Suplai Pupuk Global Terganggu, Krisis Pangan Dunia Memburuk
Hingga saat ini hambatan ekspor pupuk Rusia masih ada, terutama pada bahan pembuatnya, akibat sanksi dari Barat. Jika gagal diatasi, situasi pangan dunia yang lebih suram akan terjadi tahun depan.
Oleh
FRANSISCA ROMANA DARI NEW YORK, AMERIKA SERIKAT
·4 menit baca
KOMPAS/FRANSISCA ROMANA
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat berpidato dalam pembukaan Sidang Ke-77 Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (20/9/2022).
NEW YORK, KOMPAS – Sidang Umum Ke-77 Perserikatan Bangsa-Bangsa didominasi pembicaraan mengenai isu krisis pupuk dan pangan. Ketersediaan pupuk dunia mengkhawatirkan dan diperkirakan bakal berdampak pada panen beras. Setidaknya dua miliar orang yang sebagian besar berada di Asia berpotensi terkena dampaknya.
Isu keamanan pangan dan pasokan pupuk menjadi topik pembicaraan utama Indonesia dengan berbagai pihak dalam berbagai rangkaian acara Sidang Umum pada 19-26 September 2022. Secara umum kondisi pangan dunia saat ini membaik dibanding beberapa bulan lalu, tak lama setelah Rusia menyerang Ukraina pada Februari 2022. Akan tetapi, ketersediaan pupuk justru menurun akibat berbagai sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat dan negara-negara Barat sekutunya terhadap Rusia atas invasi tersebut.
Dalam acara Global Food Security Summit, Selasa (20/9/2022) di New York, Amerika Serikat, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan, beragam aspek terkait isu keamanan pangan telah membebani seluruh negara di dunia. Di beberapa negara, dampaknya lebih buruk. Sekitar 200 juta orang di 53 negara kini mengalami kelaparan akut. Sekitar 26 juta anak berisiko gizi buruk. “Pendeknya, krisis pangan adalah persoalan global yang memerlukan solusi global. Presidensi G20 Indonesia meletakkan isu keamanan pangan sebagai topik utama,” katanya.
Jika negara-negara tidak bisa menangani isu pupuk ini, ke depan situasi pangan akan memburuk. Jika sampai berdampak pada panen beras yang menurun atau gagal akibat pupuk, paling tidak 2 miliar orang yang turut merasakan akibatnya.
Hingga saat ini hambatan ekspor pupuk Rusia masih ada, terutama pada bahan pembuatnya, akibat sanksi dari Barat. Rusia adalah produsen besar potasium, fosfat, dan nitrogen, yang merupakan bahan pembuat pupuk. Produksinya mencapai lebih dari 50 juta ton setahun atau 13 persen dari produksi global.
Sudah ada ekspor pangan dan pupuk dari pelabuhan Rusia, tetapi jumlahnya jauh lebih sedikit. Amerika Serikat menyatakan, pangan dan pupuk Rusia tidak termasuk dalam sanksi. Namun, Rusia menyebutkan tetap ada dampak pada ekspor produk tersebut.
“Saya secara khusus menyebutkan bahwa kita harus mengatasi isu pupuk ini. Jika gagal, situasi pangan dunia yang lebih suram akan terjadi tahun depan,” ujar Retno. Menlu menambahkan, studi oleh McKinsey menyebutkan bahwa perang menurunkan produksi gandum global sebanyak 15-20 juta metrik ton tahun 2022. Tahun 2023, jumlah penurunan bisa semakin banyak, yakni 23-40 juta metrik ton.
AFP
Foto pada 31 Juli 2022 menunjukkan panen gandum di Novoazovsk, di luar Mariupol, Ukraina, saat invasi militer Rusia ke Ukraina.
Itulah sebabnya, selain mengakhiri perang segera, negara-negara perlu cermat dalam tindakan mereka agar tidak memperburuk krisis pangan. “Kita perlu memperluas akses dan keterjangkauan pangan dengan meningkatkan produksi pangan, mengeluarkan cadangan penyangga pangan, dan mengurangi hambatan perdagangan. Semua itu perlu dilakukan secara terkoordinasi, terukur, dan proporsional,” katanya.
Selain itu, Retno menambahkan, negara-negara perlu memperkuat sistem ketahanan pangan. Krisis saat ini memperlihatkan sistem pangan global yang masih rentan. Dalam jangka panjang, negara-negara perlu membangun kapasitas untuk merespons guncangan terhadap pangan, memperbanyak cadangan penyangga pangan, meningkatkan investasi di sektor teknologi agrikultur, dan mempraktikkan pertanian berkelanjutan.
Retno terus membawa isu soal pupuk dan pangan ini dalam pembicaraan dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB Martin Griffiths, dan Kepala Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan Rebecca Grynspan. Sebagai salah satu ketua Global Food Security Summit, ia juga terus mendesak agar masukan Indonesia mengenai masalah pupuk bisa masuk ke dalam deklarasi.
AFP/OLEKSANDR GIMANOV
Kapal M/V Razoni membawa 26.000 ton jagung meninggalkan pelabuhan Odesa di Ukraina menuju Tripoli, Lebanon, 1 Agustus 2022. Ini merupakan kapal pertama yang bisa mengeluarkan ekspor biji-bijian Ukraina di bawah Inisiatif Gandum Laut Hitam pada 22 Juli 2022.
Dalam pidato pembukaan Sidang Ke-77 Majelis Umum PBB, Guterres juga secara khusus menyebutkan isu pupuk yang akan memperburuk krisis pangan dunia jika tidak segera diatasi. “Untuk meredakan krisis pangan global, kita sekarang harus mengatasi kegentingan pasar pupuk. Tahun ini, dunia punya cukup pangan, masalahnya adalah distribusi. Namun, jika pasar pupuk tidak stabil, tahun depan persoalannya adalah suplai pangan. Kami sudah mendengar laporan tentang para petani di Afrika Barat yang memanen lebih sedikit akibat mahalnya dan langkanya pupuk,” katanya.
Guterres menambahkan, sangat penting untuk terus menghilangkan hambatan ekspor pupuk Rusia dan bahan pembuatnya, termasuk amonia. Amonia tidak masuk dalam sanksi Barat. Pekan lalu, Guterres bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin dan membahas soal ekspor gandum Ukraina di Laut Hitam. Ia berharap inisiatif ekspor gandum akan diperluas untuk mencakup amonia. Jaringan pipa yang mengalirkan amonia dari wilayah Volga di Rusia ke pelabuhan Pivdennyi di wilayah Ukraina di Laut Hitam ditutup saat Rusia menginvasi Ukraina. PBB berupaya untuk membuka kembali keran ekspor amonia tersebut.
“Masalah besar lainnya adalah dampak tingginya harga gas terhadap produksi nitrogen untuk pupuk. Ini juga harus segera ditangani dengan serius. Tanpa aksi sekarang, kelangkaan pupuk global akan dengan cepat berubah menjadi kelangkaan pangan global,” ujar Guterres.