Biden Kembali Tegaskan Akan Kerahkan Pasukan AS jika Taiwan Diserang China
Presiden AS Joe Biden secara blak-blakan kembali menyatakan siap mengerahkan pasukan AS untuk membela Taiwan dari ancaman China. Ada indikasi yang semakin kuat, AS terlihat meninggalkan kebijakan ”ambiguitas strategis”.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
AP PHOTO/CAROLYN KASTER
Presiden Amerika Serikat Joe Biden berbicara di Wilmington, Negara Bagian Delaware, AS, Senin (9/11/2020), didampingi Wakil Presiden AS Kamala Harris.
WASHINGTON, SENIN — Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyatakan siap mengerahkan kekuatan militer negaranya ke Taiwan apabila wilayah pulau itu diinvasi oleh China. Andai benar dilakukan, langkah itu akan berbeda dari perlakuan AS kepada Ukraina, yang diinvasi Rusia sejak 24 Februari 2022, dengan hanya mau mengirim persenjataan ke Kyiv.
Pernyataan tersebut disampaikan Biden dalam wawancara dengan televisi CBS melalui program ”60 Minutes” bersama Scott Pelley yang ditayangkan pada Minggu (18/9/2022) malam waktu setempat atau Senin dini hari WIB.
Dalam wawancara itu, Biden ditanya, apakah pasukan AS akan ikut mempertahankan Taiwan jika diserang oleh China. Ia menjawab, ”Ya, jika ada serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
”Izinkan saya mencoba meluruskan perkataan Anda. Benarkah Anda mengatakan akan mengerahkan tentara AS ke Taiwan jika wilayah itu terancam, padahal kita tidak menurunkan pasukan ke Ukraina?” tanya Pelley, pewawancara, untuk memastikan ucapan Biden.
Wawancara Biden dengan CBS tersebut dilaksanakan pada pekan lalu. Biden, Senin (19/9), berada di London, Inggris, untuk menghadiri upacara pemakaman Ratu Inggris Elizabeth II.
Penegasan Biden tentang keterlibatan militer AS dalam konflik di Selat Taiwan itu merupakan pernyataan terbarunya, yang memperlihatkan indikasi bahwa Washington terlihat melampaui kebijakan resmi lamanya dalam isu Taiwan. Selama ini, dalam isu Taiwan, AS berpegang pada kebijakan ”ambiguitas strategis” dan tidak menunjukkan sikap yang jelas andai Taiwan diserang.
AP/GEMUNU AMARASINGHE
Presiden AS Joe Biden melambaikan tangan, didampingi Ibu Negara Jill Biden, saat akan memasuki pesawat kepresidenan Air Force One sebelum lepas landas dari Pangkalan Angkatan Udara AS Andrews, AS, Sabtu (17/9/2022).
Taiwan dan China berpisah pada 1949 setelah perang saudara yang berakhir dengan kemenangan pemimpin komunis Mao Zedong dan menyingkirnya pemimpin Kuomintang (KMT) Chiang Kai-shek ke Taiwan. Di wilayah pulau ini, Chiang mendirikan pemerintahan sendiri. Namun, Beijing mengklaim Taiwan sebagai bagian dari teritorialnya.
Dalam wawancara dengan CBS tersebut, Biden menjelaskan bahwa AS tetap mengakui dan menjalankan prinsip ”Satu China” yang mengatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari China. Prinsip itu diakui AS pada 1979 ketika Washington memutuskan hubungan diplomasi dengan Taiwan. Peristiwa ini tertera di Pakta Hubungan Taiwan (TRA) 1979.
Ambiguitas strategis
Di dalam TRA 1979 dijabarkan bahwa AS akan membantu Taiwan apabila wilayah itu menghadapi ancaman, baik dari China maupun pihak lain. Akan tetapi, pakta tersebut tidak secara gamblang menyatakan bahwa militer AS siap diturunkan ke Taiwan jika terjadi sesuatu. Sejauh ini, praktik atas pakta itu ialah penjualan senjata AS dan pelatihan pasukan Taiwan.
Sikap ini dikenal dengan sebutan ambiguitas strategis. Tujuannya ialah agar China tidak terpancing untuk mengivasi Taiwan. Sebaliknya, Taiwan juga tidak memanas-manasi suasana dengan menyatakan hendak memerdekakan diri.
