Transisi Energi China Butuh Minimal 40 Tahun, Negara Berkembang Bisa 100 Tahun
Mewujudkan impian akan pemanfaatan energi bersih butuh waktu lama. China saja butuh waktu minimal 40 tahun dan prosesnya sudah dimulai sejak 10 tahun lalu. Itu saja sudah didukung kuat oleh pemerintah dan swasta.
Dari kejauhan terlihat ladang kincir angin raksasa di sepanjang pantai kota Weihai, Provinsi Shandong, China. Tak semua sedang berputar ketika kami melewatinya, 13 Agustus lalu. Dari setiap 10 kincir angin raksasa itu, paling tidak ada 2 yang sedang tak aktif. Berada di dekat kincir angin raksasa, rasanya seperti sedang berada di negeri liliput.
Ladang kincir angin raksasa selalu menjadi pemandangan menakjubkan. Sama seperti ladang kincir angin yang ada di tanah air, tepatnya di Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Sidenreng Rappang atau Sidrap, Sulawesi Selatan.
Bedanya, di kawasan ini, kincir angin raksasa tak hanya dipasang di perbukitan jauh dari pemukiman penduduk. Tetapi juga dipasang di pinggir pantai yang berdekatan dengan pemukiman penduduk dan kawasan wisata pantai Weihai.
Sumber energi alternatif tenaga bayu atau tenaga angin ini menjadi rencana besar China untuk mengembangkan sumber energi terbarukan. Pemanfaatan sumber energi terbarukan China diharapkan akan melampaui 50 persen dari penggunaan energi keseluruhan pada 2025 dan sumbernya datang dari tenaga angin dan surya.
Direktur Jenderal Departemen Energi Baru dan Sumber Energi Terbarukan Badan Energi Nasional (NEA) China, Li Chuangjun, kepada harian Global Times, 28 Agustus lalu, menjelaskan pembangunan pembangkit listrik tenaga angin dan surya (fotovoltaik) menjadi prioritas pengurangan emisi karbon China selama periode 2021-2025. Pembangunan tahap pertama pembangkit listrik terbarukan dengan kapasitas 100 juta kilowatt-jam sudah selesai dan volume listrik yang dihasilkan akan mencapai 3,3 triliun kilowatt-jam pada 2025.
Lima pangkalan turbin angin lepas pantai dengan kapasitas pembangkit lebih dari 10 juta kilowatt-jam akan dibangun di Semenanjung Shandong, Delta Sungai Yangtze, bagian selatan Provinsi Fujian, China Timur, bagian timur Provinsi Guangdong China Selatan, dan Teluk Beibu selatan.
Daya yang dihasilkan dari lima basis tenaga angin lepas pantai diperkirakan akan mencapai 20 juta kilowatt-jam pada 2025. "Butuh kebijakan yang mendukung seperti sertifikat konsumsi untuk energi terbarukan dan dukungan keuangan yang terus-menerus untuk proyek pembangkit listrik terbarukan," ujarnya.
Kepala Institut China untuk Studi Kebijakan Energi di Universitas Xiamen, Fujian, Lin Boqiang, secara terpisah juga menjelaskan, persyaratan operasional yang aman dan stabil untuk pembangkit listrik energi terbarukan lebih tinggi karena sifatnya yang serba tidak pasti. Ini berbeda dari bahan bakar fosil.
Dewan Listrik China menyebutkan total kapasitas terpasang energi non-fosil adalah 1,19 miliar kilowatt, naik 14,7 persen tahun-ke-tahun dan menyumbang 48,3 persen dari total kebutuhan energi. Mengingat tenaga angin dan fotovoltaik akan berperan besar maka perlu ada kebijakan kuat pula terkait teknologi penyimpanan dan proses distribusi dayanya.
Selama 10 tahun terakhir, China gencar melakukan penelitian dan pengembangan terkait teknologi penyimpanan daya ini. Institut Penelitian Energi Bersih China Huaneng (CERI), entitas dari China Huaneng Group (CHNG), adalah salah satu lembaga yang menelitinya.
Ketika kami berkunjung ke laboratorium CERI, 31 Agustus lalu, CHNG memaparkan rencana menambah sekitar 80 juta kilowatt kapasitas energi baru pada 2025. Sesuai rasio 10 persen dari kapasitas energi baru yang terpasang, skala penyimpanan energi akan mencapai sekitar 8 juta kilowatt.
Proyek penyimpanan energi terbesar dilakukan China melalui ladang kincir angin lepas pantai yang dibangun pada 2021 di Semenanjung Shandong. "Ini semua demi mengejar target China mencapai netral karbon pada 2060," kata Kepala Dewan CERI, Li Weidong.
Investasi untuk transisi energi hijau ini juga relatif besar. Pada semester I-2022, investasi pembangkit listrik bahan bakar non-fosil menyumbang 84,7 persen yang mencapai 215,8 miliar yuan. Ini naik 14 persen dari tahun sebelumnya.
