Bumi Semakin Panas, Berharap Kian Banyak Korporasi Menjadi Teladan Hijau
Dunia sedang tidak baik-baik saja. Bumi semakin panas, bencana alam semakin sering terjadi. Aksi nyata untuk bumi harus terus diupayakan, termasuk oleh korporasi.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
Jelang Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada pekan ini, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengingatkan bahwa dunia sedang dalam situasi yang berbahaya. Ada konflik, lonjakan harga pangan dan energi yang memicu inflasi, serta terganggunya pencapaian target mencegah pemanasan bumi 1,5 derajat celsius pada 2050.
Laporan Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada pertengahan Mei 2022 menyebut, tingkat pemanasan bumi akibat naiknya level karbon dioksida dan metana di atmosfer mencapai titik yang mengkhawatirkan. Dampaknya, suhu bumi dan lautan dunia semakin hangat.
Secara global, suhu rata-rata dunia tahun lalu berada di angka 1,11 derajat celsius atau di atas suhu rata-rata dunia pada era pra-industri. Angka ini telah mendekati ambang batas 1,5 derajat celsius, batasan tertinggi suhu global untuk melindungi dunia dari bencana iklim lebih luas.
Akibat semakin panasnya bumi, kebakaran hutan dan lahan semakin sering terjadi. Wilayah yang dulu tak pernah terpikir akan mengalami kebakaran, seperti Alaska—wilayah bersalju—pun akhirnya mengalami bencana itu. Begitu juga dengan Siberia, Rusia.
Pengamatan NASA Earth Observatory menunjukkan betapa panasnya suhu udara di sebagian besar Amerika Utara, Eropa, Afrika, dan Asia sepanjang Juli 2022. Lebih dari 9.000 rekor suhu panas dipecahkan di seluruh dunia pada Juli, sekitar 6.000 di antaranya di Amerika Serikat (Kompas.id, 9 Juli 2022).
Bumi ”pemegang saham”
Di tengah suasana yang pesimistis ini, masih ada segelintir pihak yang mau melakukan aksi nyata untuk memitigasi krisis iklim. Berita termutakhir ialah perusahaan Patagonia dari Amerika Serikat yang per tahun 2022 memberi 98 persen laba mereka setiap tahun untuk membiayai berbagai program ruwat bumi.
Mereka bekerja sama dengan yayasan Holdfast Collective yang berjejaring dengan berbagai lembaga lokal dan internasional mengenai program pelestarian lingkungan. Selama ini, Patagonia yang merupakan pembuat pakaian serta peralatan pencinta alam telah memberi 1 persen laba tahunan mereka untuk dana pertanggungjawaban sosial (CSR).
”Kami memutuskan melakukan lebih karena pemilik saham Patagonia hanya satu, yakni bumi,” kata pendiri dan pemilik Patagonia, Yvon Chouinard, seperti dikutip oleh Fashion United.
Patagonia mungkin bisa dibilang ekstrem dalam bertindak. Meskipun begitu, terdapat pula perusahaan-perusahaan global yang melakukan berbagai cara untuk memberi sumbangsih demi Bumi yang hijau. Lembaga As You Sow rutin mendata perkembangan korporasi untuk melihat prinsip berkelanjutan yang diterapkan, mulai dari pengadaan bahan baku, produksi, distribusi, hingga penjualan.
Mereka mengawasi apakah perusahaan-perusahaan itu secara konsisten menggunakan sumber bahan baku yang berkelanjutan dan tidak mengeksploitasi pekerja. Demikian pula proses produksinya menggunakan sumber energi ramah lingkungan.
Produk yang mereka buat harus ramah lingkungan: tidak mencemari alam, memerlukan konsumsi energi yang rendah, dan tahan lama sehingga konsumen tidak perlu sering membeli. Pascapenjualan juga ada layanan konsumen yang terpadu.
