Dana Iklim dari Negara Maju Tak Jelas, Negara Miskin-Berkembang Perlu Ngotot
Pendanaan aksi iklim dari negara-negara maju untuk mengejar target mengurangi suhu bumi 1,5 celsius pada 2050 masih belum jelas. Negara miskin dan berkembang perlu terus ngotot menyuarakan kepentingan mereka.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara miskin dan berkembang tidak bisa berjalan sendiri memulihkan kondisi lingkungan mereka tanpa bantuan negara-negara ekonomi maju dan kaya. Masalahnya, dukungan dana aksi iklim dari negara-negara maju untuk negara miskin dan berkembang sebesar 100 miliar dollar AS per tahun hingga kini masih belum pasti. Target suhu bumi tahun 2050, tidak lebih dari 1,5 derajat celsius, bisa terancam.
Bambang Brodjonegoro, Lead Co-Chair T20 Indonesia, mengatakan, tidak mudah bagi negara-negara miskin dan berkembang membiayai proses transisi energi mereka karena teknologinya masih sangat mahal. ”Mereka membutuhkan dukungan finansial, bukan sekadar utang atau hibah,” ujar Bambang di Jakarta, Kamis (15/9/2022).
Preety Bhandari, penasihat senior iklim dan keuangan di World Resources Institute (WRI), dana publik dalam jumlah besar, sekitar 4,5 miliar dollar AS hingga 5 miliar dollar AS per tahun, diperlukan agar transisi energi dan secara luas, aksi iklim, bisa berjalan. ”Solidaritas global untuk aksi iklim, terutama dalam mobilisasi modal, adalah yang terpenting,” katanya.
Penelitian Bank Pembangunan Asia (ADB) tahun 2019 soal dukungan transisi energi rendah karbon di Asia Pasifik menyebutkan, untuk memperoleh kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) 6.113 gigawatt pada 2030, kawasan itu butuh investasi 1,3 triliun dollar AS per tahun.
Untuk Indonesia, mengutip data Indonesia Transition Energy Outlook 2022 yang dikeluarkan Institute for Essential Services Reform (IESR), investasi EBT di Indonesia baru mencapai angka 1,1 miliar dollar AS pada kuartal ketiga 2021. Dibandingkan investasi pembangkit listrik tenaga fosil yang menerima investasi 2,5 miliar dollar AS pada periode sama, angka itu masih sangat rendah.
Tantangan bagi negara miskin dan berkembang untuk melaksanakan transisi energi itu semakin tidak mudah karena situasi pemulihan dari pandemi masih belum pasti. Wakil Presiden untuk Operasi Sektor Swasta dan Kemitraan Pemerintah-Swasta Bank Pembangunan Asia (ADB) Ashok Lavasa mengatakan, anggaran negara miskin dan berkembang saat ini telah terkuras untuk menangani pandemi.
Selain itu, naiknya harga energi juga membuat anggaran negara-negara di Asia Pasifik yang bergantung pada impor minyak atau gas terkuras lebih dalam.
Meski demikian, negara-negara miskin dan berkembang perlu ngotot agar dapat memperoleh pendanaan untuk membiayai transisi energi mereka. Caranya, menurut Hidetoshi Nishimura, Presiden Eria—lembaga penelitian bidang ekonomi untuk wilayah ASEAN dan Asia Timur—saat berbicara pada Forum Energi Asia Timur di Kamboja, Senin pekan lalu, para pemangku kepentingan di negara-negara ASEAN dan Asia harus terus menyuarakan keinginan dan kepentingan mereka soal pembiayaan hijau.
”Berbagai jalur untuk menetralisasi karbon harus tersedia agar target dekarbonisasi dan netralitas karbon di kawasan tahun 2060 bisa tercapai,” katanya.