Badan Energi Nasional China menyebutkan, dengan investasi tersebut, total kapasitas terpasang tenaga angin per semester I-2022 meningkat 17,2 persen dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya alias menjadi 340 juta kilowatt. Pada periode sama, tenaga surya tumbuh 25,8 persen dibanding periode sebelumnya menjadi 340 juta kilowatt.
Penyimpanan
Urusan menyimpan energi hijau ini merupakan komponen terpenting dan China gencar menggelontorkan anggaran untuk penelitiannya. Peneliti di bidang teknik listrik di Universitas Tenaga Listrik China Utara di Beijing, Fei Wang, kepada situs majalah Nature, 23 Maret 2022, menjelaskan, butuh mekanisme yang bisa memberikan jaminan akurasi ketersediaan energi hijau.
Sumber energi angin dan surya sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang bisa berubah dengan cepat. Wang melakukan penelitian yang diharapkan akan bisa memprediksi jumlah energi surya dan angin dalam jangka pendek, misalnya 24-72 jam ke depan, dan seberapa banyak energi yang nantinya bisa disimpan.
Wang dan timnya mengkorelasikan pola kluster awan dengan jumlah energi surya yang diterima panel fotovoltaik. Model peramalan konvensional menggunakan sensor radiasi berbasis darat untuk memprediksi tingkat energi surya. Persoalannya, tutupan awan berubah cepat.
Dengan demikian, pada saat sensor mendeteksi perubahan radiasi, awan mungkin sudah menutupi matahari. Untuk mengatasi hal ini, Wang melacak pergerakan kluster awan dan memprediksi bagaimana mereka akan berubah ketika mereka ada di atas ladang surya tertentu.
Sejak 2018, model Wang sudah dipakai untuk meramalkan pasokan listrik masa depan di pembangkit listrik tenaga surya dan angin di 20 provinsi di seluruh China, termasuk Provinsi Xinjiang yang kaya angin. Model prediksi Wang yang lebih akurat ini telah mengurangi tingkat limbah energi terbarukan di Xinjiang, misalnya, dari 4,6 persen pada 2020 menjadi 1,4 persen pada 2021.
Namun kondisi medan di China yang luasnya 9,6 juta kilometer persegi tidaklah sama. Kekuatan angin di daerah lembah tentu tak sama dengan di daerah pesisir sehingga membutuhkan pengaturan yang berbeda. Menyimpan energi hijau dan memprediksi kapan energi itu akan tiba, inilah yang sekarang menjadi bidang penelitian utama bagi China. Dan ini bukan pekerjaan mudah.
100 tahun
Faktor kecepatan realisasi energi hijau bergantung pada para peneliti, terutama berkaitan dengan dukungan pemerintah. Dengan dukungan kuat dari pemerintah dan swasta saja, kata Presiden CERI Xiao Ping, China masih membutuhkan waktu setidaknya 40-50 tahun untuk bisa sepenuhnya memanfaatkan sumber energi hijau atau benar-benar lepas dari bahan bakar fosil minyak bumi dan batu bara.
Bagi negara berkembang, Ping melanjutkan, mungkin membutuhkan waktu lebih dari 50 tahun bahkan bisa jadi sampai 100 tahun. Sampai bisa sepenuhnya mandiri, China masih tetap membutuhkan bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri saja. "Mau tak mau masih pakai bahan bakar fosil seperti batu bara karena sumber energi terbarukan belum bisa memenuhi kebutuhan 1,4 miliar rakyat China," ujarnya.
Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC), lembaga perencana ekonomi China, bersama sembilan departemen pemerintah lain, menyusun rencana nasional untuk mewujudkan penggunaan energi bersih di sektor intensif energi. Ini termasuk industri, pertanian, jasa, konstruksi, dan transportasi.
Selama lima tahun ke depan, China akan mendorong penggantian batubara, kokas minyak bumi, minyak berat, minyak residu, dan semi-kokas dengan energi bersih dan rendah karbon. Ini sesuai dengan amanat Komite Sentral Partai Komunis China dan Dewan Negara yang menetapkan porsi konsumsi sumber energi non-fosil sekitar 20 persen pada 2025.
Industri yang melibatkan konsumsi energi tinggi dan polusi tinggi, seperti baja dan logam menjadi fokus dari rencana aksi program nasional ini. Produksi baja di China pada 2020 saja sebesar 15 persen dari total emisi karbon yang dikeluarkan.
Kepala Institut Studi China dalam Kebijakan Energi di Universitas Xiamen, Lin Boqiang, mengingatkan tantangan transisi hijau China adalah seberapa cepat China bisa menemukan dan memanfaatkan sepenuhnya pengganti bahan bakar fosil yang efektif hingga bisa meningkatkan swasembada energi dan memastikan keamanan energi China.
Dan untuk mencapai impian itu, China butuh waktu puluhan tahun. Bagi negara lain yang memiliki impian yang sama, barangkali harus lebih banyak ikhtiar dan bersabar hingga 100 tahun lamanya.