasi AS soal kelompok teror juga berimbas pada warga Gaza, wilayah Palestina yang dikelola Hamas. AS memasukkan Hamas dalam organisasi teror. Akibatnya, unggahan dari Gaza kerap dihapus Meta karena dianggap mendukung Hamas. Ditemukan pula bias dalam sistem Meta. Meski disimpulkan sebagai tidak sengaja, bias itu melanggar HAM warga Palestina dan warga Israel keturunan Arab.
Direktur Penanganan HAM Meta, Miranda Sissons, menyebut Meta telah dan akan menindaklanjuti sebagian rekomendasi BSR. Sebagian lain sedang ditelaah oleh manajemen. “Akan butuh waktu untuk memperbaiki ini,” kata dia dalam pernyataan resmi yang diunggah Facebook.Kritik Lain
Sebelum disimpulkan BSR, telah banyak kritik pada pemberangusan suara Palestina oleh Meta. “Laporan BSR mengonfirmasi sensor oleh Meta melanggar hak bersuara Palestina, sementara (unggahan dalam bahasa) Ibrani kurang diperiksa,” demikian pernyataan Koalisi Gerakan Arab untuk Hak di Media Sosial, 7amleh, sebagaimana dikutip oleh Kantor Berita Wafa.
7amleh menyatakan, laporan BSR menunjukkan bias di dalam Meta terhadap Palestina memang nyata. “Meta harus mengakhiri itu. Sensor bertahun-tahun terhadap Palestina adalah dampak bias itu,” lanjut lembaga itu.
Pada Mei 2021 saja, 7amleh menemukan bahwa Meta tidak bisa memberikan alasan untuk 46 persen unggahan yang dihapus di Instagram. Sementara terhadap 20 persen unggahan, hanya diberitahu soal pelanggaran kebijakan. Akan tetapi, Meta tidak menyebut apa bentuk pelanggarannya. “Sekarang, lewat laporan BSR, terbukti yang dimaksud pelanggaran itu ternyata kesalahpahaman di sistem dan pegawai Meta,” lanjut lembaga itu.
Lembaga lain, Sada Social, menyebut Meta secara sistematis membungkam suara Palestina. Banyak unggahan yang membela Palestina dan mengkritik Israel dihapus tanpa alasan jelas.
Sebelumnya, Human Right Watch (HRW) juga berkali-kali menyoroti penghapusan unggahan terkait Palestina. Bukan hanya dari akun pribadi, Meta juga menghapus unggahan dari akun terverifikasi milik media massa. Meta antara lain menghapus unggahan yang menggunakan foto dari The New York Times terkait perang 11 Hari. Sampai sekarang, tidak ada kejelasan mengapa unggahan itu dihapus.Ada pula penghapusan unggahan warga yang rumahnya dihancurkan rudal Israel pada 15 Mei 2021. Karikatur yang menyebut Palestina dan Israel tidak terlibat perang karena alasan agama juga dihapus.
HRW mengaku tidak paham dengan label penyebaran kebencian pada unggahan-ungahan itu. “Penghapusan itu jelas pemberangusan kebebasan berpendapat,” demikian pernyataan HRW sebagaimana tercantum di laman lembaga itu.
HRW juga prihatin pada kemungkinan penghapusan itu atas desakan Israel. Unit Sibernatika pada Kejaksaan Agung Israel diketahui amat agresif meminta penghapusan unggahan di media sosial. Dalam laporan pada 2018, Kejaksaan Agung Israel mengklaim 90 persen permintaan penghapusan unggahan dipenuhi perusahaan media sosial.