Perlu kemitraan
Lavasa mengatakan, ADB melalui mekanisme transisi energi (ETM) berupaya menggalang dana global untuk membiayai transisi energi di kawasan, termasuk ASEAN. Bekerja sama dengan beberapa lembaga swasta, termasuk Temasek, Goldman Sachs, serta beberapa pemerintahan negara Eropa, ADB mencoba menyalurkan dana untuk membantu kawasan ini menjalankan transisi energinya dari energi fosil ke EBT.
Investasi tepat waktu dalam infrastruktur hijau dapat menghasilkan manfaat bersih hingga 4,1 triliun dollar AS pada 2030 dan penghematan pengeluaran bahan bakar fosil yang hilang sebesar 1,6 triliun dollar AS per tahun (Global Commission on Adaptation, 2019).
Mengutip studi yang dilakukan lembaga McKinsey tahun 2020, Lavasa menyebut bahwa pada 2050, jika tidak ada perubahan dalam kebijakan penanganan lingkungan hidup di negara-negara Asia Pasifik, kawasan ini akan kehilangan 1,2 triliun dollar AS per tahun hanya disebabkan oleh bencana banjir. Kawasan ini juga akan mengalami defisit produk domestik bruto (PDB) sebesar 2,8 triliun dollar AS-4,7 triliun dollar AS per tahun jika suhu di kawasan terus nai.
Bencana alam
Data ADB menyebut hampir 40 persen bencana alam antara tahun 2020-2021 terjadi di wilayah Asia. Bencana itu paling banyak terjadi di wilayah Asia Tenggara, diikuti oleh wilayah Asia Selatan dan Asia Timur.
Saat ini wilayah Asia Pasifik juga masih menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Data ADB menyebut, 51 persen emisi karbon yang terjadi di dunia berasal dari wilayah Asia Pasifik. Menyusul kawasan Amerika Utara dan Amerika Tengah serta Eropa, masing-masing di angka 17 dan 16 persen.
Selain itu, ketergantungan negara-negara di Asia Pasifik terhadap energi fosil, khususnya batubara, masih sangat tinggi dalam bauran energi listriknya. Dibandingkan dengan Eropa, disparitas pemanfaatan batubara dengan Asia Pasifik sangat lebar.
”Walau pemanfaatan energi baru terbarukan mengalami peningkatan, dari 21,6 persen pada tahun 2015 menjadi 24,9 persen pada tahun 2019, hal itu belum cukup. Dan angka itu masih sangat rendah dibandingkan rata-rata pemanfaatan dunia yang mencapai 26 persen,” kata Lavasa.
Lavasa mengatakan, bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim dalam jangka pendek dan panjang akan membawa penderitaan bagi umat manusia. Selain itu, bencana alam yang diakibatkan oleh perubahan iklim juga akan mengakibatkan kerusakan besar dalam bidang ekonomi.
Lead Co-Chair T20 Indonesia Bambang Brodjonegoro menyampaikan, situasi yang saat ini tengah dihadapi masyarakat global, termasuk di dalamnya fragmentasi politik negara-negara adidaya, mau tidak mau bisa menggeser target pengurangan emisi gas rumah kaca. Hal ini salah satunya diindikasikan dengan kembalinya negara-negara Eropa menggunakan energi fosil untuk menjaga ketersediaan energi mereka jelang musim dingin.
”Kalau batubara hanya sebagai pengganti gas dan hanya akan digunakan dalam kurun waktu tertentu, masih mungkin untuk mengejar target 2050,” kata Bambang.
Akan tetapi, semua pihak, termasuk negara-negara anggota G20 dan komunitas global, berupaya agar hal situasi itu tidak berlanjut. Jika penggunaan energi fosil itu berlanjut, dampak turunannya sangat tidak menggembirakan, tidak hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga generasi penghuni bumi yang akan datang.
Oleh karena itu, Bambang mengatakan, ekonomi hijau harus menjadi arus utama pemulihan ekonomi global. ”Bukan sekadar kembali ke pertumbuhan ekonomi dengan cara yang lama, bersandar pada penggunaan energi fosil,” kata Bambang.