Daftar Clean200 dikeluarkan oleh As You Sow sejak tahun 2016 dan diperbarui per tahun. Pada 2022, hingga sejauh ini investasi bisnis berkelanjutan mencapai angka 4 triliun dollar AS. Secara total, ada 1.000 perusahaan yang memiliki target nihil emisi per 2050. Keberadaan mereka setara dengan 23 triliun dollar AS di pasar. Akan tetapi, tidak semua perusahaan dengan komitmen ini sudah menjalankan dengan sepenuhnya.
Perusahaan Clean200
Sebanyak 200 perusahaan yang masuk daftar karbon bersih 2022 ini berasal dari 35 negara. As You Sow menjelaskan, 58 persen dari omzet perusahaan Clean200 ini dikategorikan menggunakan cara-cara berkelanjutan. Jumlah omzet ini meningkat dari 39 persen pada 2021. Mayoritas perusahaan berada di AS (52 perusahaan), disusul oleh Kanada (18), China (16), dan sisanya dari Eropa, Jepang, serta Taiwan.
Perusahaan-perusahaan itu, antara lain, bergerak di sektor industri, teknologi informasi, materi, produk sehari-hari, energi, dan kesehatan. Sepuluh besar daftar ini adalah Apple, Alphabet Inc, Intel, Taiwan Semiconductor Manufacturing Company, Iberdola SA, Tesla, Cisco, HP Inc, Schneider Electric, dan Siemens. Adapun yang masuk daftar antara lain adalah Panasonic, 3M, Nokia, Adidas, Electrolux, dan China Railway Signal and Communication.
Secara umum, As You Sow menjabarkan, belum banyak perusahaan yang mau bergerak ke sistem berkelanjutan. Hal ini dijelaskan oleh penelitian Sekolah Bisnis Vlerick di Belgia yang terbit pada 2018. Mayoritas perusahaan enggan pindah ke ekonomi hijau karena biaya awal untuk mengubah sistem sangat mahal.
Teknologi mahal
Mahalnya penggantian sistem diakui oleh Presiden Direktur APRIL Group Sihol Aritonang. Perusahaan yang bergerak di bidang industri kehutanan dan pemegang konsesi lahan di Riau ini kini tengah mencoba menggantikan penggunaan pembangkit listrik bertenaga fosil dengan EBT.
Akan tetapi, menurut Sihol, mereka tidak menggunakan teknologi penyimpanan (baterai) karena teknologinya masih sangat mahal. ”Listrik yang diproduksi dari biomass dan panel surya, langsung disalurkan ke pabrik,” katanya.
Di samping itu, berbagai testimoni perusahaan maupun konsultan keuangan mengatakan bahwa berpindah ke sistem berkelanjutan terlalu berisiko karena reputasi perusahaan menjadi tergantung berbagai cap, misalnya cap organik, cap halal, cap sumber bahan baku ramah lingkungan, dan lain-lain. Faktor ketiga adalah klasik, yaitu soal ”cuan”. Belum ada data solid yang membuktikan bahwa menggunakan sistem ramah lingkungan bisa memberi laba berkali lipat.
Chris Laszlo, salah satu penulis buku Embedded Sustainability: The Next Big Competitive Advantage ketika diwawancara oleh CBS Moneymaker tahun 2011 menjelaskan, perusahaan enggan pindah ke sistem berkelanjutan, tetapi mereka tahu bahwa konsumen menginginkannya. Sebagai kompensasi, banyak perusahaan menggunakan istilah ”hijau” ataupun ”berkelanjutan” sesuka mereka.
”Biasanya, mereka hanya meletakkan kalimat produk hijau atau ramah lingkungan. Upaya yang dilakukan sebatas menurunkan ongkos produksi dan meningkatkan dana CSR. Akan tetapi, dari segi keseluruhan kinerja perusahaan dan produk ataupun layanan yang dihasilkan tidak memenuhi syarat ramah lingkungan,” tutur Laszlo.