Pernyataan Biden untuk mengerahkan pasukan AS dalam konflik di Taiwan bukanlah baru pertama kali ini. Dalam kunjungan ke Tokyo, Jepang, Mei lalu, ia menyatakan hal serupa. Saat itu, ia ditanya wartawan dalam konferensi pers, apakah AS akan mengirim pasukan ke Taiwan jika Taiwan diserang China. Biden pun menjawab, ”Ya. Itulah komitmen yang sudah kami buat.”
Belakangan Gedung Putih buru-buru mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada perubahan dalam kebijakan AS terkait isu Taiwan.
AP PHOTO/CHIANG YING-YING
Warga Taiwan melambai ke calon presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, dari Partai Progresif Demokratik (DPP) selama rapat umum di Taipei, Taiwan, Jumat 10 Januari 2020. Taiwan mengadakan pemilihan presiden pada 11 Januari 2020.
Seorang juru bicara Gedung Putih, saat diminta komentar mengenai pernyataan Biden dalam wawancara dengan CBS, mengatakan bahwa kebijakan AS terkait Taiwan tidak berubah.
Pernyataan terbaru Biden, yang walaupun oleh Gedung Putih ditekankan bukan sebagai kebijakan pemerintah, tetap penting dan kontroversial. Pernyataan terbarunya ini juga lebih jelas dibandingkan dengan pernyataan serupa yang dilontarkan di Tokyo, Mei lalu.
”AS tetap berpegang pada kesepakatan 1979. Harap dipahami juga bahwa AS sama sekali tidak mengompori Taiwan untuk melepaskan diri dari China,” kata Biden.
AS pada masa pemerintahan Biden telah menjual persenjataan ke Taiwan senilai 1,1 miliar dollar AS. Seperti dilansir dari CBS, Juru Bicara Departemen Pertahanan AS Vedant Patel menuturkan, penjualan itu adalah hasil negosiasi yang telah disetujui sejak lama.
Menurut Patel, penjualan tersebut merupakan kebutuhan Taiwan mengingat mereka berada di bawah ancaman China yang semakin sering melakukan intrusi di wilayah pertahanan udara Taiwan.
China keberatan
Sementara itu, Kedutaan Besar China di Washington mengutarakan keberatan dengan pernyataan Biden. Melalui akun Twitter miliknya, Juru Bicara Kedubes China di Washington Liu Pengyu mengunggah serentetan cuitan. ”Omongan Bapak Presiden Biden ini berbahaya karena bisa disalahartikan oleh kelompok separatis di Taiwan sebagai imbauan melepaskan diri dari China,” tulisnya.
China sudah kesal dengan sikap AS yang mengatakan tetap mendukung Satu China. Akan tetapi, pada saat bersamaan, pejabat-pejabat pemerintahnya melakukan kunjungan resmi ke Taipei. Awal Agustus lalu, Ketua DPR AS Nancy Pelosi bertemu Presiden Taiwan Tsai Ing-wen. Setelah itu, bergiliran anggota Senat AS mampir ke Taipei.
TAIWAN PRESIDENTIAL OFFICE VIA AP
Ketua DPR AS Nancy Pelosi dan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen saling membungkukkan badan dalam pertemuan di Taipei, Taiwan, 3 Agustus 2022.
Saat ini, DPR AS masih membahas rancangan undang-undang perihal hubungan dengan Taiwan. Apabila disahkan, aturan ini akan menggantikan TRA 1979. Dalam RUU itu dikatakan bahwa Taiwan berposisi sama dengan sekutu AS di luar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Saat ini, sekutu non-NATO AS adalah Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Israel.
Namun, klausul tersebut masih diperdebatkan mengingat risiko keamanan jika posisi Taiwan dinaikkan seperti itu. Hal lain di dalam RUU ialah memberi paket bantuan persenjataan senilai 6,5 miliar dollar AS.
Pakar hubungan internasional di Universitas Nasional Cheng Chi (NCCU) di Taipei, Wang Hsin-hsien, kepada kantor berita Taiwan, Central News Agency, mewanti-wanti perkembangan pembahasan RUU tersebut. ”Taiwan harus bijak mengamati RUU itu akan menguntungkan kita atau malah membuat kita semakin terpapar risiko konfrontasi dengan China. Suara Taiwan harus didengar,” ujarnya. (AFP/AP/REUTERS/SAM)