Mangkatnya Ratu Elizabeth merupakan jendela bagi kita untuk melihat bahwa generasi yang berjuang di Perang Dunia II kini hampir punah, padahal mereka adalah saksi sejarah global yang penting.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
Kematian Ratu Elizabeth II pada umur 96 tahun mengungkapkan fakta global bahwa generasi penyintas Perang Dunia II semakin lama semakin berkurang jumlahnya. Tidak lama lagi, dunia akan kehilangan saksi sejarah peristiwa penting berskala global yang mengubah takdir begitu banyak bangsa.
Ratu Elizabeth, yang pada tahun 1945 masih bergelar Putri Mahkota dan berumur 18 tahun memaksa ayahnya, Raja George VI, agar mengizinkan ia menjadi sukarelawan di masa PD II. Awalnya, ayahanda menentang. Menurut dia, Elizabeth sejak tahun 1941 sudah masuk organisasi pemudi yang membantu mengurus anak-anak terlantar akibat perang dan menanam sayur untuk pangan.
Namun, Elizabeth menginginkan lebih. Akhirnya, Raja George menyerah dan mengizinkan putri sulungnya mendaftar ke korps pendukung. Ini adalah korps khusus perempuan untuk menunaikan tugas-tugas non-pertempuran, misalnya menjadi staf tata usaha di markas komando militer.
Elizabeth memilih mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagai pengemudi sekaligus montir truk. Tugasnya ialah mengangkut logistik ke berbagai kemah, rumah sakit, maupun perkantoran. Sekali-sekali, ia juga mengangkut para prajurit yang baru kembali dari pertempuran. Ia menjalani tugas ini selama lima bulan hingga perang berakhir.
Pertempuran di Eropa berakhir di awal Mei 1945 ketika Jerman yang dikuasai Partai Nazi menyerah kepada sekutu. Pada tanggal 8 Mei 1945, Inggris merayakan kemenangan ini. Elizabeth bersama adiknya, Putri Margaret, turut bersuka cita di Istana Buckingham.
“Setelah itu, kami menyelinap keluar dan ikut dengan perayaan di jalanan. Saat itu menyenangkan sekali berada di tengah-tengah masyarakat sambil bergandengan tangan dan merasa lega perang akhirnya selesai,” kata Ratu Elizabeth kepada BBC di tahun 1985.
Charles Byrne, Direktur Jenderal Legiun Kerajaan Inggris, sebuah lembaga yang menangani kesejahteraan veteran, menjelaskan bahwa Ratu Elizabeth memang tidak ikut berperang. Akan tetapi, di Inggris, dia menjadi salah satu simbol perjuangan generasi yang di Barat disebut sebagai Generasi Terhebat (Great Generation) karena mengalami peristiwa konflik berskala global dengan jumlah korban yang tidak terbayang sebelumnya.
“Melihat posisi Sri Ratu sebagai simbol, kita menghadapi kenyataan bahwa saksi sejarah PD II semakin berkurang dan ini adalah menghilangnya sebuah generasi penting dalam sejarah Bumi,” tutur Byrne.
Perang Dunia II
PD II disepakati oleh para ahli sejarah terjadi pada tanggal 1 September 1939, yaitu ketika Nazi Jerman menginvasi Polandia. Setelah itu, perang menyeret tidak hanya negara-negara di sekitarnya, tetapi juga melintasi Bumi ke Benua Asia, Afrika, hingga Australia. Dua pihak yang berperang ini disebut dengan Blok Poros yang terdiri dari kekuatan fasis Nazi Jerman, Jepang, dan Italia. Lawan mereka adalah Blok Sekutu yang digawai Amerika Serikat, Inggris, dan Soviet. Akan tetapi, banyak negara yang terlibat membantu Blok Sekutu, antara lain Australia, China, India, Yunani, dan Etiopia.
Jumlah korban perang yang berlangsung hingga 2 September 1945 ini berskala masif dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Dari Blok Sekutu terdapat 61 juta korban tewas, baik militer maupun sipil. Dari Blok Poros ada 12 juta orang kehilangan nyawa. Hal penting lain dari PD II ialah genosida terhadap warga Yahudi Eropa yang disebut dengan peristiwa Holokaus. Sebanyak 6 juta warga Yahudi tewas, mayoritas di kemah-kemah konsentrasi.
PD II dinyatakan selesai secara keseluruhan pada tanggal 2 September 1945 ketika Jepang yang merupakan anggota Blok Poros terakhir menyerah. Pasukan Sekutu yang dipimpin AS menjatuhkan bom nuklir di kota Hiroshima dan Nagasaki yang memukul telak Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Satu tahun berikutnya, AS yang sejak tahun 1898 menjadi pemerintahan kolonial di Filipina, memberi kemerdekaan kepada negara itu pada tanggal 4 Juli 1946. Sebelumnya, selama empat tahun sejak tahun 1942, pemerintahan kolonial AS terpaksa mengungsi karena Filipina dikuasai oleh Jepang.
Kehidupan masyarakat global berubah. Di Eropa dan AS semua harus berhemat. Peristiwa ini pula yang pertama kali membuat gelombang perempuan pekerja secara besar-besaran. Mereka melakukan berbagai pekerjaan yang dulu dinilai tidak feminin seperti menjadi montir ataupun merakit senjata.
Di Inggris, hingga tahun 1954, ekonomi belum pulih dan masyarakat hidup dengan jatah dari pemerintah. Mereka mendapat kupon yang membatasi jumlah makanan, minuman, pakaian, maupun kebutuhan sehari-hari yang bisa dibeli. Bahkan, ELizabeth ketika menikah dengan Pangeran Philip di tahun 1947 membiayai pembuatan gaun pengantinnya dari kupon yang ia tabung selama perang.
Di AS, para veteran dan penyintas Holokaus kerap menjadi pembicara di sekolah dan perguruan tinggi. Mereka menceritakan pengalaman mereka bertempur ataupun tekanan hidup di masa yang demikian sulit. “Sejarah tidak menjadi sekadar peninggalan artefak dan kronologi fakta. Berkat generasi ini, selama 60 tahun, anak-anak muda bisa berempati dan memperoleh inspirasi karena mendengar langsung penuturan orang-orang yang mengalaminya,” kata pakar komunikasi Rebecca Adelman dari Universitas Maryland, AS.
Menurut Departemen Urusan Veteran AS, ada 16 juta warga negara itu yang menjadi tentara di masa PD II. Data per tahun 2021 menunjukkan hanya 240.329 orang yang masih hidup dan mayoritas sudah berusia kepala sembilan. Perkiraannya, di tahun 2030, jumlah veteran PD II tinggal 8.000 orang.
Sementara itu, liputan majalah Express Tribune di Pakistan mengungkapkan, per tahun 1945, ada 2,5 juta tentara India, Pakistan, Bangladesh, dan Nepal yang turut serta dalam PD II di bawah komando Inggris. Mereka menjalankan berbagai operasi militer di Mediterania, Timur Tengah, dan Afrika Utara.
“Kajian mengenai PD II sangat kompleks karena tidak hitam dan putih. Dunia terhubung di dalam konflik raksasa yang bisa ditelaah dengan perspektif manusiawi berkat para veteran ini. Mereka yang menjadikan sejarah sebagai suatu ilmu yang humanis dan memiliki banyak lapisan melalui berbagi pengalaman dengan generasi muda. Kita harus bisa merekam kisah-kisah mereka sebelum punah,” kata Ghee Bowman, sejarawan dari Universitas Exeter, Inggris, yang meneliti tentara Asia Selatan selama PD II. (AP)